Chereads / AndroMega / Chapter 23 - Chapie 22 : Misi Selanjutnya

Chapter 23 - Chapie 22 : Misi Selanjutnya

"Annelyn…!"

Keesokan harinya di lobi asrama, anggota tim Golden dipertemukan dengan anggota tim Silver. Rencananya, kedua tim ini akan bekerja sama dalam misi menangani masalah di perusahaan milik Graciell Group. Tak disangka Annelyn adalah salah satu anggota tim Silver. Betapa berbunga-bunganya hati Rick bisa satu misi dengan sang pujaan hati.

Seperti inilah bayangannya, dimana Rick berlari dramatis menghampiri Annelyn yang tengah menoleh dengan senyum ayu padanya. Betapa bahagianya Rick, melihat senyum Annelyn seakan-akan melihat kelopak-kelopak bunga di musim semi bertaburan di sekitar mereka.

Hanya mereka. Di mata Rick, hanya ada Annelyn dan….

"ADOH!"

Sebuah ransel biru mendarat keras di wajah Rick, membuat Rick terhuyung ke belakang sambil mengelusi wajahnya yang sakit. Sumpah, ransel itu bahkan terasa lebih keras ketimbang lantai keramik.

"Jangan macam-macam sama anak orang, muka cabul," ucap datar si gadis tinggi berambut biru yang selama ini menjadi penghalang PDKT-nya Rick dengan Annelyn.

"Sherka, enggak boleh gitu sama Mas Rick," nasihat Annelyn dengan suara halus khasnya, "Lihat tuh mukanya. Jadi membiru…."

"Udahlah." Sherka memanggul ranselnya di bahu. "Muka cabul macam dia emang musti dihancurin."

"Siapa yang kau bilang muka cabul?!"

"Hai! Hai!"

Hampir saja Rick melontarkan bahasa binatang kalau saja bukan karena Horu, Kobra, dan Xeno datang menghampiri mereka dengan senyum ramah.

"Apa-apaan sih, Hor? Ganggu aja," dengkus Rick tidak suka karena acara mau bejek-bejek Sherka jadi terhalang.

Iseng-iseng Horu mengacak-acak puncak kepala Rick. "Jangan kasar gitulah sama tim lain."

"Lah, si kampret itu yang duluan cari gara-gara." Rick sewot sambil bersedekap.

Karena merasa tak enak hati, Annelyn menghampiri Rick. "Ma-maaf atas perlakuan Sherka padamu. Dia tidak bermaksud kasar, kok."

Tiba-tiba, sikap Rick 180 derajat berubah jadi lebih berbunga-bunga. Tak ingin menyia-nyiakan kesempatan itu, Rick langsung menyambar kedua tangan Annelyn, menampilkan tatapan penuh kelembutan darinya. Jarang-jarang jomblo ngenes macam Rick bisa menyentuh tangan sehalus dan selembut milik Annelyn.

"Tak apa, Dek. Mas sudah biasa kok diperlakukan kasar begitu. Mas tahan, asal ada Dek Annelyn di sisi Mas."

Annelyn hanya bisa diam, bingung mau merespon apa. Gadis polos ini belum pernah disentuh tangannya oleh pria manapun. Mungkin Annelyn pikir, tidak masalah tangannya disentuh. Toh cuma tangan, tidak sampai ke bagian tubuh lain.

Tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini, momen ala-ala drama romantis macam di tv-tv, Rick hendak mencium kedua tangan Annelyn. Wajahnya begitu menghayati dengan kedua mata dipejam, siap merasakan betapa lembutnya kulit tangan itu.

Kalau sesuai prosedur PDKT ala Rick, dapat tangan lembut entar bakal dapat dada lembut pula. Toh dada Annelyn hampir segede semangka pula.

"Napa bibirnya dimonyong-monyongin begitu? Sariawan?"

Mendengar suara serak-serak itu, Rick membuka mata. Betapa terkejut Rick menemukan wajah jantan seorang pria tersenyum lebar tepat di hadapannya.

"KAMBING!!!"

Spontan Rick menampar wajah pria itu. Walau sakit, pria itu malah tertawa terbahak-bahak bersama rekan-rekan tim lainnya, apalagi Horu yang sangat senang melihat kekesalan Rick. Sungguh, mengerjai Rick adalah hal menyenangkan bagi mereka.

"Buset, sakit bener namparnya, Rick," kata pria itu sambil mengelus pipinya yang agak membiru.

"Mending, daripada kutonjok. Eh?"

Rick baru menyadari bahwa ia kenal dengan pria itu. Pria yang baru saja mengerjainya ini adalah teman satu kamarnya dulu waktu lomba, bahkan mereka sempat main game bareng.

"Ozkov?!"

"Hallo, muka cabul," ledek Ozkov sambil melambaikan tangan.

Di belakangnya, Sherka yang dikenal bermuka datar malah terbahak-bahak mendengar ledekan Ozkov.

"Eh, dasar kambing buntung!" Rick tergesa-gesa hendak melepas sepatu boots-nya, bersiap untuk melempar sepatu itu ke kepala Ozkov. "Enggak bisa lihat teman pengen bahagia! Dikerjai kayak begitu lagi! Aku 'dah kenyang setiap hari ketemu sama para lelaki bertampang homo, tahu?!"

Hampir semua anggota tertawa dibuat oleh kekocakan Rick. Tak ingin Ozkov jadi amukan Rick, Horu dan Kobra segera menahan Rick untuk tidak melemparkan sepatunya pada pria berbadan besar itu.

"Sudah, sudah, Rick…. Orang cuma bercanda, juga," ucap Horu berusaha menenangkan.

"Omong-omong, kalian dari tim Golden?"

Rick dan rekan-rekan timnya beralih pandang pada sosok yang menanyai mereka. Sosok itu adalah seorang gadis muda yang imut dan di sampingnya ada seorang pria yang wajahnya hampir sama dengan sang gadis.

Tak perlu mengira lagi, mereka pasti saudara.

"Oh! Iya, Dek Silva. Mereka teman-teman kita dari tim Golden." Annelyn pun saling memperkenalkan mereka. "Teman-teman, ini Mas Rick, Mas Horu, Mas Xeno, dan Mas Kobra. Nah! Rekan-rekan tim Golden, perkenalkan teman-temanku dari tim Silver. Sherka, Mas Ozkov, Mas Solvo dan Dek Silva."

"Duh~ Senangnya aku dipanggil 'Mas' sama gadis cantik seperti kamu…," ucap Horu mendayu dengan wajah terharu dibuat-buat.

Otomatis Rick mencekik leher Horu sambil merapalkan bahasa kebun binatang.

Mengabaikan pertengkaran Horu dan Rick, Annelyn mulai bertanya pada Ozkov, "Oh, iya! Mas Ozkov, udah kenal sama Mas Rick, ya? Kalau aku dan Sherka sudah mengenalnya saat di perlombaan."

"Sama, Ann. Aku juga kenal dia dari sana. Bahkan kami sempat satu kamar penginapan, sama Xeno pula."

Mendengar namanya diucap, Xeno langsung melambaikan tangannya pada Ozkov dengan senyum sumringah khas. Tak lupa Piyo mengikuti gayanya di atas kepala Xeno.

"Senang bisa mengenal kalian," ucap Solvo datar, terlihat tidak begitu tertarik dengan suasana seperti ini.

"Senang bisa bertemu dengan kalian juga," balas sapa Kobra.

"Kurasa kita tidak perlu basa-basi lagi." Ozkov mulai mengalihkan pembicaraan mereka ke topik utama. "Jadi, kita akan bekerja sama untuk menangani masalah yang terjadi di perusahaan Grace Orps, kan?"

"Iya…." Rick kembali bicara setelah puas memberi pelajaran pada Horu. "Dan sialnya, Grace Orps adalah salah satu perusahaan yang ditangani oleh Graciell Group. Grup konglomerat dari keluarganya teman kami, Regan Graciell."

"Jadi benar kalau Mas Regan itu anak konglomerat?" tanya Annelyn agak terkejut mendengar kabar tersebut.

"Orang itu pandai sekali menyembunyikan eksistensinya. Padahal jelas-jelas marganya Graciell," komentar Sherka pula.

"Jadi…, kita akan berangkat sekarang?"

Beberapa dari mereka mengangguk mengiyakan. Di luar asrama, sudah tersedia mobil khusus yang akan mengantarkan mereka langsung ke perusahaan Grece Orps. Tinggal beberapa jam lagi, mereka akan mencari tahu masalah seperti apa yang saat ini dihadapi oleh perusahaan tersebut.

Dan tentang Regan, Rick yakin bahwa ada hal lain yang membuat Regan jadi terlihat aneh selain karena masalah ini.

~*~*~*~

Nuansa klasik dan futuristik tercipta menjadi satu dalam desain mansion megah yang didominasi oleh warna putih, perak, dan abu-abu. Mansion saat ini sedang sepi, hanya beberapa asisten rumah tangga dan robot yang bertugas. Maklum saja, karena seisi keluarga dari pemilik mansion memiliki kesibukan sendiri-sendiri demi mempertahankan kekayaan mereka.

Salah satu tempat yang juga sepi di mansion ini adalah ruang makan. Ruang makan yang luas dan bersih, hanya ditempati oleh satu sosok yang merupakan salah satu anggota keluarga dari mansion.

Regan duduk santai di kursi meja makan sambil menyesap kopinya. Mulai pagi ini, ia sudah disibukan oleh berbagai jadwal yang telah diberikan Xeriel sebelumnya. Ya…, baru kemarin ia memutuskan untuk keluar dari organisasi dan fokus belajar meneruskan usaha keluarga.

Hal seperti ini sangat memusingkan seorang Regan Graciell karena itu bukan keinginannya. Ditambah lagi dengan masalah yang dialami oleh perusahaan cabang keluarganya, membuat Regan tambah pusing lagi. Tapi sebesar apapun masalah, ia harus tetap tenang menghadapinya.

Kalau saja bukan karena permintaan sosok itu, dia enggan untuk kembali dikurung dalam penjara megah ini.

"Yo, Regan!"

Regan hanya melirik sesaat kehadiran seorang pria seumuran dengannya. Pria itu menyapa Regan dengan senyum mengembang di wajah rupawannya. Fisiknya terlihat hampir sama dengan Regan, tinggi, berkulit putih agak pucat, dan berambut serta bermata perak. Bedanya pria ini memiliki tatanan rambut pendek disisir ke samping kiri dengan sebelah kanan dibiarkan agak berantakan, dan mata agak bulat. Selain itu, dia juga sudah terlihat rapi dengan setelan pakaian formal dan jas serba putih.

Regan tak peduli dengan kehadiran pria itu. Ia hanya tertarik untuk melanjutkan minum kopi sambil baca-baca berita lewat tab di atas meja.

"Paman bilang, kau sudah kembali. Jadi aku bergegas kemari untuk menemuimu sebelum kerja," kata pria itu sambil menggeser kursi di dekat Regan, duduk di sana. "Darimana saja kau selama ini? Paman cerita kalau kau tidak kuliah di Universitas pilihannya, malah belajar di Akademi AndroMega. Apa benar kalau kau menjadi Agent NEBULA?"

Sekali lagi, Regan melirik pria di sampingnya. Banyak tanya dan ingin tahu, itulah sifat yang tidak begitu Regan sukai dari pria ini.

Tak ingin repot menjelaskan panjang lebar, Regan hanya menjawab seadanya, "Benar. Cuma, aku baru dua minggu kerja di sana." Lalu menyesap kembali kopinya.

Pria itu berbinar kagum mengetahuinya. "Wah…! Keren…! Pasti menyenangkan bisa bekerja sebagai Agent. Membasmi musuh, gelud sana-sini kayak di film-film."

"Bertugas sebagai Agent tidak semudah yang kau bayangkan, Fandrel."

"Ka-kalau begitu…." Raut wajah Fandrel terlihat begitu antusias. "Kau bisa ceritakan pengalamanmu selama menjadi Agent dua minggu ini?"

Sebenarnya, Regan tidak ingin buang-buang waktu menceritakan tentang pengalamannya sebagai Agent. Tapi, melihat raut wajah sepupunya yang memelas membuatnya kasihan juga. Regan tahu betul kalau Fandrel sangat tertarik dengan hal-hal berbau aksi, bahkan ia dikenal sangat suka menonton film, membaca novel, dan komik bergenre aksi. Fandrel bilang ingin bercita-cita menjadi pahlawan seperti tokoh-tokoh film, tapi sampai ini tidak kesampaian karena fisik lemah dan kesibukannya sebagai direktur.

Regan menghela nafas memaklumi. "Sebentar saja, soalnya aku tidak ingin terlambat berangkat."

"Hah, kau mau angkat apa memangnya?"

Persimpangan imajiner muncul di kepala Regan. Ia memperhatikan kedua telinga Fandrel. Tentu saja, Regan baru sadar kalau Fandrel tidak menggunakan alat bantu pendengaran.

Dulu sewaktu remaja, kota tempat Fandrel pernah bersekolah mengalami ledakan dahsyat. Saat itu Fandrel memang selamat, tapi dia berada di dekat lokasi ledakan. Suara ledakan yang terdengar sangat keras itu membuat kedua telinga Fandrel tak tahan mendengarnya, menyebabkan telinga kirinya tuli, sedangkan telinga kanannya masih bisa mendengar walau samar-samar.

Fandrel memang sempat mendengar setiap kata-kata yang diucapkan Regan tadi tanpa alat bantu dengar menggunakan telinga kanannya yang masih berfungsi. Tapi ada saat dimana ia bakal salah dengar. Makanya, alat bantu pendengaran wajib dipasang. Tapi, tumben sekali alat itu tidak dipasang di telinganya.

"Mana alat bantu dengarmu?" tanya Regan agak keras bicara sambil menunjuk telinganya, kalau-kalau pria itu masih kurang jelas mendengar ucapannya.

"Oh? Alat bantu pendengaranku? Kemarin hancur, enggak sengaja keinjak keponakan," jelas Fandrel, "Tadi sih udah pesan ke tempat langganan. Seharusnya, pagi ini alatnya udah sampai dikirim."

"Bagaimana aku bisa cerita kalau kau budeg begini?"

"Ayolah, Regan…. Aku masih bisa mendengar walau samar-samar. Toh pendengaranku udah berangsur-angsur membaik setelah mendapat pengobatan rutin. Aku pengen tahu bagaimana rasanya menjadi Agent dan teman-teman seperti apa yang kau temui."

"Biasa saja," jawab Regan dengan tangan bersedekap, "Tidak ada yang menarik dari menjadi Agent seperti yang kau bayangkan selama ini. Hanya saja…, kuakui aku mendapat kesan spesial ketika menjalankan tugas bersama teman-temanku."

"Spiral?"

"Spesial!" ucap Regan setengah teriak. "Jadi bete aku mau cerita."

Fandrel merengek, "Ceritakan sajalah…. Aku cuma enggak dengar satu-dua kata doang."

Akhirnya, Regan menceritakan pengalamannya selama dua minggu bekerja sebagai Agent. Walau ada saat dimana Regan ingin sekali memukul kepala Fandrel menggunakan kursi saat pria itu salah dengar, tapi ia tetap cerita melihat keantusiasan Fandrel. Dan sampai saat Regan menceritakan tentang teman-teman satu timnya.

"Dalam satu tim terdiri dari lima anggota. Aku sendiri berada di posisi sebagai wakil dalam tim. Rick adalah ketua dari tim kami. Dia orangnya menjengkelkan, bego, dan matre."

"Oh?! Ketuamu itu Cyborg ya jadi pakai batre?"

Persimpangan imajiner muncul lagi di kepala Regan. "Matre! Yang mata duitan itu. Bukan batre! Yang benar juga baterai, bukan batre!"

"Ooh…. Mata duitan, gitu? Terus?" tanya Fandrel kembali.

"Lalu Horu. Dia seorang programer yang cerdas, handal dalam berkendara. Tapi, otaknya mesum." Regan menyenderkan tubuhnya di sandaran kursi. "Setiap kali ada waktu luang, pasti dia menonton video-video laknat."

Fandrel mengangguk sok paham. "Oh! Menurutku, normal-normal saja kalau pria mesum."

"Iyaaa…. Hanya saja, mengganggu." Regan melanjutkan, "Ada Kobra juga. Dia bukan jenis ular, memang keluarganya menamainya Kobra. Orangnya lebih pendiam dan jarang bicara. Maklum, anak Emo. Dan terakhir Xeno, dia sahabat Rick. Walau lebih tua dari kami, tapi sifatnya begitu kekanak-kanakan."

"Wah…! Sepertinya seru juga punya banyak teman yang bervariasi." Fandrel bertepuk tangan bagaikan bocah kegirangan. "Aku juga ingin bisa berada dilingkungan sepertimu. Berkutat dengan banyak dokumen dan laporan di kantor hampir setiap hari membuatku merasa mati bosan secara perlahan."

"Ya, itu dia salah satu alasan mengapa aku kabur dari rumah."

"Kabur dari hama?"

"Rumah." Regan menatap jengkel Fandrel. "Soalnya, Ayah pasti menginginkanku untuk menjadi pengusaha juga."

"Regan, Paman hanya menginginkan yang terbaik untukmu dengan caranya sendiri. Aku tahu kalau dia keras terhadap keinginannya, tapi cobalah mulai sekarang untuk belajar menjadi seorang pengusaha. Kau tidak perlu memusingkan tentang tujuan hidupmu. Jalani saja…. Kalau Tuhan ingin kau jadi pengusaha, maka kau ditakdirkan menjadi pengusaha. Kalau Tuhan ingin kau menjadi Agent, maka kau ditakdirkan menjadi Agent."

Mungkin benar kata Fandrel, Regan tak semestinya memusingkan tujuan hidupnya. Memang dia ingin menjadi seorang Agent dan tidak terkekang oleh gaya hidup sebagai seorang pengusaha kaya di negeri ini. Tapi, orang tuanya menginginkan yang terbaik untuknya, untuk keluarganya juga. Regan tidak boleh egois jika sudah menyangkut soal keinginan orang tua.

Orang tua sudah memberikan apa saja untuk anaknya sejak kecil hingga dewasa, maka anak harus membalas budi mereka walau kasih sayang orang tua takkan pernah bisa terbalas oleh apapun di dunia.

Ayah Regan memang terbilang keras, protektif, dan egois mendidik anaknya. Tapi, bagaimanapun juga dia ayah Regan. Sekeras apapun ayahnya mendidik Regan, ia tetap akan berusaha membahagiakannya walau keinginan Regan harus dipertaruhkan.

Kalau dilihat dari kemajuan Fandrel sekarang, mungkin tidak begitu buruk bagi Regan untuk menjadi penerus usaha keluarga Graciell.

"Tuan Fandrel Graciell."

Mereka menoleh pada seorang pelayan pria yang datang menghampiri Fandrel sambil membawa kotak hitam kecil di tangan. Fandrel tersenyum senang kala mengetahui pesanannya telah tiba.

"Ini alat bantu pendengaran yang kupesan tadi?"

Sang pelayan hanya mengangguk dengan senyum sopan.

Setelah mengucapkan terima kasih, sang pelayan segera pergi meninggalkan mereka berdua di ruang makan. Tak perlu menunggu lama, Fandrel memasang alat bantu pendengarannya. Wajahnya terlihat sumringah, lega rasanya bisa mendengar dengan jelas. Akhirnya, ia bisa mendengarkan musik-musik kesukaannya selama bekerja.

"Aaah…. Senangnya," ucap Fandrel sambil mengelus alat kecil yang terpasang di telinganya. "Bisa juga aku mendengar dengan jelas."

"Ya, ya…. Setidaknya, kau tak akan membuat para karyawanmu pusing karena telinga budegmu itu."

Tak berapa lama, beberapa pelayan dari mansion menghampiri Fandrel dan Regan. Mereka memberitahukan bahwa sudah saatnya untuk berangkat kerja dan mobil mereka pun sudah disiapkan.

"Oke, kita berangkat sekarang?" tanya Regan pada Fandrel sambil memasang jas hitamnya.

"Tentu," balas Fandrel dengan senyum.

Setelah keluar dari mansion, mereka menemukan sebuah mobil hitam yang diiringi oleh mobil hitam lainnya dari depan dan belakang, telah siaga tersedia di depan mansion. Sang supir mempersilakan Regan dan Fandrel masuk ke mobil, baru disusul olehnya dan seorang asisten.

"Andrew, apa saja jadwalku hari ini?" tanya Regan pada asisten yang sudah duduk di depan bersama sang supir.

Sejenak asisten bernama Andrew itu melihat jadwal Regan hari ini pada tab yang ia bawa. "Hari ini, Anda diharuskan untuk pergi ke rumah sakit dulu. Baru ke Grace Orps bersama Tuan Herald untuk merundingkan masalah kebocoran data dan kerugian yang didapat perusahaan. Setelah itu, sebelum makan siang, Anda diharuskan juga untuk bertemu dengan Tuan Ali Harsian."

"Kira-kira, apa yang harus kubahas bersama Tuan Harsian?" tanya Regan lagi.

"Topik tentang pengajuan proyek teknologi antivirus baru. Katanya, perusahaan yang akan pertama kali diajukan kerjasama adalah perusahaan dari Graciell Group ini."

"Oh…." Regan hanya mengangguk paham sebagai balasan.

Mobil sudah mulai melaju di jalanan Kota Masila yang lenggang karena masih pagi. Kegiatan pertama yang akan dilakukan oleh Regan hari ini adalah ke rumah sakit. Dia harus menjenguk seseorang yang membuat ia punya alasan kuat untuk meninggalkan Organisasi NEBULA dan memutuskan untuk berkarir menjadi salah satu penerus Graciell Group.

Ini berat, karena mulai sekarang hidup Regan akan kembali terkekang lagi.

~*~*~*~