Jimin kecil percaya bahwa kelak ketika ia dewasa, cita-citanya menjadi manusia superhero akan tercapai. Terbang dengan jubah warna merah lengkap dengan kostum biru membalut ketat tubuhnya dengan inisial S di dada—karena nama huruf depan Jimin adalah J, maka ia akan pakai inisial J. Untuk menyelamatkan penduduk kota dari serangan monster dan orang yang jahat seperti yang kerap ia tonton di channel TV.
Tapi, lupakan bagian celana dalam yang dipakai di luar karena bagi Jimin itu tidaklah keren. Semenjak Jimin bisa memakai celana dalam sendiri, ibunya atau ayahnya tidak pernah mengajarkannya memakai celana dalam di luar. Dalam bayangan Jimin, tidak lucu berjalan-jalan di Busan dengan celana dalam di luar. Orang-orang akan mengira dirinya baru saja kabur dari rumah sakit jiwa.
Suatu ketika ibunya bertanya, "Jim, kenapa kau tidak memilih cita-cita menjadi seorang jaksa, guru atau pengusaha? Tapi kenapa kau malah ingin menjadi seorang superhero?"
Jimin menurunkan sendok makan dan menatap punggung ibunya yang sedang membalik panekuk dengan pandangan tidak mengerti. "Apa salahnya menjadi seorang superman? Tidakah menurut ibu menjadi superhero itu keren. Menyelamatkan dunia dan bisa terbang."
Ibunya kembali dengan menaruh panekuk ke piring Jimin. Memutuskan duduk di seberang lengkap dengan senyum simpul. Baginya mengobrol dengan anak satu-satunya itu tidaklah membosankan sekalipun pembahasannya tidak masuk di akal. "Tidak salah, Jiminie. Menyelamatkan dunia adalah cita-cita yang sangat mulia. Tapi ...." Soo Ah tertawa kecil menyaksikan si anak setinggi pahanya sedang berusaha melebarkan mata yang terlahir tidak memiliki lipatan kelopak mata. Tampak menggemaskan.
"Tapi apa?" Tidak kunjung ditanggapi, Jimin nyaris mati penasaran.
"Tidak semua cita-cita bisa tercapai, Jim dan tidak semua adegan di TV adalah kenyataan di dunia nyata."
"Benarkah? Apa itu semua bohong?"
Soo Ah tidak memiliki niat jahat untuk menghancurkan ekspektasi anaknya yang sudah terlampau tinggi. Dia hanya ingin meluruskan pemahaman Jimin yang bagi dunia orang dewasa adalah sebuah imajinasi anak-anak. Soo Ah memutuskan untuk menggunakan kalimat yang tidak menyinggung si anak tunggal dan itu adalah akhir dari konversasi mereka tentang bahasan si makhluk super. "Kau akan mengerti setelah kau dewasa, Jim. Ayo habisakan."
Tidak ada hari tenang setelahnya. Di hari di mana ayahnya tiba-tiba pulang dalam keadaan mabuk dan menghancurkan barang-barang di depan mata. Jimin tak mengerti kenapa ayahnya berubah semenyeramkan itu. Ibunya menangis dan ayahnya berteriak sambil membanting sesuatu.
Semua itu terjadi berhari-hari lamanya dan Jimin akan bersembunyi di loteng. Meringkuk bak kepopong di pojokan. Walau telinga ditutup serapat mungkin, suara sang Ayah masih bisa ditangkap kedua gendang telinganya.
Menginjak remaja, ekspektasinya mengenai terbang dan menyelamatkan dunia masih terpatri apik di setiap sesi melamun menjelang malam sebelum berangkat tidur. Malahan mimpinya berkembang semakin liar di tiap-tiap malamnya. Tentang serangan mayat hidup bersamaan dengan virus mematikan yang menyebar di seluruh pelosok negara. Jimin akan berjuang keras membunuh setiap Zombie yang hendak masuk ke gedung parlemen. Presiden adalah ujung tonggak sebuah negara, melindunginya dengan seluruh jiwa raga adalah kewajiban, meski harus mempertaruhkan darah, keringat dan air mata.
Sayangnya segala imaji-imaji di kepalanya tidak pernah tersampaikan. Ibunya yang selalu menjadi teman bicara, sekarang tidak memiliki waktu lagi karena dihabiskan untuk bekerja. Pergi pagi-pagi buta dan akan pulang larut malam. Ayahnya pun tidak lagi menginjakkan kaki di rumah. Jimin lagi-lagi tidak mengerti dunia orang dewasa. Apa begitu kehidupan dewasanya kelak seperti yang menimpa kedua orang tuanya?
Dua hal yang masih disyukuri Jimin di saat situasi rumah semakin memburuk. Buku diary dan imajinasinya. Jimin tahu berteman adalah cara manusia berinteraksi untuk menjalankan tugas sebagai makhluk sosial, tapi kasus yang dimiliki Jimin berbeda. Teman hanya menertawakannya alih-alih mendukungnya. Jimin pun lelah dan akhirnya berhenti mencari teman.
Puncak dari segala hal buruk terjadi ketika kakinya menaiki undakan teras rumah sehabis pulang dari sekolah dan menemukan bercak-bercak merah mengotori lantai pualam beserta garis vertikal merah memanjang mengarah ke dapur. Mengikuti jejak dengan gemetar tubuh dan keringat dingin, bak teror di film thriller, Jimin melepas gemetar lewat pekikan histeris. Ibunya ditemukan tergorok dengan rembesan merah kental nan anyir. Tanpa mempedulikan seragamnya yang terkontaminasi, Jimin memangku kepala ibunya yang tak lagi bernyawa.
Pelupuknya sudah ditutupi likuid sepenuhnya. Tangisnya kencang memanggil ibunya berkali-kali. Jimin tahu seribu kalipun usahanya memanggil-manggil ibunya, tidak akan membuat ibunya kembali. Namun Jimin remaja tetap saja melakukannya sampai dirinya putus asa.
Satu hal yang mulai disadari Jimin, semua ekspktasinya selama ini adalah omong kosong. Manusia tidak bisa terbang dengan selembar kain di punggung dan manusia tidak bisa mengangkat mobil hanya dengan satu tangan. Kalaupun Jimin bisa seperti itu, sudah sejak tadi ia bisa menyelamatkan ibunya, atau bahkan mencegah siapapun itu yang hendak membunuh ibunya. []