Almaira dan Clarissa tengah menikmati es cream cone ditangan mereka sambil bersuafoto, usia mereka sudah bukan belasan tahun lagi tapi tingkah mereka saat bersama tak jauh berbeda dengan dua anak remaja yang baru lulus sekolah tingkat pertama.
mereka sedang berada di sebuah pusat perbelanjaan terbesar di Jakarta, sembari mencari beberapa kebutuhan kuliah Almaira mereka memang sengaja menghabiskan waktu bersama. maklum saja sejak kejadian mengerikan itu menimpa Almaira keduanya terpisah jauh, Clarissa tetap tinggal di Jakarta melanjutkan pendidikanya sedang Almaira harus diterbangkan ke Singapura.
"Al, kamu inget gak dulu kita sering nongkrong di kafe itu??" Clarisa menunjuk sebuah cafe yang berada antara deretan rumah makan dalam mall.
Almaira tersenyum kemudian mengangguk pasti, matanya berbinar teringat penggalan kisah tiga tahun lalu.
"aku bahkan selalu bermimpi kita bisa kesana lagi dengan teman teman yang lain, seperti dulu." kata Almaira.
matanya mulai berkaca- kaca, Almaira kembali mencomot es creamnya dan membuang pandanganya melihat keramaian orang- orang yang berlalu lalang di dalam mall.
Clarissa menggenggam erat tangan Almaira membuat sang empunya memutar kepala menghadapnya.
"minggu depan aku bakal ngumpulin mereka semua, kita ngopi bareng kayak dulu di kafe itu. oke?"
"tapi Sa, itu akan sulit banget. beberapa teman kita sudah lulus kuliah bahkan sebagian sudah kerja."
"karena itu aku pilih hari minggu biar semua bisa kumpul, Al."
keduanya berpelukan, bahkan bulir air mata Almaira kini mulai terjun membasahi pipi mulusnya. gadis itu terharu dengan sikap sahabatnya yang selalu setia mendukungnya dalam keadaan apapun tanpa peduli kekuranganya dan tanpa takut mendapat bullyan karena memiliki sahabat seperti dirinya.
"Al, kita cari makan yuk. laper nih dari pagi blon makan." ajak Clarisa sembari memegangi perutnya yang sedikit berlemak.
Almaira menyetujui ajakan sahabatnya itu, setelah berdiskusi mereka memutuskan akan makan siang di restoran Jepang yang ada di dalam mall. mereka berjalan menuju restoran jepang tersebut, letaknya memang cukup jauh keduanya harus berjalan memutar dari tempat duduk mereka agar bisa ke rumah makan tersebut.
tanpa sengaja dua orang gadis mengenakan kaos polo berwarna hitam menabrak Almaira dan Clarissa, membuat beberapa barang belanjaan ditangan Clarissa jatuh berserakan di lantai.
"hey kalian kalau mau maraton jangan di mall, lihat belanjaan ku jatuh semua." bentak Clarissa
Almaira yang juga hampir jatuh karena ulah kedua gadis itu turut memaki. "kalian dikejar hantu huh??? sampai bikin orang hampir jatuh???"
setelah membantu mengemas beberapa barang Clarissa yang berserakan dilantai, kedua gadis itu segera meminta maaf.
"maaf....kami sedang terburu- buru mbak, bos kami akan segera tiba di Jakarta." gugup Mita membuka suaranya
"eh aku gak ada urusan ya sama bos kamu, sekarang baju yang baru aku beli jadi kotor trus gimana??? kalian harus ganti rugi." tuntut Clarissa.
tubuh kedua gadis itu bergetar, tanganya dingin dan hatinya gelisah. perkataan yang baru saja mereka dengar bak petir disiang bolong, mereka baru bekerja dua minggu ini mana punya uang untuk ganti rugi. pikir Mita
sedang Rani ia jauh lebih berani menyampaikan apa yang ada di benaknya "hey, bajumu cuma jatuh kelantai. kamu bisa mencucinya gak harus kita ganti rugi, emang kita buat sobek baju kamu." pekiknya
tanpa memperdulikan Almaira dan Clarisa kedua gadis yang tak lain adalah asisten artis Illusionis yakni Mita dan Rani bergegas meninggalkan mall, karena pak Gun baru saja menelfon dan memberitahukan bahwa Illusionis akan tiba di Jakarta pukul 4 sore ini.
*****
keempat personil grub band illusionist akhirnya menginjak daratan bumi pertiwi, setelah beberapa jam sebelumnya mereka masih terkunci di toilet wahana permainan.
beruntung Keano bisa mengelabuhi para penggemar itu dengan meminta tolong sahabatnya yang ada di Hongkong agar menyiapkan aktor teatrikal dan menyamar sebagai Illusionist, dengan demikian keempat personil itu bisa menuju mobil van mereka dan segera pulang ke Indonesia.
sesampainya di bandara Marcel memisahkan diri dari ketiga sahabatnya, jika personil Illusionist lainya menuju kantor manajemen mereka maka Marcel ia pergi menemui seseorang yang seharian ini membuatnya marah.
pagar sebuah rumah mewah bergaya Eropa terbuka dengan sendirinya saat mobil yang dikendarai Marcel berada beberapa meter didepanya, pria bertubuh atletis dengan tinggi badan 186cm itu memasang wajah bengisnya ketika memasuki rumah.
seorang pria paruh baya mengenakan baju safari hitam membungkukkan badan menyambut Marcel yang baru saja keluar dari mobil sedan merk Audi kesayangannya. baru beberapa langkah memasuki rumah mewah itu, lagi- lagi Marcel mendapat sambutan dari beberapa pelayan yang kompak mengenakan baju putih dan celana hitam baik yang muda maupun yang tua.
"dimana wanita itu?" tanya Marcel
4 orang pelayan yang menyambutnya hanya tertunduk tak berani menjawab, satu orang pelayan tertua yang berdiri paling ujung membuka mulutnya menjawab "nyonya ada di ruang baca tuan."
tanpa bosa basi lagi Marcel mengambil langkah cepat menuju ruangan yang disebutkan pelayan tua itu, ia menaiki tangga menuju lantai dua dengan nafas terengah engah menahan amarah.
sebuah ruangan diujung lorong lantai dua dua rumah bergaya Eropa itu menjadi titik tuju langkah kaki artis yang sedang naik daun, Marcel membuka pintu besar dengan ukir ukiran cantik itu kasar
"kau!!!! apa yang kau mau dariku??" teriak Marcel saat bola matanya menemukan sosok wanita paruh baya mengenakan baju santai yang masih terlihat mahal, sedang asik membaca buku tebal dibalik meja besar dalam ruangan itu.
"hay, Marcel. kukira akan lebih sopan jika kamu memilih kata kata yang lembut saat berbicara denganku." ucap wanita paruh baya yang masih tampak muda dan cantik.
"kau mengharapkan aku sopan kepadamu??? wanita sepertimu??? cih, jangan pernah bermimpi !!" tukas Marcel
wanita yang tak lain adalah ibunda Marcelino itu kini beranjak dari tempat duduknya, ia berjalan meletakan buku yang sebelumnya ia baca pada sebuah rak buku di salah sudut ruangan. "semua akan tampak lebih indah jika sesuai pada tempatnya, termasuk sikapmu padaku. ingat Marcelino Atala Shani kau tetaplah putraku, ingat itu." kata Friesta Thomsan.
"aku hanya alat yang kau gunakan agar kau bisa duduk di kursi tertinggi The Gold Prime Corporation, dan kau telah mendapatkan itu jadi untuk apa kau masih berpura - pura menjadi ibuku??" Marcel tersenyum kecut kearah Friesta Thomsan.
"terserah apa yang kau pikirkan tetap saja kau pernah tinggal dalam rahimku." jawab Friesta sembari duduk di kursi baca di samping jendela ruangan.
"huh sudahlah cepat katakan apa mau mu??? kau seenak hatimu memboikot Illusionis dan memerintahkan aku pulang saat aku ingin berlibur.?"
Friesta Thomsan segera meletakan cangkir yang tengah dicecapnya saat pertanyaan itu sampai di gendang telinganya, kemudian ia mengambil sebuah amplop coklat dalam laci meja baca menyerahkan pada Marcel.
"apa itu??" tanya Marcel
"sebuah formulir pendaftaran mahasiswa baru." jawab Friesta lugas
"apa??? apa maksudmu??" Marcel mengernyit dan sedikit memekik
"kau adalah putra dari Eric Surya Irawan pengusaha Indonesia yang dikenal dunia, ibumu adalah Friesta Thomsan direktur utama The Prime Gold Corporation. apa jadinya jika dunia tahu kalau pewaris tunggal kami tidak mengenyam pendidikan layaknya orang terhormat lainya??"
ha....ha...ha...
tawa dingin Marcel menggema ke seluruh ruangan, pria yang masih berdiri di depan Friesta Thomsan yang tak lain adalah ibunya itu kemudian berkata.
" itu jika aku mau menerima harta kalian, tapi sayangnya aku tak pernah tertarik menjadi ster dalam bidak catur kalian. terutama kamu."
"mengejutkan Marcel, tapi kamu tak punya pilihan lain. jangan menolak jika kamu masih ingin Illusionis berkarya, menggema keseluruh penjuru dunia."
"kau mengancam ku??"
"tidak, hanya membuat penawaran. kau lanjutkan kuliah dan Illusionist tetap berjaya atau tak kuliah dan juga tak ada lagi Illusionis."
Marcel mengeraskan rahangnya, sorot matanya bagai mata pedang yang siap mencabik lawanya, ia mengacak acak rambutnya frustasi seraya berteriak kesal.
"aku tak memberi banyak waktu, satu minggu. hanya satu minggu waktumu menandatangani surat pendaftaran ini, jika lebih dari itu maka seluruh kontrak Illusionist baik di dalam dan diluar negri ku pastikan akan batal."
Marcel berbalik badan dan dengan langkah seribu ia meninggalkan rumah bak castil itu, deru nafasnya bertautan membuang kemarahan yang tak tersampaikan. beberapa pelayan yang sibuk menyiapkan makan malam dibuatnya kaget dan bingung, tanpa kata dan tanpa salam tuan muda rumah mewah itu meninggalkan hunian yang merindukanya ini.
yaaa sejak berusia 17 tahun Marcel lebih memilih tinggal di apartemnt yang menjadi kado untunya dari sang ayah, baginya rumah mewah itu adalah neraka yang membuatnya sesak dengan rangkaian drama wanita yang mengaku ibunya.
satu satunya yang membuatnya mau menginjakan kaki dan bermalam di rumah itu adalah sang ayah, sayangnya ayahnya hanya akan pulang ke rumah beberapa kali dalam setahun. Eric Surya Irawan terlalu sibuk mengurusi bisnisnya di Amerika dan beberapa negara Eropa lainya, hal itu membuat Marcel semakin leluasa tinggal dinggal di appartemen miliknya.