Hari masih begitu pagi untuk hanya sekedar keluar dari kamar dan menatap langit yang menggelap. Riza duduk di ruang tempat ia biasa menonton TV dengan ayahnya. Ia terus saja memandangi pintu kamar ayahnya. Seolah menunggu sampai ayahnya itu membukanya.
Semenjak hari dimana Bianca membullinya, Riza menjadi cukup murung dan sedih. Ia tidak pernah berpikir jika fisiknya yang seperti ini menjadi alasannya untuk tak bahagia menjadi seorang gadis remaja.
Bentuk seperti ini sebenarnya dari siapa? Ayahnya, tentu saja bukan. Ayahnya terlihat sangat normal dengan kulit kuning langsatnya. Lalu, ibunya? Memangnya, seperti apa sosok ibunya itu?
Begitu banyak misteri tentang ibunya yang seolah berusaha ayahnya sembunyikan darinya. Kenapa? Kenapa semuanya begitu sulit baginya?
Cklek
Pintu itu terbuka dan sosok yang Riza harapkan keluar, memandang bingung sosok Riza.
"Ada apa? Kamu menunggu ayah?" tanyanya dan Riza mengangguk dengan menelan ludahnya.
Sesungguhnya, ini pertama kalinya ia mencoba menyusun pertanyaan kepada ayahnya. Mengumpulkan seluruh keberaniannya, setelah kekacauan hatinya berhari-hari. Mungkinkah ia bisa mendapatkan sebuah penjelasan yang dapat memuaskan hatinya?
"Yah, Riza ingin bertanya ...," katanya sembari memberikan jeda. Seketika, ia merasa lidahnya keluh dan keberaniannya seakan pupus seketika. Namun, pikirannya seolah terus menyerangnya dengan berbagai macam pertanyaan.
Ayah Riza pun duduk disebelahnya. Riza masih saja mencoba untuk mengumpulkan keberaniannya. "Dimana ibu?" tanyanya dengan pelan, tanpa perlu menunjukkan senyum ramah nan lembut seperti biasanya. Riza mencoba menunjukkan wajah memohon dan serta keputusasaannya membuat pria tua ini mendesah.
"Ibumu ...." Ucapan ayah Riza mengambang.
"Iya, ayah bisa mengatakannya. Jangan lagi menutupinya dariku," kata Riza dan sang ayah masih memandangi putrinya dengan diam.
"Kenapa kamu tiba-tiba menanyakannya?" Membalikan pertanyaan dengan pertanyaan. Lagi-lagi Riza menemukan pertanyaan di atas pertanyaannya. Dari semua hal yang selalu Riza tanyakan, hanya pertanyaan tentang ibunya lah yang seolah cukup sulit untuk ayahnya jawab. Seperti seolah mengerjakan sebuah soal kimia yang sangat sulit. Ayahnya ini, seketika terlihat seperti sosok yang bodoh.
Riza mendesah dan mulai berkata, "Kenapa ayah bertanya lagi? Aku ingin ayah menjawabnya, sekarang!" kata Riza yang kali ini terlihat lebih tegas.
Ayah Riza menggeleng. "Ayah lelah dan tidak sedang ingin membahas tentang ini. Sebaiknya kamu rencanakan liburan semester ini kamu ingin main kemana? Ikut ayah ke luar kota atau tinggal bersama Bianca?" kata ayah Riza yang terus menolak dan mengalihkannya dengan mengatakan hal yang lain.
Kekesalan dan kekecewaan memenuhi hati Riza. Membuat semuanya terlihat semakin tak masuk akal. Jika ini sesuatu hal yang biasa, seharusnya tak perlu menutupi apa pun, kan?
"Ayah ... Apa yang terjadi?" tanyanya yang tak ingin membiarkan ayahnya pergi begitu saja. "Kenapa ayah sulit mengatakannya? Siapa ibuku sebenarnya? Katakan lah Ayah, aku ingin tahu. Ini sudah 18 tahun dan ayah masih saja merahasiakannya." Riza tak bisa membendung kepedihannya lagi. Gadis ini menangis dalam diam, membuat ayahnya yang semenjak tadi berdiri diambang pintu, kini datang memeluknya.
"Jangan menangis, apa tak cukup dengan ayah di sini?" tanyanya sambil membelai surai hitam Riza.
Riza menggeleng cepat. "Maksudku bukan seperti itu, Ayah. Lihatlah diriku sekarang ...." Riza melepaskan pelukan ayahnya dan berdiri.
Gadis ini membuka sedikit rambutnya dan nampak kedua telinganya yang sedikit meruncing. "Telinga ini dan kulitku yang pucat ini. Apa aku sangat mirip dengan ibu?" Sudah ribuan kali Riza mencoba mematahkan rasa penasarannya hanya untuk menjaga perasaan ayahnya. Namun, kali ini ia tak sanggup lagi. Riza tak bisa membendung segala pertanyaan yang tertampung dalam otaknya setelah sekian lama.
"Atau mungkin, Riza memang bukan anak ayah?" Seketika pertanyaan tak masuk akal ini melintas begitu saja di benak Riza.
Ayah Riza menggeleng cepat. "Ayah tahu kamu marah, tapi Riza, kamu adalah anak ayah satu-satunya. Ayah sangat menyayangimu, tolong jangan mengatakan hal yang tak masuk akal seperti ini," lirihnya sambil mendesah. Kali ini Riza dapat menangkap segala rasa frustasi ayahnya yang selama ini tak pernah ia lihat.
"Kamu adalah satu-satunya yang ayah punya. Ayah berusaha menjagamu dengan seluruh kemampuan yang ayah punya," lanjutnya yang tentu membuat Riza semakin merasa bersalah.
"Ayah ... Maafkan aku," kata Riza yang kini memeluk ayahnya.
Mungkin, memang semenjak awal Riza tak perlu bertanya. Namun, ia tak akan pernah tahu jika ayahnya begitu menderita selama ini karena wanita yang harus ia sebut dengan ibu. Apakah kejadian itu sangat menyakitinya hingga hanya menyebutkan namanya saja sangat sulit.
Riza sedih memandangi ayahnya yang seolah terus menahan segala emosinya. Bahkan ia berpikir, jika wanita itu, wanita yang seharusnya bisa ia sebut sebagai ibu tak berhak untuk kembali lagi.
Riza tidak akan rela, jika wanita itu datang dan mengacaukan hidup ayahnya kembali.
---***---
Pukul 12 siang saat matahari begitu terik dan ketiga siswa itu harus memutari lapangan beberapa kali. Terlihat cukup aneh tapi juga menarik perhatian sebagian siswa.
"Dasar makhluk aneh!" Gea memekik, bahkan kini menjambak rambut Bima.
"Aduh, sakit! Semenjak kapan kamu jadi titisan tante-tante brutal," omel Bima yang masih berlari, bahkan lebih cepat untuk menghindari Gea. Pemandangan ini tentu membuat sebagian siswi menatap mereka kesal.
Bima si siswa populer sedang bercanda di tengah lapangan bersama dua gadis aneh. Satunya putih pucat, seperti vampire di siang bolong. Sementara satunya, gadis cupu dengan mulut penuh protesnya.
"Apa katamu? Tante-tante brutal? Bima sakti sinting mandraguna, aku masih 18 tahun. Masih gadis! Kenapa bisa disebut tante-tante, sih?" Bahkan kini Gea menarik seragam Bima.
"Uda ...." Lerai Riza dengan napas tersengal-sengal.
"Nggak bisa begitu. Kalau bukan karena dia niruin gayanya Ali di novelnya bang Tereliye, kita kan nggak bakalan ketawa pas jamnya pak Karto. Guru fisika killernya minta dibinasakan," omel Gea yang kali ini membuat Riza dan Bima tertawa.
Ingatan mereka berdua kembali pada 20 menit yang lalu saat ketiganya berada di lap untuk beberapa penelitian dan Bima seolah kesurupan berbicara seperti Ali, tokoh dalam novel Tereliye. Awalnya itu hanya berusaha untuk mengolok-ngolok Gea dan Riza, tapi karena begitu mirip dan sama menyebalkannya, akhirnya Gea dan Riza terpingkal. Alhasil, ketiganya diberi hukuman dengan mengelilingi lapangan 5 kali putaran.
"Bim, kenapa bisa semirip itu, sih?" tanya Riza penasaran sementara Gea sudah mulai menggerutu kesal karena diabaikan.
"Aku kesal liat kalian sok serius. Padahal pasti kalian berdua bicarain kpop, kan?" todongnya dan Riza hanya bisa menyengir, Gea mendengus tak peduli.
Sepertinya tuduhan Bima memang benar. Gea lagi tergila-gila sama acara Korea show Produce 101 X dan menjadi suka sekali dengan Yo Han, sementara Riza dipaksa Gea untuk suka sama Hwang Yunseong dan Riza hanya bisa pasrah, mengiayakannya.
"Tetap aja kan, kulitku jadi hitam gara-gara kamu!" pekik Gea yang mulai mengejar Bima lagi dan Riza mengikutinya.
"Hei, aku capek! Bisa nggak sih, kita selesain hukuman ini dengan tenang?" seru Riza yang kini membuat mereka berdua berhenti berlari. Di saat panas yang terik dan mereka tak berhenti berdebat tentang banyak hal membuat kepala Riza semakin pusing saja.
Riza sudah kalah telak semalam. Ia tidak memiliki harapan lagi untuk memperoleh keterangan tentang jati dirinya kepada ayahnya. Semuanya semakin kabur saja dan membuatnya tak semangat untuk menjalani hari-hari. Namun, kehadiran dua sahabatnya ini dapat membuatnya bisa tersenyum lepas.
Bima dan Gea berhenti juga. "Tentu, ayo lari bersama-sama," kata Bima yang kini berlari mendekati Riza, diikuti oleh Gea dan mereka mulai berlari bersamaan.
Mereka, entah dengan cara apa persahabatan ini tercipta di atas perbedaan yang mencolok. Bima dengan kepopulerannya, Gea dengan kepinterannya dan Riza dengan fisiknya yang selalu menjadi perhatian banyak orang.
"Setelah ujian, kan ada libur semester." Bima membuka percakapan.
"Terus?" sahut Gea yang wajahnya yang putih sudah memerah terkena terik matahari.
"Liburan bareng yok!" ajak Bima sambil mengerlingkan matanya pada Riza. Gadis ini cukup tahu apa yang diinginkan sahabatnya ini. Herannya, saat bersama dengan orang lain Bima selalu mencoba untuk terlihat stay cool. Namun, saat bersama mereka, tabiatnya sangat berbeda dan cukup menyebalkan.
"Apa? Mau liburan ke vilaku?" Riza mencoba menebak.
"Nah, itu kamu tahu," jawab Bima dengan penuh semangat.
Gea mendesis. "Kebiasaan kamu tuh, tapi boleh juga kalau main ke vila kamu yang dekat dengan hutan. Boleh lah nanti kita petualang mengelilingi hutan, mau nyari spesies baru," katanya yang tentu membuat Bima gemas sendiri dan Riza hanya tertawa.
Saat kehidupan ini tak mampu tertebak berjalan ke arah mana? Tak perlu merisaukannya terlalu dalam karena kenyataannya saat kita bisa menjadi kebahagian dari orang lain itu sudah lebih dari cukup.
---***---
Hari telah gelap, Riza sudah sampai di depan gerbang rumahnya yang begitu besar. Melambaikan tangannya pada kedua sahabatnya yang berada di dalam mobil jenis suv milik Bima.
"Hati-hati kalian," pesan Riza dan keduanya mengangguk sebelum Bima melajukan mobilnya.
Riza pun terus memandangi mobil warna hitam itu yang semakin jauh. Merasa tak rela dengan kedua sahabatnya meninggalkannya, padahal mereka menghabiskan waktu seharian bersama-sama. Mungkin karena Riza merasa kesepian, sendirian di rumah bersama penjaganya semenjak kecil.
Rumahnya cukup besar kalau hanya untuk ditinggali berdua bersama ayahnya. Jadi, terkadang Riza juga merasa kurang begitu nyaman dengan hal ini.
"Sampai kapan kamu akan di situ? Masuk, di luar dingin." Suara itu, tentu saja Riza mengenalinya. Gadis ini pun menoleh dan mendapati ayahnya berdiri menatapnya.
"Yah, bukannya ayah mau pergi ke luar kota?" tanya Riza heran dan ayah Riza pun menggeleng.
"Ayah menundanya, besok ayah akan pergi. Kamu baik-baik di rumah ya." Selalu, ayah Riza mengatakan hal yang hampir sama sepanjang ia bisa mengatakannya.
Riza mengangguk, kemudian tersenyum. "Ayo kita makan di luar," ajak Riza sembari menggandeng tangan ayahnya.
"Tidak bisa, bi Ina sudah masak banyak. Lagian, sebentar lagi paman kamu datang sama Bianca."
Mendengarkan nama Bianca membuat Riza terdiam, moodnya berubah seketika. "Kenapa paman datang?" tanya Riza membuat ayahnya ini memandanginya heran.
"Kenapa kamu bertanya seperti itu? Bukannya kamu selalu senang jika pamanmu datang?" ucap ayah Riza yang tak mengerti dengan perubahan putrinya yang sekarang.
"Itu dulu ayah, sekarang berbeda. Mungkin juga, aku akan menghabiskan waktuku bersama teman-teman saat liburan nanti," kata Riza yang kini sudah duduk di sofa ruang tamu. Seragamnya masih lengkap, ia hanya berusaha mengistirahatkan otot-ototnya, mencoba memejamkan matanya sejenak.
Melihat putrinya begitu lelah, ayah Riza tak meneruskan pertanyaannya tentang keengganan Riza kepada pamannya.
"Memangnya kamu mau kemana?" tanya ayah Riza. yang kini duduk disampingnya, membantu Riza melepaskan tas rangselnya.
"Mau ke vila kita yang dekat hutan itu. Aku sama ...."
"Nggak, kamu nggak boleh ke sana," potong ayah Riza yang membuat Riza cukup terkejut.
"Kenapa, Yah? Selama ini kan vila itu disewakan terus. Riza mau kali ini, selama liburan Riza bisa main di sana sama Bima dan Gea," terangnya dan ayah Riza tetap menggeleng.
"Tidak ada yang boleh ke sana!" Suara ayah Riza begitu tegas, tapi Riza merasa ayahnya semakin aneh saja.
"Beri alasan yang kuat kenapa Riza nggak boleh ke sana?" tantang Riza dan ayahnya pun mendesah.
"Bahaya Za, di sana dekat hutan. Banyak binatang buas," kata ayah Riza.
"Tapi kan ada pak Yono yang jagain, Yah. Lalu Bima sama Gea."
Riza tak mau menyerah begitu saja, tapi ayah Riza tetap menggeleng.
"Sekali ayah bilang jangan, ya jangan!" tekan ayah Riza sambil memandang tegas Riza.
"Ada apa ini? Kenapa suasananya menjadi tegang?" celetuk seseorang yang muncul tiba-tiba. "Ada apa kak Agatha? Jangan terlalu keras kepada Riza," lanjutnya membuat Riza mendesah.
"Iya paman, kasihan Riza kan anak yang baik." Bianca pun menyahut dan menatap sinis Riza tanpa orang lain tahu.
Terlihat sekali ayah Riza mencoba tersenyum. "Tidak ada, kami hanya sering kali berbeda pikiran. Ayo masuk ke dalam, bi Ina sudah menyiapkan makan malam. Kalian harus menghabiskannya," kata ayah Riza yang kini menggandeng adiknya. Sementara Riza berjalan paling belakang sebelum Bianca memberhentikannya.
Bianca memandangi Riza dengan jarak begitu dekat. "Sepertinya kamu harus mempersiapkan diri," bisiknya yang terdengar cukup aneh dan tak Riza mengerti.
-Tbc-