"maaa.. mama.. ada apa?" Aku yang masih ketakutan tak berani membuka mata, mengingat suara panggilan di kamar mandi bukan dari suara suamiku, melainkan wajah seram tanpa badan dengan wajah yang penuh darah dan nanah.
"Maa..!"
Sayup sayup terdengar suara adzan subuh, aku memberanikan diri membuka mataku. Dan melihat suamiku sedang kebingungan sambil memegang tanganku.
"Ada apa? Kenapa ?" Tanyanya khawatir.
"Ayo sholat subuh, lalu kita pamit pulang." tegasku membuang selimut.
"Loooh.. ada apa ma? Katakan!"
"Nanti aku ceritakan di perjalanan ya pa, sekarang kita siap siap sholat dulu lalu pamit pulang, bilang saja ada keadaan darurat gitu."
"Hemmmm.. ya ya .. beneran loh cerita!"
"Iya." Jawabku menunduk, aku benar benar ngeri berada di rumah ini. Rumah yang besar terbuat dari kayu jati dan kuburan di sebelahnya yang menambah rasa seram.
"Semalam tidur mu nyenyak sar ?" Langkahku terhenti, menoleh pada suara yang sedang jongkok meniup bara api di depan Pawon.
"Mbah, semalam sari liat hantu."
" Hahahah.. mana ada hantu sar ? Meski rumah Mbah sebelah kuburan, gak pernah sekali pun Mbah lihat hantu."
"Beneran Mbah, suaranya menyerupai mas Awi, rambut nggimbal, wajah penuh darah dan nanah, mata lepas satu dan tanpa badan." Ucapku gemetar, membayangkan sosok kepala semalam membuat jantungku berdebar.
"Dua hari lalu, di desa sebelah ada orang mati terpenggal, namanya kang Jono. Dia mati di bunuh saudara nya sendiri hanya karena warisan. Awal mulanya, kang Sarip mengatakan pada warga jika dia membunuh Jono karena Jono kerap menggoda istrinya, bahkan pernah di setubuhi. Tapi setelah di usut lagi, ternyata warisan lah yang tega membuat Sarip memfitnah dan membunuh Jono. Ciri ciri nya persis seperti yang kamu sebutkan sar. Dia di makamkan di pemakaman sebelah, Mbah kiro, apa yang di bilang orang orang kampung yang katanya Arwah Jono gentayangan itu cuma omong kosong. Ternyata kamu juga di ganggu olehnya." Kalimat si Mbah terhenti. sambil menuangkan air panas pada kopi yang sudah di siapkan di gelas Mbah melanjutkan ceritanya.
"Arwahnya gentayangan, sepertinya dia tidak rela mati seperti ini, istrinya sedang hamil tua. Ini anak pertamanya, orang tua Jono begitu menyayangi nya, Sarip anak angkat bukan saudara kandung Jono. Hanya saja, Sarip orang kaya yang serakah. Hartanya habis karena judi dan main wanita. Hemmm.. menungso, selalu mencari cara untuk mendapatkan harta, tak perduli halal atau haram."
"Hemmm.. bentar nggeh Mbah, sari subuhan dulu."
"Iya, wes ora usah di pikir apa yang kamu lihat semalam, anggep kamu lagi apes."
Dalam hati aku ingin tertawa, apes kok tiap hari. Selalu ada saja mereka yang nampak dan mengganggu.
"Ma, seperti nya kita ga bisa lama lama di malang, kerjaan papa sudah numpuk di kantor. Besok kita pulang ya !!
"Iya, kita pamit dulu ke budhe dan keluarga lainnya."
Perjalanan kembali menuju rumah sepupu tak seindah saat menuju rumah nenek kemaren. Wajah dan kisah Jono membayangi di setiap mataku terpejam.
"Loooh, wes ate moleh? Gak nunggu 7 hari ne Mbah mu?" Teriak sepupuku saat kami berpamitan akan pulang ke Sidoarjo.
"Iya mbak, ini kerjaan sudah Ndak bisa di tinggal lagi, saya di telp orang orang kantor. Terlalu lama cuti katanya." Jawab mas Awi menyeruput secangkir teh hangat.
"Ya wes, pamit dulu ke bapak dan emak. Tapi mereka baru pulang dari sawah nanti sore. Katanya kemaren, hari ini lagi tandur. Jadi ga bisa di tinggal."
"Iya mbak." Aku mengangguk tanda mengerti.
****
Sambil menunggu pakdhe dan emak pulang dari sawah. Aku berjalan jalan keliling desa, kembali bernostalgia dengan desa yang selalu membuatku rindu.
"Dulu.. pos ronda di situ di takuti oleh warga sini." Ucapku menunjuk ke pos ronda di perempatan jalan.
"Kenapa di takuti ma?" Tanya mas awi.
"Iya.. setiap orang yang tidur di pos ronda situ selalu di datangi sosok pocong. Entah dia jin atau arwah gentayangan, yang pasti dia selalu datang mengganggu. Pernah suatu kali mama mau ke rumah pakdhe jam 8 malam waktu itu. Di sini belum ada lampu, kemana mana masih bawa obor dan ublik. Waktu mama jalan melewati pos ronda itu, rasanya seperti ada yang mengikuti langkah mama. Tapi setiap di toleh ke belakang selalu saja sepi dan sampai di depan rumah pakdhe, kan ada bok tuh tempat duduk dari batu bata yang di semen di depan rumah pakdhe, nah ada orang duduk di situ sambil ngisep rokok. Tubuhnya mirip sekali kayak pakdhe, gedenya, tingginya, dehemmannya. Beneran mirip. Jadi aku sapa, lagi apa pakdhe kok gelap gelapan? Tapi ga ada jawaban. Sampai akhirnya mama tinggal masuk kerumah pakdhe, eh pakdhe lagi tiduran di ruang tengah. Langsung dah mama ga mau pulang malam itu, minta tidur di rumah pakdhe hahahha.. daripada nanti pulangnya di ikutin lagi." Ucapku bergidik.
"Hahahah.. astaga.. kenapa mereka suka nampak ke mama ya ? Padahal papa ga pernah sekali pun lihat mereka. Hanya merasakan aja, ada energi negatif di sekitar kita."
"Hemmmm ntahlah, mama juga ga paham." Jawabku melangkah masuk ke pekarangan belakang rumah pakdhe yang katanya angker, karena ada bayi bajangnya.