"Sha! SASHA!"
Si pemilik nama itu mendengar teriakan Riri.
Dari nada suaranya, bisa ditebak apa penyebabnya. Lagi-lagi ia terlambat bangun. Tubuhnya masih di atas tempat tidur, melengos dengan mata setengah mengantuk.
Perempuan bermata minus itu berniat bangun lebih awal dari biasanya. Sayang, karena terlalu gembira dengan kabar adiknya yang akan pulang kampung, itu membuat otaknya bagaikan kembang api semalam suntuk.
Kehadiran adiknya adalah satu-satunya yang membuatnya bersyukur. Hanya Alby, anggota keluarganya yang sama sekali tidak menghakiminya terlepas dari segala hal yang terjadi padanya. Malah sebaliknya, memberi semangat dan motivasi walau terkadang disertai lelucon yang menyindir tajam. Itu pun tak masalah bagi Sasha. Toh, Alby tak ada maksud buruk menjelek-jelekkannya seperti yang lain, karena pada akhirnya adiknya itulah yang selalu menyemangatinya di setiap situasi.
Kesadaran Sasha masih belum pulih benar dari rasa kantuk yang menangkapnya. Tubuhnya masih bergelung di kasur layaknya kucing manja. Lebih nyaman lagi ketimbang sebelumnya pada bantal-bantal sejuk dan empuk di sekelilingnya.
"Sasha! Aku nggak punya waktu bangunin kamu seharian! Aku harus ke kampus pagi-pagi!" teriak Riri lebih keras, nada suaranya terdengar agak marah.
"Eng... ya, ya! Lima menit lagi!" balasnya dengan mata masih menutup.
Sekujur tubuhnya terasa sakit seperti biasa saat bangun pagi. Menurut dugaannya, itu adalah efek dari depresi yang deritanya—sama sekali tak ada tenaga untuk melakukan apapun secara harfiah.
Beberapa minggu ini lebih mendingan daripada yang sudah-sudah.
Bangkit dari depresi itu tak semudah yang dipikirkan orang banyak, butuh proses dan tahap yang memakan waktu tak sedikit. Sasha berusaha melawan efeknya meskipun berat, sebab risiko jatuh ke lubang yang sama berpotensi besar menjegal niatnya untuk bangkit.
Riri berhenti berteriak, suara langkahnya terdengar menaiki tangga, berat dan cepat menuju arah kamar.
"Bangun!" ia menarik kasar selimut Sasha. Ujung jilbab rawis berwarna khaki-nya menjuntai menggelitik wajah sang adik.
"Apaan, sih? Bentar lagi! Wajahku jadi gatal, nih, kena hijabmu!" Sasha mengambil kembali selimutnya, mempertahankan posisinya di atas kasur seolah-olah hendak diserang oleh beruang.
"Bangun, dasar pemalas! Kamu sudah nggak punya pekerjaan, nggak nikah juga, malah malas-malasan di rumah jadi beban saja!" kata-kata itu meluncur bagaikan jet tempur tanpa ampun dari mulut Riri.
Seketika itu juga rasanya ada yang mengiris tepat di jantungnya. Tenggorokannya terasa pahit, terganjal oleh suatu.
Satu lagi pagi yang membuatnya tertekan. Kedua tangannya tiba-tiba mengepal kuat, bibir gemetar hebat. Hatinya seolah membara oleh api yang tak terlihat.
"Lalu kenapa?" Sasha terduduk di kasur, menyibakkan selimut di depan wajah Riri, "memang selama ini kau tahu apa, hah? Kau hanya memikirkan dirimu sendiri! Apa kau tahu kalau selama ini mama bersedih dengan sikapmu yang tak tahu memperlakukan orang tua? Aku bisa saja seorang pengangguran pemalas yang tak dilirik siapapun untuk dinikahi, tapi setidaknya aku 'tahu' bagaimana memperlakukan orang yang lebih tua dariku, khususnya pada orang tua sendiri! Kau tak tahu apa-apa, Riri! TAK TAHU APA-APA!"
Entah ada angin apa pagi itu, Sasha lepas kendali. Lagi. Mungkin ia sangat sensitif dengan kata 'beban' sehingga membuatnya mengoceh seperti orang gila.
Riri menamparnya.
"Kenapa denganku?! Aku tidak salah apa-apa!" suara Riri bergetar lemah. "Kau yang salah di sini! Harusnya kau cari pekerjaan! BUKANNYA MALAS-MALASAN DI RUMAH SEPERTI ORANG YANG PATAH HATI!" pekik Riri histeris.
Kakaknya orang yang sangat kompetitif, berlawanan dengan dirinya.
Riri adalah orang yang tak menyukai kekalahan, lebih-lebih mengakui kesalahannya sendiri. Orangnya memang keras kepala, pendendam, dan hal yang paling tak bisa Sasha tahan adalah kakaknya itu selalu bersikap seolah-olah menjadi korban atas segalanya. Sungguh memuakkan!
Ia terdiam dengan wajah dimiringkan; menatap kasur dengan tatapan hampa, sebuah senyum kecut mengembang sekilas lalu tertekuk suram. Terlihat darah menghiasi ujung bibir mungil itu.
Tamparan itu cukup keras hingga membuat Sasha berada di tepian jurang depresi. Menolak untuk jatuh, ia menegakkan kepala, menatap Riri dengan tatapan dingin.
"Omong kosong macam apa yang kau bicarakan?"
"Ya! Pasti itu!" Riri mulai tertawa kecil, terlihat ada kemenangan besar di kedua bola matanya.
"Menyedihkan! Sungguh menyedihkan kau hancur seperti ini gara-gara seorang lelaki!"
Hati Sasha seperti dipilin berkali-kali mendengar hal itu. Tanpa sadar ia berdiri dari kasur dan mendorong Riri hingga menghantam pintu lemari, jatuh ke lantai dengan bunyi debam kerasa.
"KAU TAHU APA, HAH?!" berang Sasha. "Kenapa memangnya kalau aku hancur oleh seorang lelaki? Aku masih lebih baik darimu yang sama sekali tidak mengerti apa itu cinta! Kau bahkan tak tahu bagaimana berlemah lembut pada kedua orang tuamu sendiri! Bagaimana mungkin kau mengerti apa itu cinta! KAU EGOIS!"
Riri tersentak mendengarnya. Bulir-bulir air mata mulai menuruni kedua pipinya, menyapu make-up di wajahnya, membuat baju putih yang akan dipakainya ke kampus kini ternodai.
"Aku mungkin saja adalah 'beban finansial' bagi keluarga ini, tapi kau adalah 'beban pikiran' bagi mama! Apa kau tahu itu? Tidak. Tentu tidak!" Sasha mendengus, ia memberi tekanan khusus kata sensitif itu. "Kau mau tahu kenapa? KARENA KAU HANYA MEMIKIRKAN DIRIMU SENDIRI!" Sasha mengucapkan kalimat itu dengan penuh rasa benci dan amarah yang meluap-luap, ia menyipitkan mata seolah tengah melihat hal paling buruk di depan matanya, sesuatu yang menjijikkan dan kotor.
"K-kau..."
Riri tak sanggup mengucapkan sepatah katapun. Ia bangkit dan berlari keluar kamar dengan air mata masih mengucur deras di pipinya.
Sasha duduk terhenyak di lantai. Kesadaran menghantam dirinya bagaikan tersiram air dingin.
Apa yang telah dilakukannya?
Kali ini, giliran Sasha yang menitikkan air mata. Ia tak menyangka pagi itu akan diwarnai oleh isak tangis mereka berdua. Drama macam apa lagi kali ini? Beban pikiran? Bukankah ia juga sama saja? Tenggorokannya tercekat.
Di lantai satu ia mendengar kakaknya membanting pintu utama. Sepertinya memutuskan untuk berangkat ke kampus dengan muka semrawutan. Make up-nya belepotan oleh air mata.
"I'm sorry…. I'm so sorry...."
Sasha menangis terisak dengan kedua tangan menutupi wajahnya.
Rambut hitam lurus dan panjangnya menjuntai di kedua sisi bahunya.
***
"Nak Sasha! Nak Sasha!"
Suara pintu terdengar diketuk begitu keras hingga Sasha terkejut dalam tidur. Samar-samar, ia mendengar namanya disebut-sebut oleh seseorang. Matanya dibuka perlahan, pandangannya masih kabur. Rupanya tanpa sadar ia tertidur di lantai.
Masih mendengar teriakan itu, kupingnya dipasang baik-baik, suara itu berasal dari luar pagar di bawah.
Ia bangun dan mengusap pipinya. Lengket. Apa ia tidur sambil menangis? Pikirannya masih sulit memproses semuanya, hanya satu yang bisa dipastikan saat ini, ia merasa lelah sekali. Pipinya pun masih terasa sakit. Darah masih membekas di bibirnya.
Jam dinding menunjukkan sudah hampir pukul dua belas siang.
Sekujur tubuhnya terasa berat dan sakit seperti habis berolahraga pertama kali. Sungguh ia benci depresi!
"Ya! Tunggu!" teriaknya dengan suara serak.
Sasha buru-buru memperbaiki penampilannya, mencuci wajah kemudian turun ke lantai satu mengecek tamu tak diundang tersebut. Satu matanya mengintip dari balik gorden, meski tak sedang memakai kacamata, ia tahu siapa itu—toh, minus matanya tidak begitu parah.
Rupanya Puang Aji, perempuan paruh baya pemilik rumah yang mereka sewa. Sasha buru-buru keluar rumah, menghampirinya.
Dari balik pagar, Puang Aji tersenyum lebar yang sulit untuk tidak dibalas, beliau memakai daster hijau lengan panjang bercorak batik dengan jilbab besar berwarna krem.
"Iye, Puang Aji, kenapa ki?" ucap Sasha dengan dialek lokalnya seraya membuka pagar.
Setelah lebih dekat, baru disadarinya ada bungkusan kain hijau yang memiliki motif serupa dengan daster yang dipakai Puang Aji, melekat erat dalam pelukannya.
"Ini, nak, oleh-oleh! Ada keluarga di Bone habis dari Palopo. Na kirim sebagian tawaronya ke Makassar. Nak Riri, kan, suka makan Kapurung. Jadi, Puang Aji bikinkan mi saja kapurung sekalian."
Puang Aji begitu berseri-seri memberi kapurung buatannya kepada Sasha.
"Terima kasih, Puang Aji!" Sahut Sasha tulus, ia menerima bungkusan tersebut dengan hati riang.
"Kalo begitu, permisi ka dulu, nak!"