Perlu bagi Jimin untuk mencatat satu hal yang ingin ia lakukan pada Yoongi agar tidak lupa saat mereka bertemu nanti, yaitu memukul kepalanya kuat-kuat.
Obsesinya itu timbul beberapa waktu lalu setelah menyadari bukan pekerjaan yang ditawarkan Yoongi padanya, melainkan seorang psikiater yang menyambut Jimin di ambang pintu ruangan miliknya lengkap dengan senyum teduh.
Jimin sangat yakin dirinya tidak punya penyakit semacam mental illness ataupun gangguan kejiwaan lainnya. Tapi mengapa kakaknya begitu tega menjebaknya ke tempat terkutuk itu?
Berjalan di kegelapan malam. Menyusuri gang tanpa ada satupun manusia berkeliaran tidak menurunkan keberanian Jimin sedikitpun. Sepi adalah teman dekatnya. Perasaan nyaman selalu hadir dalam keadaan sunyi senyap seperti itu dengan bunyi-bunyian serangga kecil sebagai simfoni alam yang memukau telinga. Keberadaan mereka berpengaruh banyak bagi tensi darah Jimin yang semula naik karena ulah Yoongi.
Jimin berhenti melangkah dan berhenti menggunakan kakinya untuk menendang apa pun yang ia temui sepanjang jalan yang ia lewati tadi untuk pelampiasan. Bernapas panjang serta memajamkan mata adalah solusi terbaik meredakan emosi.
Tatkala kelopak mata tanpa lipatan miliknya melebar, bayangan putih berambut panjang menutupi nyaris seluruh wajah muncul memenuhi jarak pandang Jimin. Sontak teriakan meluncur deras tanpa disangka-sangka. Jimin jatuh terduduk dan tak tahu mesti bagaimana di saat panik melanda. Jelas lari adalah jalan keluar di detik-detik nyawanya menjadi taruhan. Namun kepanikan membuat seluruh tenaganya habis terkuras dan secara mengejutkan ia membutuhkan tutorial berlari yang benar karena ia tak tahu bagaimana caranya!
"Oppa! Kenapa teriak begitu?!"
Hantu—sementara Jimin menyebutnya begitu—sedang menyibak rambutnya. Hantu gadis—tebakan Jimin sementara ini—memandang Jimin dengan seraut paras cantik nan pucat. Hantu gadis cantik. Oke, tiga kata itu menjadi keyakinan Jimin untuk mendeskripsikan sosok di depannya.
"Hantu ...." Jimin menyebutnya dengan terbata-bata.
"Apa kau bilang? Kau menganggap gadis secantik aku ini hantu?!"
Dari awal kelahiran sampai setinggi 173 senti sekarang ini, Jimin tidak pernah melihat hantu di dunia nyata—kecuali di TV dan mimpi—karena ia bukan indigo. Dia tak tahu pasti apakah kebanyakan hantu tidak tahu kalau dirinya sudah mati dan bergentanyangan? Atau hantu itu memang tidak menyukai disebut hantu. Bagian itu sukses membuat Jimin bingung.
"Astaga! Kau menganggapku hantu?! Lihat kakiku berpijak pada tanah, bukan melayang seperti hantu yang kau asumsikan!"
Jimin mengedip beberapa kali. Menampar, mencubit pahanya. Masih kurang untuk menyakinkan diri, ia mengambil satu kerikil dan melemparkannya tepat mengenai perut si hantu. Pekikan keras beserta makian kasar terlontar begitu saja. Jimin baru yakin makhluk di depannya bukan hantu lewat kerikil yang tidak menembus perut.
Napas lega menyeruak pelan lewat mulut Jimin. Ia berdiri dan ketakutan tidak lagi membayanginya. "Apa yang kau lakukan malam-malam begini berjalan sendirian dan mengagetkanku?"
Si gadis mulai terisak. "Kalungku hilang, Oppa!"
"Aku bukan Oppa-mu!"
"Tapi mukamu kelihatan tua," tukasnya naif di sela tangis.
Di saat orang-orang menganggapnya masih kelihatan seperti anak sekolah dasar karena pipinya yang selucu mochi, gadis kurang ajar ini seenaknya mengatainya tua. Jimin membuang muka lalu berlalu begitu saja melewati si gadis.
"Yaa, Oppa!" si gadis berhasil mencekal lengan Jimin. Menghalangi langkahnya.
"Kau mau ke mana? Bantulah aku mencari kalungku."
"Pulang."
"Kumohon."
Jimin tidak mengerti cara kerja manik bening itu yang sempurna telah terselebungi air mata dapat dengan ajaib mempengaruhinya sampai ia mengucapkan kata, "Baiklah." Tanpa sadar.
Efek dari vokal yang meluncur dari Jimin jelas sangat berarti bagi gadis itu. Ia menjerit senang seolah baru saja mendapatkan tiket gratis liburan ke Hawaii.
Jimin tidak berniat berbagi kebaikan awalnya. Apalagi kebaikan yang baginya sekecil buah anggur. Tidak berarti apa-apa bahkan. Tapi bagi gadis itu sangatlah berarti. Well, kali ini Jimin membiarkan dirinya melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi orang lain. Selama itu tidak mendatangkan kerugian padanya, kenapa tidak.
Hal lain tiba-tiba tercetus di kepala Jimin. Seperti pencerahan yang datang terlambat. Mustahil memang menjadi superhero, menyelamatkan dunia dan lain sebagainya yang berdampak besar bagi kelangsungan hidup masyarakat. Lagipula monster dan virus zombie itu tidak pernah ada, bagaimana superhero bisa bekerja menyelamatankan dunia coba, kalau mereka semuaㅡmonsterㅡhanya karangan imajinasi manusia untuk mendongkrak bisnis semata. Gadis tanpa nama ini memberikan Jimin sebuah pencerahan yang berharga bahwa menyelamatkan seseorang tidak harus melakukan hal besar ataupun kecil, melainkan sesuai kemampuan.
"Jadi, kau menjatuhkan kalungmu di mana kira-kira."[]