Chereads / NYCTOSIREN (Indonesia) - [FREE SAMPLE] / Chapter 4 - BAB 2 Life Isn’t Like An Instant Noodle 2

Chapter 4 - BAB 2 Life Isn’t Like An Instant Noodle 2

Pada awalnya, ia menjalani masa-masa suramnya sendirian. Tak ada orang yang bisa diajak untuk menumpahkan segala keluh kesahnya. Hal yang membuatnya tetap pada kewarasan adalah dengan curhat di media sosial sebagai orang lain. Ia tak butuh simpati atau belas kasihan, murni hanya ingin melampiaskan segala keluh kesah semata. Ada yang peduli atau tidak pada postingannya, ia tak ambil pusing.

Di sinilah awal mula hidupnya terjalin erat dengan AG.

Ia mendapat respon dari seseorang yang ternyata teman kelasnya sewaktu di bangku SMA. Dari yang semula hanya berupa reaksi simpati emoticon, lalu berlanjut komentar-komentar penyemangat hingga mereka tak mengira akan seakrab saat ini. Agung Gardana Mahesa. Sering dipanggilnya dengan sebutan AG.

Waktu berlalu, tahu-tahu mereka saling menjadi tempat curhat masing-masing. Siapa yang sangka dua manusia yang dulunya jarang berbicara sewaktu SMA, kini memiliki ikatan yang kuat lebih dari ikatan darah. Ikatan itu diperkuat dengan label keduanya sama-sama masuk kategori damaged people* yang berhasil melalui masa-masa paling gelap dalam hidup mereka.

AG memiliki masa lalu yang tidak mengenakkan dengan cara didik ayahnya yang kejam dan keras. Pribadinya tumbuh menjadi individu yang menikmati hal-hal berbau kekerasan secara diam-diam. Bahkan pernah bergurau pada Sasha bahwa ada monster yang terbangun dalam dirinya sejak ia mengalami puncak-puncak tersulit dalam hidupnya. Dan monster itu sangat menyukai darah dan kekerasan.

Benar saja. Hal nekat pertama yang dilakukan AG adalah memancing pria yang merupakan mantan dari pacarnya. Pria itu tidak terima diputuskan begitu saja, hingga mulai mengganggu dan mengintai Aida, pacar AG.

Mantan Aida itu seperti orang yang terkena sakit jiwa. Obsesi pria itu semakin bertambah dari hari ke hari pada pacar AG hingga pernah membahayakan nyawa perempuan itu. AG sangat berang mengetahuinya.

Lelaki yang sehari-harinya tersenyum ramah itu, tanpa ada yang tahu punya masalah dengan manajemen amarah. Ia kalap dan segera menyusun rencana balas dendam terorganisir. Pria obsesif itu dipancingnya ke tempat sepi lalu dihajar habis-habisan hingga nyaris tewas.

AG terpukul mengetahui alasan dibalik kenapa mantan Aida yang suka mempermainkan wanita itu tiba-tiba kembali tertarik padanya. Rupanya, Aida masih berinteraksi dengan mantannya walau sedang menjalin kasih dengan AG. Ia memang perempuan yang sedikit naif dan polos, dan itu dimanfaatkan oleh mantannya.

Ketika ditanya dulu apakah ia sudah tak ada komunikasi lagi, Aida berkata dengan tegas bahwa ia sudah selesai dengannya. Sayang seribu sayang, AG mendapati sms mereka. Isinya membuat AG patah hati. Ia tak menyangka pacarnya begitu tega melakukan hal itu padanya.

Kekhawatiran AG semakin menjadi.

Kebohongan demi kebohongan terbuka bagaikan bola salju yang membesar. Tragisnya, Aida malah lebih memihak pria itu ketimbang AG yang hanya menambah luka di hati lelaki ramah itu.

Meski tak ada hubungan apa-apa lagi di antara mereka dan AG memaafkannya, tetap saja kebohongan Aida membuatnya marah besar, kecewa, dan merasa dikhianati. Namun, cintanya pada Aida membuat AG tak berdaya, sudah terlanjur sayang sekali padanya. Meski tersakiti lagi dan lagi, tetap saja ia memaafkannya.

Sebagai gantinya, lelaki itu melampiaskannya pada hal-hal berbau kekerasan, seperti menonton film-film berunsur darah, penyiksaan, dan pembunuhan.

Dari luar, tak akan ada yang tahu bahwa AG, pria yang tampan, kalem, suka menolong, dan pemilik senyum termanis itu memiliki sisi gelap yang membuat siapapun bakal merinding ketakutan.

Saking kuatnya ikatan kepercayaan di antara mereka, AG dan Sasha memiliki sisi gelap yang hanya mereka berdua saja yang tahu. Sasha tidak takut saat mengetahui rahasia kecil AG. Sisi pengertian dan rapuhnya bisa memahami semua itu. Ia lebih takut pada dirinya sendiri.

Rasa sakit mampu mengubah seseorang hingga ke level yang tak bisa diduga oleh siapapun.

Satu hal yang dipelajari AG adalah bahwa sebuah kesalahan besar berharap pada manusia. Hanya akan berujung pada kekecewaan tiada akhir. Dan Sasha setuju. Kasusnya mirip dengan AG, walau pada beberapa poin agak berbeda.

Intinya, mereka sama-sama merasa dikhianati oleh perbuatan orang yang dicintai. Bedanya, AG memilih bertahan sedangkan Sasha yang sudah merasa cukup tersakiti memilih untuk mengakhiri semuanya. Ia takut lepas kendali dan tak bisa kembali seperti semula, lalu berakhir seperti AG yang kini tampak seperti nuklir yang tak stabil.

Kemiripan kisah mereka dan sisi gelap itulah yang membuat ikatan mereka kuat melebihi saudara kandung. Sebuah ikatan kuat yang akan sulit dimengerti oleh orang lain pada umumnya.

Dua insan manusia yang terluka oleh orang yang mereka cintai dengan sisi gelap yang tersembunyi, sisi yang bangkit karena kekecewaan dan putus asa, tapi tak bisa berbuat banyak selain menahan diri dan melampiaskannya pada hal-hal lain demi menjaga 'kehidupan normal' mereka.

Saling mengingatkan adalah ritual wajib ketika masalah genting menimpa mereka berdua agar tak gelap mata dan tanpa sadar melukai seseorang.

Sasha pernah sekali membuat keluarganya terkejut dengan amukan tiba-tibanya. Ia menyesal dan malu luar biasa sampai tak mau keluar kamar selama tiga hari dan merenungi tindakan tidak masuk akalnya itu dengan batin tersiksa.

Itu di luar kendalinya....

Tubuhnya bergerak sendiri, dan yang mengerikan sekaligus menakutkan, ia menyaksikan semua itu secara nyata dari alam bawah sadarnya yang lain—mirip saat proses kehilangan kendali atas tubuh saat akan kerasukan. Kesadaran menjadi terpecah, tubuh terasa ringan seolah roh layaknya terbang keluar dari tubuh

Penglihatannya pun mulai gelap sedikit demi sedikit, saat itu hampir saja ia menghancurkan semua isi rumah jika saja adiknya, Alby, tak memegangnya detik berikutnya.

Penyebab amarahnya kala itu adalah mengenai hutang keluarga.

Begitu banyak mulut yang mengoceh, nada suara tinggi yang tak mengenakkan hati, dan ekspresi wajah marah dan jijik silih berganti bermunculan, membuat Sasha muak.

Sesuatu dalam dirinya membisikkan suara seperti: Lepaskan.... Aku sudah tidak tahan lagi....

Semenjak itu, Sasha terkadang takut pada dirinya sendiri. Ada 'sesuatu' yang bangkit dari tidur lelapnya di dalam dirinya. Setiap saat selalu siap mengambil alih tubuh dan pikirannya jika sedikit saja ia lengah.

AG memahami hal itu ketika Sasha menceritakannya dengan panik melalui sambungan telepon.

Jika AG menerima monster dalam dirinya, tapi Sasha tak bisa. Ia ingin normal.

Pada masa-masa kesepiannya menjalani depresi, walau tak bisa menerima sisi monsternya, tetapi sang monster itu selalu ada menghiburnya, membuat dirinya kuat, dan tetap hidup sampai saat ini. Monster itu menguatkan Sasha dalam berbagai aspek. Kadang ia bersyukur, hanya saja menerimanya bersemayam dalam dirinya adalah dua hal yang berbeda.

Itulah awalnya hingga AG menjadi bagian terpenting dalam hidup Sasha sampai detik ini.

Sayangnya, Sasha mengurangi frekuensi curhatnya. Ia tak ingin merepotkan lelaki itu setiap waktu hanya untuk mendengar keluh kesah lebay-nya yang begitu dramatis.

Dan AG-lah yang bersumbangsih besar dalam dunia kepenulisan yang ia geluti saat ini. Ucapan terima kasih saja tak akan cukup untuk membalas semua jasa-jasa AG dalam hidupnya.

"Jadi, kau akan pergi bersama temanmu?" teriak Riri lebih keras ketimbang suara TV yang dinyalakan begitu berisik di pagi hari yang tenang dari lantai dua.

Flashback akan sosok AG yang hadir dalam hidupnya buyar seketika itu juga.

".... fenomena orang hilang akhir-akhir ini semakin merajalela di berbagai pelosok daerah di tanah air. Masyarakat dihimbau agar lebih berhati-hati saat berada di luar rumah, utamanya pada malam hari. Sejauh ini sudah ada lebih dari seratus kasus orang hilang selama sepekan belakangan ini. Pihak kepolisian akan menangani kasus ini dengan sangat serius. Dugaan adanya keterlibatan kelompok ekstrimis membuat Kapolri mengambil langkah waspada guna mencegah hal-hal yang tak diinginkan."

Sasha hanya terdiam mendengar pria yang membacakan berita di tv, berharap salah satu dari korban tersebut adalah dirinya. Tatapannya suram ketika beralih ke isi mangkuk. Hilang sudah nafsu makannya.

"Kau akan ke bandara dengan temanmu, kan? Kasus orang hilang semakin menjadi-jadi. Mama bisa cemas bukan main kalo kamu hanya pergi sendirian." teriak Riri lagi.

"Ya.... Ya.... Aku meminta AG menemaniku," balasnya ogah-ogahan, "bukannya bagus kalau aku menghilang saja? Beban keluarga semakin berkurang, kan?" tambahnya dengan suara berbisik, ia menyendok mienya dengan garpu, menatapnya sejenak lalu meletakkannya lagi.

Suara berita TV kembali menghiasi rumah dua lantai itu. Sasha meringis mendengarnya.

"Seorang mahasiswa perguruan tinggi ternama di Bandung ditemukan meninggal di kosnya pada Sabtu sore lalu. Korban bernama Faisal Ummam. Pemilik kos menemukan korban dengan obeng menancap di kepalanya, diduga kematian korban dilatarbelakangi modus perampokan. Beberapa benda berharga milik korban raib dari tempatnya.

'Iya, pak. Anak itu bilang katanya mau pulang kampung minggu ini, katanya nanti saya dititipi kunci kos-nya kalau sudah mau berangkat hari Senin lalu. Tapi, sudah lewat berapa hari, dia belum datang-datang juga. Saya pikir, mungkin dia sakit habis jatuh dari mendaki minggu lalunya. Cemas, akhirnya saya kunjungi karena dia cuma sendiri di sana, yang lainnya sudah pulang kampung duluan. Nah, saya gedor-gedor pintunya, tidak ada yang menyahut, lalu ada bau busuk dari dalam. Saya mulai mikir yang nggak-nggak. Jadi, buru-buru saya buka pintu pake kunci cadangan buat periksa. Disitulah, saya kaget dan lari minta tolong, pak!'

(beralih ke suara jurnalis lapangan)

Demikian penuturan Pak Sutisyono, sang pemilik kos.

Meski diduga kematian korban adalah akibat hantaman obeng di kepala, namun tubuh korban menunjukkan pembusukan sudah berlangsung selama beberapa hari. Pihak forensik mengatakan bahwa tusukan obeng di kepala dilakukan setelah sang korban meninggal terlebih dahulu. Untuk pemeriksaan lebih lanjut, pihak forensik akan melakukan autopsi guna mencari tahu penyebab pasti kematian sang korban...."

Tak nyaman mendengarnya, tangan kanan Sasha mengepal kuat seraya mengernyitkan kening.

"Bisa nggak cari acara yang lebih bagus pagi-pagi gini? Siraman rohani, kek." komentar Sasha ketus, ia menatap nanar mienya, kepalan tangannya melemah.

Nafsu makannya lenyap bagaikan ditelan oleh lubang hitam. Ia berdiri, membuang isi mangkuk itu ke dalam tempat sampah.

Satu lagi pagi tak mengenakkan. Setiap kali topik itu dibahas oleh Mama, maka nafsu makannya raib entah ke mana.

Tak heran berat badannya turun drastis selama beberapa bulan belakangan ini. Takut terkena anoreksia, terkadang dipaksanya untuk makan meski tak lapar, tapi berhenti pada suapan kelima. Toh, makanan itu dimuntahkan juga pada akhirnya.

Keluarganya berpikir Sasha sedang melakukan diet ketat.

Namun, sesungguhnya ia tengah berjuang melawan tekanan mental yang dideritanya selama ini.[]