Chereads / Terlalu Muda / Chapter 2 - Bab 2

Chapter 2 - Bab 2

Mora mematut dirinya di depan cermin. Berkali-kali dia memperhatikan penampilannya malam ini. Hari ini adalah hari ketiga setelah Mora memutuskan untuk menerima rencana perjodohan yang disusun orang tuanya.

Pintu kamar Mora terbuka membuat gadis itu menoleh ke arah pintu dengan spontan. Nia yang mengenakan gaun panjang berwarna biru yang terlihat sangat indah dan pas di tubuhnya menambah kesan anggun untuk pemakainya, terpesona melihat putrinya yang tampil sangat cantik dan memukau hari ini.

"Ya Allah... putri Mama cantik sekali malam ini. Mama yakin calon suami kamu pasti akan terpesona melihat penampilan kamu malam ini," puji Nia yang mampu membuat Mora tersipu.

"Mama berlebihan... harusnya Papa nggak ngajak kita makan malam di luar hari ini karena nanti Mora yakin banyak sekali yang memperhatikan Mama, karena Mama sangat cantik hari ini."

Nia tersenyum simpul mendengarkan perkataan putrinya itu. "Ya sudah... kita berdua sama-sama cantiknya karena kamu anak Mama Nia yang paling cantik dan karena Mama adalah Mamanya Mora yang paling mempesona." Mora mengangguki ucapan Mamanya setuju.

"Ayo... Papa kamu sudah nunggu!" ajak Nia pada putrinya.

Kedua perempuan yang cantik dan menawan itu keluar dari kamar Mora dan menuju lantai satu tepatnya ruang keluarga dimana ada Revan yang sudah menunggu dua perempuan paling berharganya sejak tadi.

Hentakan dari heels yang dikenakan ibu dan anak itu membuat Revan mengalihkan perhatiannya dari layar ponsel yang sejak tadi dipandangnya. Sebentar dia terpesona pada kedua perempuan cantik yang sedang berjalan ke arahnya.

"Ya Tuhan... anak Papa cantik sekali... Papa yakin Arka akan terpesona melihat kamu nanti." Lagi, Mora tersipu mendengarkan perkataan Papanya yang sama berlebihannya dengan perkataan Mamanya tadi.

"Papa sama saja kayak Mama berlebihan."

"Siapa yang bilang berlebihan, Papa jujur saat mengatakan kamu itu sangat cantik karena putri Papa memang yang paling cantik setelah Mama kamu tentunya," balas Revan dilanjutkan dengan tawa ringannya.

"Sudah... kita nanti bisa terlambat kalau terus berada di sini. Kasihan keluarga Lusi menunggu kita terlalu lama nanti," potong Nia menghentikan tawa Revan.

Mereka bertiga berjalan menuju sebuah mobil yang sudah siap mengantarkan mereka menuju restoran dimana keluarga Mora dan calon suaminya melakukan pertemuan keluarga.

***

Setelah perjalanan yang cukup memakan waktu dan untungnya jalanan hari ini tidak padat. Akhirnya mereka—Mora dan orang tuanya—sampai di tempat tujuan mereka, di sebuah restoran berbintang yang hanya didatangi oleh keluarga-keluarga atau orang-orang berkantung tebal saja.

"Reservasi atas nama Revan dan Kenan," ucap Revan pada salah satu pelayan yang menyambut mereka. Pelayan laki-laki itu mengentarkan Revan dan keluarganya ke sebuah ruangan yang sudah di pesan oleh Revan dan Kenan—teman baik Revan yang akan menjadi mertua Mora—sebelumnya.

Pelayan itu membukakan pintu untuk Revan dan keluarganya. Begitu mereka memasuki ruangan itu ternyata sudah ramai oleh keluarga calon suami Mora.

"Apa aku terlambat datang atau kalian saja yang datang terlalu semangat?" tanya Revan penuh canda pada teman baiknya.

"Kami yang terlalu bersemangat malam ini, Van" Revan dan pria sebaya dengan Revan—Kenan—saling berpelukan ala sahabat lama yang tak pernah bertemu lagi sebelumnya.

"Silahkan duduk Jeng Nia!" ucap wanita paruh baya yang bernama Lusi pada Nia.

Nia dan Mora duduk bersebelahan dengan Revan yang berada di sebelah Kenan. "Sebelum kita memulai pembicaraan keluarga kita, lebih baik kita mengisi perut dulu karena aku sudah sangat lapar sekali," ucap Kenan dengan senyuman lebarnya yang hangat.

Kenan memanggil pelayan yang memang bertugas di dalam ruangan itu untuk mencatat pesanan masing-masing dari mereka bertujuh.

"Arga... cepat kamu susul Arka. Dari tadi dia berada di kamar mandi belum juga kembali!" perintah Lusi pada cowok sebaya dengan Mora.

Mora mengerut melihat cowok itu karena wajahnya terlihat tidak asing di mata Mora. 'Sepertinya pernah lihat tapi dimana ya?' batin Mora bertanya.

Belum sampai cowok yang dipanggil Arga itu membuka pintu, terlebih dahulu pintu itu terbuka dari luar dan menampilkan seorang cowok yang memiliki rupa mirip dengan Arga.

"Nah ini dia orangnya, akhirnya balik juga tanpa perlu dijemput," kata Arga saat melihat saudaranya masuk ke dalam ruangan.

"Maaf tadi ada beberapa urusan jadi saya sedikit lama," kata Arka meminta maaf pada penghuni ruangan lalu mengambil duduk di sebelah Mora dimana tempat duduknya tadi berada.

'Mereka kembar ya? Wajahnya mirip banget,' batin Mora saat dia memperhatikan wajah Arka dan Arga bergantian.

"Mora... mereka anak-anak tante Lusi dan om Kenan. Yang duduk di sebelah kamu itu namanya Arka lalu sebelah Arka ada Arga dan di sebelah Arga ada Aria," kata Nia mengenakan putrinya pada anak-anak Lusi dan Kenan.

Mora tersenyum manis pada ketiganya yang dibalas senyuman hangat oleh Arga dan Aria berbeda dengan Arka yang hanya memperhatikan Mora sekilas dan memberikan senyuman kilatnya.

"Mereka bertiga sebaya sama kamu."

Mora menoleh ke arah Mamanya dengan kaget. Mencoba memastikan bahwa telinganya tidak salah dengar.

"Kok bisa Ma?" tanya Mora pada Nia yang mengundang tawa semua orang di ruangan itu kecuali Arka yang hanya mendengus mendengar pertanyaan tak bermutu Mora—menurut Arka.

"Tentu saja bisa Mora... mereka bertiga kembar Arka dan Arga kembar identik sementara Aria tidak identik dengan kedua saudaranya," jawab Lusi ramah.

Mora masih memasang wajah tak mengertinya setelah mendengar jawaban Lusi karena setahunya kembar itu berarti hanya dua saja dia tidak pernah tau ada kembar tiga.

"Kami ini triplet alias kembar tiga. Jadi Bunda sekali hamil langsung dapat tiga anak sekaligus," kata Aria berharap Mora mengerti.

Mora mengangguk mengerti walaupun masih ada yang dia tak fahami kenapa Aria tidak memiliki wajah yang mirip dengan kedua saudaranya yang lain? Bukankah dia juga kembaran mereka? Sepertinya Mora harus lebih memperhatikan lagi pelajaran Biologinya di sekolah.

Makanan pesanan mereka akhirnya datang setelah mereka menunggu cukup lama dan mereka memutuskan untuk mengisi perut mereka sebelum pembicaraan serius dua keluarga mereka dilaksanakan.

Tak ada satupun suara yang keluar dari bibir masing-masing kepala hanya ada suara dengtingan garpu, sendok dan piring sampai 15 menit ke depan.

"Mm... mungkin tadi Nia secara tidak sengaja sudah mengenalkan kami sekeluarga kepada Mora. Tapi aku sebagai kepala keluarga dari pihak laki-laki akan mmperkenalkan anggota keluargaku."

"Mora mungkin sudah tau nama Om siapa dari Mama dan Papa kamu. Nama Om Kenan Hutomo Papa dan Mama kamu biasa panggil Om dengan Kenan, khusus untuk kamu bisa panggil Om dengan panggilan Ayah toh kamu juga sebentar lagi akan jadi anak Om juga." Mora hanya mengangguk sebagai jawabannya.

"Lalu, istri Om namanya Lusiana Citra panggil aja Bunda." Lusi tersenyum ramah dan hangat pada Mora yang dibalas sama hangat dan ramahnya oleh Mora.

"Anak pertama Om, dia yang duduk di sebelah kamu." Mora menoleh ke arah samping tempat duduknya dimana Arka sedang duduk dengan tenangnya.

"Namanya Arka Satria Hutomo, kita biasa memanggil dia Arka. Dan dia juga yang nanti akan menjadi suami kamu."

Arka menoleh ke arah Mora dan keduanya mau tak mau saling berpandangan tapi tak berlangsung lama karena Mora lebih dulu memutuskan kontak mata mereka berdua. Mora meremas dressnya pelan karena tak tau kenapa menatap kedua bola mata Arka yang berwarna coklat gelap itu membuat jantung Mora berdetak tak karuan.

"Lalu, anak ke dua Om namanya Arga lengkapnya sama persis dengan Arka." Mora menatap Arga yang sudah tersenyum lebar ke arah Mora dengan ramah.

"Hai!" Arga melambaikan tangannya pada Mora yang disambut Mora dengan senyuman manisnya.

"Ini putri Om satu-satunya namanya Aria Princesa Hutomo. Karena kalian sebaya Om harap kalian bisa berteman baik."

Mora mengangguki perkataan Kenan dengan senang hati karena menurut pandangannya, Aria adalah sosok gadis yang baik dan tulus. Tidak seperti teman-temannya yang sebelumnya.

"Hai Mora... lain kali kita bisa pergi shopping sama-sama, okay?" Mora mengangguki ajakan Aria dengan senang hati.

"Karena Kenan sudah mengenalkan keluarganya sekarang giliranku untuk mengenalkan anggota keluargaku pa-"

"Tidak usah... terlalu memakan waktu. Aku sudah menghabiskan banyak waktu untuk memperkenalkan anggota keluargaku yang banyak ini. Dan untukmu Van, tidak perlu kami semua sudah tau," potong Kenan diakhiri dengan seringaian penuh olokan untuk Revan.

"Ini semua salah mu Ken, kenapa kamu harus mengenalkan keluargamu dengan begitu banyak basa-basi tak penting seperti tadi?" kesal Revan pada teman baiknya itu.

"Hmm... agar kamu tidak punya kesempatan untuk mengenalkan keluargamu dengan cara yang membosankan seperti biasanya," jawab Kenan santai.

"Namaku Revan Pratama ini istriku Kania Lestari dan ini putriku Amoura Revania Pratama," tiru Kenan seperti cara Revan biasa mengenalkan dirinya pada rekan bisnisnya yang baru.

Revan mendengus jengkel mendengar tiruan Kenan yang sama sekali tidak mirip dengannya sedikitpun.

"Nah... baiklah, karena tujuan kita berkumpul malam ini untuk menentukan tanggal pernikahan dua anak kita... jadi aku sarankan agar keduanya sendiri yang memilih waktunya," kata Kenan menyilakan Mora dan Arka.

Sementara keduanya hanya diam berfikir. "Kalau menunggu kami berusia 20 tahun bagaimana Om, Pa?" tanya Mora pada Kenan dan Revan.

"Maaf Mora, pernikahan kalian harus dilakukan sesegera mungkin jadi kalau harus menunggu kurang lebih 3 tahun lagi itu terlalu lama Nak." Mora menghela nafas mendengar jawaban Kenan padahal Mora berharap dia bisa mengenal seperti apa Arka terlebih dahulu sebelum mereka menikah pada akhirnya tapi ternyata tidak mungkin hal itu bisa terjadi. Tapi kenapa pernikahan ini terkesan terburu-buru sekali sampai tidak bisa menunggu sebentar saja.

"Kenapa Pa? Kenapa Mora harus segera menikah dengan Arka? Kenapa kita tidak bisa bertunangan dulu baru setelah itu kita bisa menikah? Setidaknya jika tidak bisa menunggu 3 tahun lagi tunggu sampai kami sama-sama lulus SMA dulu." Pertanyaan yang tersimpan rapi di kepala Mora akhirnya berani dia keluarkan.

Revan dan Kenan saling berpandangan seperti sedang berbicara lewat telepati mereka. Kenan menghela nafas lalu mengedikkan kepalanya ke arah Mora. Revan beralih menatap istrinya dan Nia tersenyum tipis kemudian mengangguk pelan seolah dia mengerti apa maksud tatapan Revan.

Revan menghela nafasnya dalam. "Sebenarnya Mora, perjodohan ini Papa lakukan dengan Kenan agar Papa bisa pergi ke London dan mengatur perusahaan di London yang sedang dalam masa kritis."

Mora masih tidak mengerti kenapa dia harus menikah jika hanya karena hal itu, tidak masuk akal sekali. Baru saja Mora ingin menyanggah ucapan Papanya tapi terlebih dahulu Revan melanjutkan ucapannya. "Ada musuh Papa yang sedang menyusup di perusahaan. Jika Papa pergi ke London dan fokus dengan urusan di sana tentunya perusahaan di sini akan sedikit terabaikan...."

".... Papa sebenarnya meminta tolong pada Om Kenan agar membantu Papa menjalankan perusahaan di sini tapi Om Kenan tidak bisa karena dia juga memiliki tanggung jawab yang sama besarnya dengan Papa di perusahaannya. Maka dari itu Om Kenan mengusulkan agar putra sulungnya menikah dengan mu dan mengambil alih kepemimpinan di sana."

"Kenapa tidak Papa titipkan saja tanggung jawab perusahaan pada orang kepercayaan Papa di kantor?" tanya Mora.

Revan menggelengkan kepalanya. "Kenapa?"

"Untuk saat ini Papa tidak bisa mempercayai siapapun di perusahaan karena kondisi perusahaan di sini tak berbeda jauh dengan perusahaan di London," jawab Revan.

Mora terdiam dia sudah tidak bisa berkata apa-apa lagi. Apakah seburuk itu keadaan perusahaan sampai Papa tak bisa menyelesaikannya sendiri. Mora bingung harus apa sekarang. Dia menoleh ke arah anak laki-laki sebaya dengannya yang terlihat tenang dan diam saja sejak tadi.

'Apa dia setuju dengan keputusan orang tua kita ini? Kenapa dia diam saja sejak tadi? Kenapa dia tidak membatuku sama sekali?'

"A-aku..."

***