Chereads / Enam Suami Tampan / Chapter 32 - Ia Mendesah dan Berakhir

Chapter 32 - Ia Mendesah dan Berakhir

Dong Huiying menoleh. Ia mendesah dan hampir terlepas dari rasa kantuknya. Tapi ia Mencoba mendengar perkataan Liang Yixuan, sepertinya ia tidak mendengar ucapannya dengan jelas. Ketidakjelasan itu membuat Dong Huiying bingung.

Melihat Dong Huiying yang kelelahan, Liang Yixuan menghela napas dan menyipitkan matanya. Tampak ada noda darah yang merembes dari lengan baju gadis itu.

"Tak apa-apa, tidurlah!" Liang Yixuan mencoba mengistirahatkan Sang Istri.

Dong Huiying seketika tertidur, karena ia tidak bisa menahan rasa lelahnya lagi.

Awalnya, Liang Yixuan hendak memeluknya dan membawanya pulang. Namun, saat terdengar suara petir yang menggelegar. Ia ikut merasa takut, menurutnya kini lebih baik mencari sebuah kuil di dekat gunung. Setidaknya mencari tempat berteduh merupakan pilihan yang terbaik.

Bila diingat, beberapa dekade lalu banjir melanda Gunung Taihang. Ada kabar jika desa-desa di gunung menyumbang uang untuk membangun kuil bagi para dewi. Namun, mungkin itu hanya takhayul semata. 

Nyatanya setelah kuil tersebut selesai dibangun, tanah di daerah ini masih belum aman. Banjir, gempa bumi, dan bencana alam lain masih terus melanda. Seiring dengan berjalannya waktu, kuil ini ditinggalkan oleh masyarakat. Dengan tidak ada orang yang berkunjung ke sana, kuil ini pun jadi tidak terawat. 

Keputusan Liang Yixuan untuk mencari tempat berteduh ini bukan berarti ia takut dengan hujan. Namun ia lebih khawatir dengan keadaan Sang Istri. Saat ini sekujur tubuh Dong Huiying penuh dengan luka. Karena itulah Liang Yixuan memutuskan untuk membawa Dong Huiying berteduh dari hujan lebih dulu. Setelah hujan berhenti, mereka akan kembali ke Desa Kaoshan. Dengan demikian hatinya dapat merasa lega dan tenang.

Setelah masuk ke dalam kuil, Liang Yixuan mengumpulkan jerami. Ia duduk di samping Dong Huiying dan menatapnya yang sedang berbaring di atas rumput. Pikirannya tenggelam, kemudian ia pun menutup matanya dan merenung. 

Ia membayangkan sesuatu yang menakutkan. Seketika pisau dapur di dadanya menampakkan mata pisaunya. Liang Yixuan sedari tadi membawa pisau itu untuk keamanan dirinya. Namun dalam ingatannya, pisau dapur ini adalah benda yang telah membuat Sang Istri berdarah. Penggunanya tidak lain adalah Liang Yuening. Kakak Kelima dengan sengaja melukai Dong Huiying. 

Pikiran Liang Yixuan semakin berputar ke adegan yang lain. Saat ia ingat sedang keluar dari rumah. Sambil tetap membawa pisau itu, ia ingin menusukkan pisau ini kepada Zhu Xingfang. Namun, ketika ia melihat keadaan Dong Huiying seperti ini, ia pun membatalkan niatnya.

Dalam pikirannya, Liang Yixuan merasa bimbang untuk menentukan posisi Dong Huiying sebagai musuh bebuyutan ataukah malah sang penyelamat.

Bila diperhatikan selama kejadian beberapa hari ini, Dong Huiying layaknya hujan yang selalu tepat waktu dan ia juga selalu menunjukan kepolosannya. Dengan tenang gadis ini selalu mengikutinya dan mencoba menghilangkan ketidak-tenangan dalam pikirannya. Adegan demi adegan pun berlalu dalam pikirannya, ia mulai paham bahwa ini semua adalah perasaan manusia.

Liang Yixuan merasa sudah harus menyingkirkan pisau dapur itu. Ia menyentuh kakinya yang patah dan merasa tidak berdaya. Seperti orang yang sedang mengakui kesalahan, ia menghela napas perlahan.

"Haaah, hapus saja masa lalu itu." Sambil menarik nafas, Liang Yixuan mencoba menghapus segala pikiran jahatnya. Ia harus lebih fokus menjaga tugas dan tanggung jawabnya untuk masa depan. Ia juga berharap kondisi Dong Huiying selalu baik-baik saja.

Semakin banyak waktu yang terlewati, hujan tidak juga berhenti. Rintikan hujan yang deras pun tidak juga berkurang.

Keesokannya terdengar ayam berkokok, fajar sudah merekah di hari kedua. Liang Yixuan yang baru bangun ingin membangunkan Dong Huiying. Namun ketika ia menyentuh kening gadis itu, ia terkejut. Lalu, ia mengukur suhu tubuh didahi Dong Huiying.

Sang Istri terkena demam tinggi! Situasi ini makin berbahaya.

"Ini salahku." Ujar Liang Yixuan dengan suara rendah.

Bibir tipis Liang Yixuan bergetar. Tanpa menunda lagi, ia segera menggendong Dong Huiying dan kembali ke Desa Kaoshan.

*****

Di desa Koashan, Liang Yuening tampak gelisah. Dia berusaha mencari adik bungsu yang tidak diketahui keberadaannya, "Di mana dia?"

Liang Yuening pulang ke rumah dengan bercucuran keringat. Ia melihat Haoming sedang berdiri di luar halaman seperti Dewa Pintu[8].

"Tidak ada!" Balas Liang Haoming cepat.

Saat ini suasana hati Liang Yuening tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Semalaman hujan turun begitu lebat. Pada situasi ini ia merasa lapar sekaligus kedinginan, meskipun begitu ia tak lagi merasakannya. Ia justru lebih khawatir dengan keadaan Liang Yixuan.

"Dasar sial! Apa yang sebenarnya diinginkan si bocah Lao Liu itu? Aku baru saja ke Desa Zhujia. Rumah Zhu Xingfang sepi. Sepertinya tak ada apa-apa di sana, tapi ke mana Lao Liu pergi?" 

Sudah sejak semalam Liang Yixuan menghilang. Liang Haoming mengira bahwa Liang Yixuan sedang mencari Zhu Xingfang dan menyelesaikan hutangnya. Terlebih, ia menemukan bahwa pisau dapur di rumah keluarga itu berkurang satu. Kecurigaannya akan hal itu pun semakin menguat. 

Tetapi, meski apapun yang terjadi, keenam saudara Liang tak bisa meninggalkan rumah. Alasan utamanya adalah Ibu mereka, Liang Yuru. Selama dalam kondisi lumpuh total, Sang Ibu tak bisa melakukan banyak hal. Liang Haoming menyembunyikan masalah hilangnya Liang Yixuan. Ia takut Liang Yuru khawatir dan membuat keadaannya semakin buruk.

Liang Haoming memandangi pegunungan yang diselimuti kabut dari kejauhan, "Hujan semalam benar-benar deras."

Setelah Liang Haoming berpikir cukup lama, ia langsung bertanya kepada Liang Yuening, "Coba periksa di rumah!"

"Eh …" Pernyataan itu membuat Liang Yuening terheran.

Benar, Liang Haoming selalu menghargai kata-kata singkat yang seperti emas.

  1. Dewa Pintu adalah dewa kepercayaan masyarakat Tiongkok kuno yang selalu berdiri di depan pintu yang bersifat menjaga dan mengayomi.