Chereads / Liburan Ter - Angker / Chapter 22 - Kembali Ke Lubang Buaya

Chapter 22 - Kembali Ke Lubang Buaya

Aku menapaki kembali rumah kontrakan ini, rumah yang sudah hampir 2th aku tempati. Tapi tetap saja rumah ini terasa asing bagiku. Nyaman tak nyaman, sebisa mungkin aku harus merasa nyaman. Terlebih lagi setiap menjelang petang, aroma dupa selalu tercium oleh hidungku. Suasana yang sepi dan mencekam selalu hadir bersamaan dengan aroma dupa.

Aku yakin, bahwa ada permainan manusia di balik Pocong yang selalu hadir di rumahku. Tapi siapa pelakunya? Aku masih belum bisa menebak siapa dia.

"Bu... Aku mau minta bantuan Gus, teman ibu." Ucapku setelah ku tekan tombol dial pada handphone ku.

"Ono opo nduk ? Ada masalah apa lagi?"

"Bayangan putih itu selalu hadir Bu, bahkan kali ini hampir tiap malam Amira tak bisa tidur. Aku juga udah ga nyaman di rumah ini."

"Walah, Yo wes. Seng sabar sek, besok aku tak ke rumah Gus, mengko tak ke rumahmu. Sabar dulu Yo." Suara dari seberang pun terputus.

Untuk menepis rasa bosan, aku keluar membawa Amira berjalan jalan keliling kompleks sambil menyuapinya. Beberapa hari ini Amira susah makan dan tidur. Setiap kali matanya terpejam, dia selalu kembali terbangun dengan tangisan.

"Sarapan ya Amira." Aku tersenyum ketika tetangga ujung kampung menyapa pagi itu, sambil menggendong anaknya dan mengajaknya bermain di depan rumah.

"Iya Tante?"

"Bu Awi, benarkah mau pindah? Jangan dengarkan kata-kata Bu Gotot ya Bu, orangnya memang seperti itu. Suaminya PNS, tapi saya ga pernah lihat suaminya berangkat kerja. Malah tiap hari pakai baju PNS tapi setiap jam 8 udah dirumah."

"Heheheh.. ga apa apa kok Bu, santai saja. Saya sudah terbiasa. Oh iya Bu, rumah kosong depan rumah saya itu apa gak ada yang punya? Saya gak pernah lihat rumah itu di kunjungi yang punya, meski hanya sekedar bersih - bersih."

"Hehehhe.. setau saya, yang punya rumah itu orang kaya Bu, denger denger rumahnya buanyak. Mungkin dia lupa kalau punya rumah di sini." Aku memperhatikan kembali Amira yang mulai ngantuk dan aku pun pamit pulang.

Langkahku terhenti di depan rumah Bu Gotot, aku merasakan ada mata yang menatapku di balik kaca hitam rumah Bu Gotot. Tapi setauku, Bu gotot dan keluarga nya sedang keluar.

"Bu." Suara wanita di seberang rumahku membuyarkan lamunanku.

"Wanita..??" Dadaku bergetar, rumah kosong di seberang kontrakanku sejak kapan berpenghuni. Lagi lagi rasa parnoku hadir tanpa di minta.

"Assalamualaikum bu." Ucapnya sekali lagi.

"Waalaikumsalam." Aku menoleh padanya dan dia manusia.

"Hahhaha.." tawaku dalam hati. Astaga hampir saja aku menangis, kejadian demi kejadian sebelumnya seperti teror bagiku. Meski sudah berkali kali mereka muncul, tapi tetap saja aku tak pernah siap menemui mereka.

"Saya Bu Rini, tetangga baru. Baru hari ini pindah kemari, ini sebenarnya rumah kakak saya, hanya saja saya yang disuruh nempati." Wanita itu menyodorkan sepiring nasi kuning dan jajan jajan pasar di dalam kotak kardus.

"Alhamdulillah.. akhirnya nambah tetangga, salam kenal Bu. Ini rumah saya, jangan sungkan main kerumah."

"Baik Bu, insyaallah. Yang di rumah tadi suaminya ya Bu?"

"Suami? Suami saya sudah berangkat Bu, saya cuma tinggal bertiga saja dirumah ini." Perasaanku kacau kembali, jangan jangan yang di maksud Bu Rini adalah sosok yang seringkali datang menggangguku.

"OOO begitu, baik Bu. Saya pamit pulang dulu." Lanjutnya berjalan menuju rumahnya.

Kalau sudah begini, rasanya aku ingin menghilang saja. Apa apaan tadi, suami katanya. Hatiku jadi bimbang, antara ingin masuk ke dalam rumah atau tetap di luar. Aaaahh.. rasanya seperti orang gila, mau ga mau tetap harus di hadapi.

***

" Nduk.. jare Gus e, Gus mau kerumah mu pas malam Jumat legi."

"Jumat legi? Masih 2 Minggu lagi Bu, apa ga bisa di percepat?"

"Gak iso, pokok e malam Jumat legi, seng sabar sek ya. Ojo lali pesen e Gus, ambil garam secukupnya lalu di bacain Al-Fatihah tiga kali, terus lemparin di setiap sudut rumah. Omah e Ojo sampe sepi, maksud e ngaji o mbendino."

Benar saja, kulakukan perintah ibu setiap menjelang Maghrib setiap bersamaan aroma dupa yang mulai datang menyeruak dan entah dari mana asalnya.

Kubacakan Surah Al Fatihah pada garam di tanganku dan ku lemparkan ke setiap sudut sisi dalam rumah. Perlahan tapi pasti, aroma kemenyan itu menghilang. Aura dalam rumah yang seakan panas berganti dengan angin sejuk yang berasal dari kipas angin ruang tamu.

Yah.. semenjak disini, rasanya kipas anginku tak berfungsi. Panas dan pengap.