Safira memikirkan percakapannya dan Milie tadi hingga bel tanda sekolah usai berbunyi. Ia tidak bisa langsung kembali ke asramanya. Dia punya janji bertemu Instruktur Bram hari ini. Entah apa yang ingin dibicarakan pria itu.
Apa jangan-jangan Instruktur Bram mengingatnya?
[Ah, tidak. Jangan sampai itu terjadi]
Di satu sisi Safira berharap Instruktur Bram mengingat dirinya sebagai gadis yang menyelamatkannya di gudang petasan. Di sisi lain, ia tidak ingin terlalu dekat dengan pria gelap dan sangat kharistamtik.
Safira melangkah kakinya masuk ke ruang para instruktur. Ruang para instruktur terpisah dengan ruang guru mata pelajaran 'normal'. Anehnya ketika memasuki ruang para instruktur, Safira tidak menemukan keberadaan pria itu.
"Kalau mencari Instuktur Bram sebaiknya kamu ke kebun di belakang sekolah," kata salah satu instruktur.
Safira berjalan menyusuri jalan setapak yang ada di belakang sekolah. Jalan setapak ini menghubungan gedung sekolah, asrama putri dan kebun belakang. Di sepanjang jalan ditumbuhi cordyline merah yang cantik, pohon palem dan pohon jambu biji. Meski tanaman di jalan ini tidak serimbun jalan utama pulau, namun angin sepoi-sepoi berhembus ringan membuat siapapun merasa tenang karenanya.
Safira sedang menyiapkan mental untuk diceramahi oleh Instruktur Bram. Ia sudah berencana akan diam dan menjawab seperlunya. Dia tidak ingin pertemuan pertama mereka di tahun ajaran baru buruk dan membuatnya dimusuhi.
[Apapun yang terjadi aku akan diam]
Safira masuk ke area kebun belakang sekolah. Disana ada rumah kaca besar, kebun tomat, kebun labu, kebun semangka dan kebun singkong. Ada beberapa tongkat bambu yang diletakkan di setiap sudut kebun untuk tempat merambat tanaman kacang panjang dan buncis. Tak jauh dari area kebun ada rumah pondok kayu kecil di bawah rindangnya pohon asam.
Mata Safira mencari-cari keberadaan pria itu. Pandangannya berhenti pada suatu titik di bawah pohon asam dimana Instruktur Bram sedang menggergaji kayu.
Safira berjalan mendekat. "Permisi, Instruktur."
Instruktur Bram mendongak menatap Safira. "Duduklah."
Safira menurut. Ia duduk di sebuah kursi kayu bambu anyaman yang ada di sebelah pohon asam.
Tiga puluh menit berlalu. Instruktur Bram masih sibuk menggergaji kayu-kayu menjadi berbagai macam ukuran. Safira hanya bisa menggigit bibir menunggu kapan ceramah Instruktur Bram dimulai.
"Ambilkan aku paku," kata Instruktur Bram kemudian. Ia menunjuk kotak kayu usang di dekat Safira.
Pada akhirnya Safira membantu Instruktur Bram mengambil obeng, paku, tang dan lain-lain.
Safira memperhatikan Instruktur Bram dari dekat. Penampilan pria itu berubah kasual. Instruktur Bram hanya mengenakan kaus putih panjang yang lengannya dilipat sehingga menunjukan bisep pria itu. Celana jeans berwana pudar yang pas dengan panjangnya.
"Jadi, apa yang membuatmu melamun seharian ini?" kata Instruktur Bram sambil memaku dua bagian kayu membentuk sudut siku-siku.
Safira tersentak kaget. "Hah?"
"Kamu melamun lagi," sudut bibir kanan Instruktur Bram terangkat. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya. "Lihat, sekarang kamu masih melamun. Apa ada yang mengganggu pikiranmu?"
Safira buru-buru menggeleng. Ia malu. "Ah, aku tidak memikirkan apa-apa, Instruktur."
"Aku membaca file data dirimu. Apakah kamu tinggal di Jakarta?"
"Ya," jawab Safira.
Instruktur Bram bangkit dari kursinya mengambil penggaris besi di kotak kayu usang. "Aku tidak menyangka ada anak Jakarta sekolah disini. Biasanya kami jarang menerima siswa dari kota-kota besar. Tak kusangka gadis kota sepertimu tersesat ditempat ini."
Instruktur Bram tertawa kecil.
Dalam hati Safira menggerutu. Siapa juga yang mau sekolah di tempat aneh dan penuh misteri seperti ini? Kalau boleh memilih Safira lebih suka sekolah di Jakarta. Disana banyak mall dan sinyal internetnya lancar. Disini sinyal internet untuk smartphone siswa payah. Kadang ditengah malam Safira harus naik ke lantai paling atas asrama sekedar untuk mencari sinyal.
"Kalau boleh jujur, aku juga tidak berharap sekolah disini," Safira keceplosan.
Alis Instruktur Bram terangkat. "Oh ya? Kenapa?"
Safira diam.
[Mati aku. Kenapa aku malah keceplosan sih?!]
"Sekolah ini tidak seburuk itu. Kamu akan belajar hal-hal menarik disini," lanjut Instruktur Bram. "Tapi kalau kamu tidak bisa bertahan disini, aku tidak kaget."
Safira memandang Instruktur Bram heran. "Kok begitu?"
"Kamu adalah gadis kota modern yang terbiasa hidup diantara gedung-gedung pencakar langit. Tempat sepi seperti ini tentu tidak cocok untukmu. Aku sudah banyak bertemu gadis sepertimu. Mereka tidak tahan banting hidup di tempat seperti ini."
Pria ini jelas meremehkan Safira. Dia menganggap Safira adalah gadis kota manja yang tidak betah tinggal di pulau terpencil.
Safira kesal. Menurutnya Instruktur Bram tidak memahami posisinya sebagai anak berumur 15 tahun yang terpaksa bersekolah di pulau terpencil jauh dari keluarga. Instruktur Bram terlalu menyamaratakan dirinya dengan gadis-gadis kota lainnya. Ya. Safira akui dia adalah gadis kota yang terbiasa hidup diantara gedung pencakar langit, hiruk pikuk kebisingan jalanan macet dan meriahnya pusat perbelanjaan mewah. Tapi, dia tidak manja!
"Aku memang gadis kota, Instruktur. Gadis kota yang tersesat di tempat terpencil. Tapi setidaknya aku bukan gadis manja," Safira mulai berbicara. "Aku sudah tahu rasanya hidup mandiri dan mengurus rumah sendiri. Aku tahu rasanya menjadi anak yang tidak punya ayah sejak kecil. Aku tahu rasanya harus kemana-mana sendiri, harus bisa mengurus diriku sendiri dan harus bisa membantu mamaku yang sibuk menjadi tulang punggung keluarga. Jadi kalau Instruktur Bram berkata aku anak manja, itu salah besar!"
Safira langsung berbalik badan meninggalkan Instruktur Bram yang diam mematung.
[Ini sudah cukup! Aku sudah tidak betah lagi disini]