Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Terlalu Muda

🇮🇩Eka_wd
--
chs / week
--
NOT RATINGS
9k
Views

Table of contents

Latest Update2
Bab 25 years ago
VIEW MORE

Chapter 1 - Bab 1

Malam berganti dengan pagi, sang surya yang menerima limpahan tugas dari rembulan sudah menunjukkan senyuman cerah dan hangatnya untuk dunia. Sinar hangat sang surya menembus masuk ke dalam satu rumah yang terlihat begitu megah dan kokoh ditopang oleh beberapa pilar besar dan tinggi di sekelilingnya yang berwarna putih bersih seperti langit pagi ini.

Rumah megah itu sudah dipenuhi oleh beberapa orang yang berlalu lalang mengerjakan tugas mereka masing-masing ada yang sedang menyiram tanaman di halaman depan maupun belakang. Ada juga yang sedang membersihkan ruangan-ruangan yang ada didalamnya.

Dan... ada juga yang masih terlelap di alam mimpinya dengan nyaman sambil menghiraukan bunyi alarm yang memekakan telinga siapa saja yang mendengarnya terkecuali gadis yang sedang asyik bergelung di balik selimut hangat berwarna biru langit itu.

"Ya ampun anak ini, mentang-mentang hari minggu dia bisa malas-malasan tidur," gerutu seorang wanita berusia sekitar empat puluh tahunan melihat putri semata wayangnya yang masih tidur dengan tenang.

Wanita itu mematikan alarm yang terus berbunyi sejak tadi lalu menghampiri putrinya yang tidak terusik sama sekali dengan suara alarm. "Mora... bangun Mora!"

Wanita itu mengguncang pelan tubuh gadis berusia tujuh belas tahun yang sedang asyik berkelana di dunia kapuknya. Beberapa kali wanita yang tak lain adalah ibu dari gadis bernama lengkah Amoura Revania Pratama itu mengguncang pelan tubuh putrinya dengan harapan agar sang putri bisa bangun namun nyatanya harapan hanya tinggal harapan. Gadis itu tidak meninggalkan dunia mimpinya barang sedetik saja.

Nia—Mama dari Mora—menghela nafas lelah menghadapi tingkah putrinya. Hingga suatu ide melintas di kepala Nia. Dia mendekatkan kepalanya tepat di telinga putrinya dan membisikkan sesuatu. Baru beberapa detik saja Nia menjauhkan kepalanya dari telinga Mora. Gadis itu segera membuka matanya. Sungguh ajaib.

"JANGAN MA!" gadis itu segera duduk dari posisi baringnya dengan ekspresi kaget dan masih mengantuk.

Dia mengerjap beberapa kali lalu memandang ke sekeliling tempatnya lalu menangkap sang Mama yang sedang menatap geli pada dirinya. Nia berdiri dari tepi ranjang dan menyedekapkan kedua tangannya di depan dada lengkap dengan wajah garang yang dibuat-buat.

"Bagus ya... anak perawan bangun jam segini... kamu mau jodoh kamu dipatok ayam, huh? Mau jadi perawan tua?" omel Nia pada putrinya.

Mora mengeluarkan cengirannya dan merangkak mendekati Mamanya. Dengan wajah memelas dan mata kucing andalan Mora dia memegang lengan Mamanya dan mengusap pelan di sana.

"Mama ini masih pagi loh... jangan marah-marah nanti cantiknya luntur," rayu Mora agar Mamanya tidak memasang wajah garang. "Mora tadi abis begadang ngerjain tugas Ma... tugasnya banyak banget."

Mora menunjuk ke arah tumpukan buku yang ada di atas meja belajarnya dan menatap Mamanya memelas. "Mora kan capek Ma, terus juga ngantuk jadi baru bangun jam segini... Mama jangan marah ya sama Mora, heum?" bujuk Mora dengan senyuman lebarnya pada sang Mama, berharap agar Mamanya ikut tersenyum saat melihat senyuman lebarnya yang manis.

Nia menghela nafas menatap putrinya. "Sana kamu mandi... setelah itu kita sarapan!" perintah Nia tegas.

"SIAP komandan!"

Mora memberikan hormat pada Mamanya lalu turun dari ranjangnya dan berjalan menuju kamar mandi dengan terburu.

"Dasar anak itu," Nia hanya bisa menggelengkan kepalanya melihat tingkah putri semata wayangnya itu. Kemudian meninggalkan kamar Mora

***

"Pagi, Mama Papa ku tercinta!" Mora mencium pipi Papa dan Mamanya yang sudah duduk di meja makan.

"Pagi putri Papa yang paling cantik," balas Revan—Papa Mora—ramah.

Mora duduk di seberang Mamanya dan segera mengambil menu sarapan paginya kali ini. Nasi Goreng lengkap dengan telur mata sapi dan suwiran ayam goreng, itu adalah menu sarapan favorit Mora. Lalu mereka sekeluarga menikmati sarapan mereka dengan khitmat.

Setelah sarapan mereka selesai dilaksanakan Revan menahan Mora yang ingin segera kembali ke dalam kamarnya untuk melanjutkan pekerjaan sekolahnya yang menumpuk.

"Ada apa Pa?" tanya Mora pada Papanya.

Revan meraih sepuluh jari-jemari Mora dan mengenggamnya. Dia menatap raut wajah putrinya yang terlihat penasaran. Sementara Mora dia terlihat makin bingung dan penasaran melihat perubahan ekspresi Papanya yang terlihat sangat serius.

"Pa... ada apa?"

Revan menghela nafas dalam sebelum membuka suaranya. "Papa mau jodohin kamu dengan anak teman baik Papa." Revan menatap ekspresi putrinya dengan seksama. Reaksi Mora sudah bisa Revan perkirakan sebelumnya.

"Di-dijodohin? Ta-tapi Pa Mora ma-"

"Iya... Papa tau. Kamu pasti akan menolak ini Mora, tapi Papa lakukan ini juga demi kepentingan kita bersama," potong Revan.

"Ta-tapi Pa-"

"Udahlah Mora... kamu turutin aja perkataan Papa kamu itu ya? Kita Cuma ingin yang terbaik untuk kamu. Ya sayang ya... kamu maukan?" bujuk Nia.

Mora menatap kedua orang tuanya bergantian. Jujur saja dia tidak tega melihat kedua orang tuanya memelas seperti ini. Durhaka kah dia kalau dia menolak permintaan kedua orang tuanya?

"Mora bisa pikirin dulu nggak Pa, Ma?"

Revan menganggukkan kepalanya memberikan pengertian kepada putrinya. Dia juga yakin kalau permintaannya tadi terlalu mengejutkan untuk Mora yang masih terlalu muda. "Kamu bisa memikirkan ini sayang."

"Kalau gitu... Mora mau ke kamar dulu ya Pa, Ma? Masih banyak tugas yang harus Mora selesain." Setelah berpamitan pada kedua orang tuanya Mora melangkah menuju kamarnya yang berada di lantai dua dengan kepalanya yang tiba-tiba penuh akan perkataan Papa dan Mamanya.

***

Hari berganti Mora pagi ini sudah terlebih dahulu bangun sebelum sahabat sejatinya yang berbentuk bulat—alarm—membangunkannya. Karena perkataan kedua orang tuanya, Mora tak bisa tenang menutup matanya semalam. Akibatnya sekarang kedua matanya cukup berkantung hitam seperti Panda.

Mora menatap pantulan dirinya di cermin dengan miris. Lihatlah bagaimana wajahnya yang terlihat lusuh lengkap dengan kacamata yang bertengger di hidungnya dan juga rambutnya yang sudah di kepang dua tak lupa dengan seragam kedodoran yang selalu menutupi badannya yang ideal. Lengkap sudah Mora menjadi seorang nerd yang menyedihkan.

Mora memang sengaja berpenampilan seperti ini saat bersekolah. Kejadian yang membuat dia mengenal apa itu penghianatan membuatnya selalu berhati-hati pada setiap orang yang berada disekitarnya karena dia tidak mau kejadian seperti itu terulang lagi untuk kedua kalinya.

Setelah sedikit merapikan penampilannya yang menyedihkan Mora segera keluar kamar dan berjalan menuju ruang makan, melakukan rutinitas harian yang tidak pernah boleh dilewatkan yaitu sarapan.

Di sana sudah ada Revan yang berpakaian lengkap dengan setelan formalnya untuk pergi ke kantor juga Nia yang sedang menyiapkan sarapan untuk Revan.

Mora menghela nafasnya lagi sebelum dia mendekati meja makan itu. "Pagi Pa, Ma!" sapa Mora seperti biasanya.

"Pagi sayang!"

Sarapan kali ini tidak seperti kemarin hari hanya tersedia pancake dengan cream dan selai coklat. Mora mengambil pancake dengan selai coklat kesukaannya dan melahapnya sampai habis dalam khitmat.

"Pa, Ma..." panggil Mora pada dua orang tuanya.

Revan dan Nia menoleh ke arah putri semata wayang mereka hampir bersamaan. "Mm... soal yang kemarin Mora sudah pikirin semalam dan Mora juga sudah punya jawabannya Ma, Pa."

Revan meletakkan cangkir kopi yang akan dia sesap isinya pertanda kalau dia serius mendengarkan perkataan putrinya yang menyangkut nasib mereka sekeluarga kedepannya nanti.

Mora mengambil nafas dalam dan menghembuskannya perlahan lalu menatap kedua orang tuanya dengan ekspresi penuh keseriusan dan kemantapan hati. "M-mora mau dijodohin."

Kedua orang tua Mora tak ada yang bisa menahan senyuman mereka. Nia segera berdiri dari tempat duduknya dan menghampiri putrinya untuk dapat memeluknya. "Terima kasih sayang," ucap Nia senang.

Mora hanya diam dan meresapi rasa cinta yang diberikan Mamanya lewat pelukan hangat itu. Sementara Revan hanya memperhatikan kedua perempuan tercinta di hidupnya dengan sangat bahagia.

"Kalau begitu Papa akan memberitahu teman Papa agar semua persiapannya bisa segera dilakukan."

***