Sepulangnya, Clarissa merasa agak tenang. Ia yakin semua akan menjadi baik-baik saja. Setidaknya, Abraham bisa melihat usahanya dan semoga mau membantunya.
Clarissa langsung kembali ke kamar hotel. Hari telah malam. Ia harus beristirahat dan mempersiapkan diri untuk acara pemotretan majalah besok siang. Tiba-tiba ponselnya berdering. Tertulis nama Abraham di layar. Clarissa pun menerima panggilan tersebut.
Suara amukan Abraham pun menyambut sapaan Clarissa. Abraham terdengar sangat kecewa atas tindakan yang Clarissa lakukan tadi siang. Kemudian menyuruh Clarissa melihat berita terbaru mengenai dirinya.
Clarissa pun menyalakan televisi besar di kamarnya. Beberapa berita menayangkan skandal dirinya dan Rega yang tengah panas-panasnya. Namun, tidak ada satu pun dari berita itu yang sesuai dengan bayangannya. Rupanya, tindakan yang ia lakukan menjadi senjata makan tuan. Berita-berita itu memutarbalikkan jauh dari fakta sebenarnya. Dan para wartawan menjadikan klarifikasi darinya sebagai olok-olokan.
"A-apa yang harus aku lakukan sekarang, Pak?" tanya Clarissa. Tubuhnya menjadi lemas dan bergetar.
"Bukankah sudah kubilang, tenanglah karena aku sedang mencari jalan keluarnya!" sentak Abraham tidak sabar. "Ini tidak semudah yang kamu kira. Karena lawan kita bukan berasal dari keluarga biasa. Dengan uang dan kekuasaan, mereka bisa dengan mudah menciptakan kebenaran."
"Tapi, ini bukanlah kebenaran, Pak. Klarifikasi Rega bohong. Aku yang benar." Clarissa bersikukuh.
"Clarissa. Kebenaran bukanlah kejadian sebenarnya. Tapi, kejadian apa yang diceritakan orang-orang dan apa yang mereka percaya. Dan saat ini, kebenaran itu adalah Rega Adair."
"Lalu bagaimana denganku? Bagaimana aku ke depannya? Semua akan baik-baik saja, kan? Semua bisa kembali ke semula, kan?" Clarissa menembaki Abraham dengan pertanyaan.
"Aku akan berusaha semampuku, Rissa," jawab Abraham, terdengar begitu lemah. Seolah ia tidak yakin dengan jawabannya.
Clarissa menjadi semakin khawatir. Ia pun kembali bertanya, "Apa maksudnya?"
"Kariermu sekarang berada di ujung tebing. Bahkan angin sepoi pun bisa menjatuhkanmu dengan mudah."
Tubuh Clarissa amat lemas. Kakinya bergetar. Tak lagi mampu menopang sang tubuh. Ia pun terkulai di atas lantai. Ponselnya jatuh. Terdengar suara Abraham yang mengkhawatirkan kediamannya tiba-tiba.
"Clarissa! Jawablah panggilanku!" Suara Abraham dari balik sambungan telepon.
Clarissa tidak menyahut. Untuk bersuara saja tenggorokannya terasa kelu.
Benar saja. Hanya dalam beberapa hari, karier Clarissa telah jatuh ke dalam jurang. Semua iklan, acara, dan film-film memutuskan kontrak mereka dengannya. Tidak ada satu pun yang mau menerimanya lagi membintangi film mana pun, bahkan meski menjadi pohon beringin sekali pun.
Abraham tidak bisa mempertaruhkan agensinya untuk membayar berbagai penalti yang harus ditanggung Clarissa. Sehingga ia juga memutuskan untuk memecat Clarissa dari agensi dengan berbagai alasan yang ada. Terpaksa, Clarissa harus menjual apartemen, mobil, bahkan seluruh isi lemarinya untuk membayar penalti itu. Sisanya, ia masukkan ke dalam tabungan sebagai simpanan. Sayangnya, simpanan itu tidak bisa berlangsung lama karena ia terus membutuhkan makanan meski belum mendapatkan satu pun pekerjaan.
Clarissa akhirnya memilih pulang ke kampung halaman mendiang orang tuanya. Lagi pula, ia sudah tidak punya tempat untuk bernaung di kota ini lagi.
Sebelum pergi, Clarissa menyempatkan satu malam untuk bertemu Rega di depan rumahnya. Tampak pria itu menyambutnya dengan senyum dan wajah berseri. Mengibarkan aura kemenangan.
"Aku salut dengan keberanianmu karena menemuiku malam ini." Rega memberikan tepuk tangannya.
"Lagi pula, aku sudah tidak memiliki apa pun lagi. Justru kamulah yang bisa kehilangan segalanya jika seseorang melihat kita berdua di sini," ujar Clarissa tidak mau terlihat kalah.
Rega malah tersenyum. "Enggak akan sulit buatku menyelamatkan apa yang kumiliki hari ini. Kalau ada orang yang memergoki kita berdua, aku hanya perlu mencelakai diriku seolah-olah kamu yang melakukannya."
"Persis seperti yang kamu lakukan sebelumnya," sahut Clarissa.
"Bukankah kamu yang bilang enggak mau main film itu bersamaku. Jadi, aku mengabulkan keinginanmu," ejek Rega.
"Sejak kapan kamu memiliki foto rekayasa itu dan berniat menghancurkan nama baikku? Enggak mungkin kamu membuatnya hanya dalam satu jam." Itulah yang tidak pernah Clarissa mengerti sampai saat ini.
"Jadi, kamu masih berpikir kalau foto itu hanya rekayasa?" Rega tertawa terpingkal-pingkal. "Ayolah, Rissa. Ini bukan film di mana kamu bisa menciptakan benda seperti itu dengan mudah dan tanpa risiko."
Dahi Rissa berkerut. "Apa maksudmu itu foto nyata?"
"Tentu saja. Aku bahkan enggak tahu kalau ada wartawan yang berhasil mengambil gambarku," jelas Rega.
"Ta-tapi, bagaimana bisa kamu masuk ke kamarku?" Kejadian itu tidak pernah terbayang sedikit pun di kepala Clarissa.
Rega berjalan mendekat sehingga dirinya dan Clarissa hanya dipisahkan jarak tipis. "Bukan hanya bisa masuk ke kamarmu. Aku bahkan bisa melakukan ini kepadamu." Telunjuk Rega merayap di atas pipi Clarissa seperti yang ia lakukan malam itu.
Clarissa langsung mencekal tangan Rega dan menjatuhkannya. Seketika raut wajahnya menjadi kesal. Berbagai pikiran macam-macam mulai berkeliaran di kepalanya.
Rega tersenyum miring. Ia mundur perlahan. "Tapi, tenang saja. Aku hanya merusak kariermu bukannya tubuhmu."
"Aku enggak akan berterima kasih untuk itu," sahut Clarissa judes.
"Tapi, kalau kamu penasaran, aku masih bisa memberikanmu kesempatan. Kebetulan istriku sedang berada di rumah mertuanya?" Rega mengerlingkan sebelah mata.
"Rasanya aku ingin menamparmu sekarang juga!" geram Clarissa.
"Dan rasanya, aku juga ingin menggendongmu ke dalam rumahku sekarang juga. Tapi, aku enggak akan melakukannya karena aku sangat menyayangi istri tercintaku."
Tangan Clarissa mengepal erat. Ia harus bisa menahan diri. Cukup kariernya yang hancur tapi tidak dengan kehidupannya.
Dari kejauhan sekelebat bayangan tengah mengawasi mereka berdua. Ia tidak membawa satu pun kamera. Karena kartu memori yang pernah ia temukan di tangga darurat dan kini berada dalam genggamannya sudah cukup bagi dirinya untuk mendapatkan segalanya.
"Sebenarnya, aku juga penggemar beratmu, Clarissa. Tapi, kartu memori ini bisa memberikanku segalanya lebih dari sekadar motivasi darimu," gumamnya.
Setelah melihat kepergian Clarissa, ia pun menghubungi seseorang. "Aku membutuhkan uang itu segera. Atau bukti video ini, akan menghancurkan karier suamimu malam ini juga," ancamnya kepada seorang wanita di balik sambungan panggilannya.
-oOo-