Chereads / Pilihan Melisa / Chapter 4 - Chapter 3

Chapter 4 - Chapter 3

Semoga kalian suka

***

Unedited

Mobil Zakari kini sudah berhenti di depan gedung apartemen Melisa. Tetapi wanita itu sama sekali tak menyadarinya dan masih termenung.

"Mel, udah sampai." ujarnya memberitahukan.

Namun, Melisa sepertinya tak mendengarnya. Karena pandangan gadis itu masih saja lurus memandang ke arah depan. Dari sorot matanya, Zak yakin bahwa pikiran dan jiwa wanita itu kini sedang tidak berada dalam tubuhnya.

Sadar Melisa tak mendengar ucapannya, Zakari melepaskan tangannya pada setir mobil lantas menjatuhkan tangannya itu pada lengan Melisa.

"Mel, kita udah sampai di apartemen kamu."

Sentuhan Zak membuat Melisa tersadar dari lamunannya dan menatap Zak bingung. "Oh, hah? Kenapa Zak?"

"Kita udah sampai di apartemen kamu, Mel." terang Zak sekali lagi.

Melisa memalingkan wajahnya dan menatap ke arah luar jendela, ingin memastikan. Setelah yakin bahwa mereka benar-benar sudah di depan gedung apartemennya, matanya pun kembali menatap Zakari.

Dengan tersenyum lemah gadis itu berucap, "Makasih Zak. Maaf ya, aku udah ngerepotin kamu."

"Gak ngerepotin kok, Mel. Lagian akunya yang maksa pengen anterin kamu." balas Zak menyeringai lebar.

Ah, mengingat kejadian tadi, Melisa tiba-tiba merasa malu bertatapan dengan Zak karena laki-laki itu sudah melihatnya menangis.

"Soal yang tadi—"

Zak menyela Melisa sebelum dia menyelesaikan kalimatnya. "It's okay, Mel. Aku tau kamu gak pengen cerita hal itu. Dan aku juga tau kalo itu bukan urusan aku." Ia tahu apa yang akan diucapakan wanita itu. Zak mengerti dan ia tak mau membuat wanita yang disukainya merasa tak nyaman dengannya.

"Thanks, Zak."

"You're welcome, Mel." Senyum Zak lebar.

Melihat senyum tulus pria yang ada di depannya, Melisa tanpa sadar jadi ikut tersenyum juga. Jika sifat dan karakter Rafael diibaratkan seperti matahari yang bisa memberi kehangatan tapi tidak bisa disentuh, sifat dan karakter Zakari bisa dikatakan seperti rintik hujan yang mampu membuat orang tenang saat mendengarnya. Lelaki itu selalu saja bisa membuatnya tenang.

"Kamu mau gak, masuk dulu ke apartemen aku?" Melisa memandang Zak dengan ragu-ragu.

Tidak percaya dengan pendengarannya. Zak terbelalak. "Kamu bilang apa tadi, Mel?" Ia takut pendengarannya salah.

Bukan hanya Zak saja yang kaget. Melisa juga kaget dengan ucapannya barusan. Ia tidak tahu setan apa yang sudah masuk ke dalam dirinya hingga tiba-tiba bisa dengan beraninya mengajak seorang, tepatnya, seorang laki-laki ke dalam apartemennya yang sama sekali tak pernah dikunjungi pria lain selain Ayahnya.

Akibat kejadian tadi, mungkin hati Melisa yang masih terluka masih terasa begitu pedih dan sakit. Dan, keberadaan pria yang tengah duduk di sampingnya kini, entah kenapa mampu membuat perasaannya menjadi sedikit lebih tenang.

Masih ingin merasakan ketenangan dan kenyamanan itu sedikit lebih lama,

tanpa memikirkan maksud dari ucapannya barusan, Melisa pun mengutarakan isi hatinya. Sepertinya, hatinya kecilnya lebih jujur daripada dirinya.

Tapi kini, Melisa merasa menyesal karena sudah dengan gegabah melontarkan undangan yang terdengar sedikit profokatif pada Zakari.

Tiba-tiba ponsel Zakari berbunyi dan memecahkan suasana ambigu yang tercipta di antara mereka berdua. Zakari merogoh celanannya lantas mengangkat telponnya itu.

"Kenapa, Dam?"

"Lo bakalan balik lagi kesini atau gimana? Kalo gak, gue pengen ketemu temen gue. Dia ngajakin gue ketemuan." Jelas Damian sang penelpon.

"Kayaknya gue gak bakalan balik lagi, bro. Elo ketemu temen elo aja. Entar gue kabarin lo lagi."

"Oh, oke bro. Sori udah ganggu elo sama Melisa." Zak bisa mendengar kekehan kecil sepupunya dari seberang telpon dan tanpa sadar, ia melirik ke arah Melisa.

"Hmm. Gue tutup dulu, Dam."

Setelah mengakhiri pembicaraannya dengan Damian, pandangan Zak kembali tertuju pada gadis cantik yang sedang duduk di sebelahnya.

"Sori. Sepupu aku telpon. Kamu bilang apa tadi, Mel?" Zak menatap Melisa lekat. Bertanya sekali lagi.

"Ha? Aku bilang apa tadi? Kayaknya aku lupa, Zak. Yang tadi nelpon kamu Damian?" Melisa mengalihkan pembicaraan mereka. Dan Zak berhasil menangkapnya.

"Jangan pura-pura mengalihkan pembicaraan, Mel. Aku denger jelas kalo tadi kamu undang aku masuk ke dalam apartemen kamu. Kamu serius?" Tanya Zak tanpa memalingkan wajahnya.

Tak tahan dengan tatapan intens laki-laki itu, Melisa pun menunduk.

Wajah Melisa yang gelisah akan pertanyaanya itu menyebabkan Zakari mendesah lemah. Meskipun ia sangat berharap bisa berlama-lama berduan dengan Melisa, ia juga tak mau membuat wanita itu tak nyaman dengan dirinya dan akhirnya menjauhinya.

Dengan ibu jari dan telunjuknya, Zak memegang dagu Melisa dan mengangakatnya agar mereka berdua bisa saling bertatapan. "Lihat aku, Mel. Kalo pertanyaan aku udah buat kamu gak enak, aku minta maaf. Aku gak mau liat kamu sedih dan aku hanya pengen nemenin kamu. Tapi jika keberadaan aku buat kamu gak nyaman, aku bakalan pulang. Jadi, tersenyumlah, Mel. Aku gak mau liat kamu nangis lagi kayak tadi." Zak mengusap pipi Melisa dengan sayang.

Bukannya tersenyum, mata Melisa malah mulai berkaca-kaca. Ucapan Zakari barusan begitu menyentuh hatinya. Tak berapa lama, pipi Melisa sudah dibasahi air matanya.

Zak salah mengerti dengannya. Ia bukannya tak nyaman dengan keberadaan pria itu, hanya saja ia takut Zak menganggapnya wanita murahan karena sudah mengundangnya ke apartemennya. Meskipun ajakannya itu tak bermaksud macam-macam, hanya untuk mengobrol, tetapi di mata orang lain itu bisa berarti lain. Apalagi pria itu tahu bahwa dirinya adalah tunangan sahabatnya. Ya, meskipun status itu tak lama lagi akan berubah, tetap saja ia masih berstatus tunangan pria lain.

Zakari langsung gelagapan begitu melihat Melisa menangis. "Don' cry, Mel. Heyyyy... Look at me, Mel. Plis, jangan nangis. Kamu keliatan jelek banget kalo nangis, Mel." Zak mencoba bercanda, menenangkan Melisa. Ia tidak tahu kenapa Melisa sampai menangis.

Ini sudah kedua kalinya ia melihat wanita yang disukainya berlinang air mata hari ini. Dan hati Zak seperti tergores pisau, perih.

Tiba-tiba, Melisa mencengkram lengan kemeja Zak dan berucap. "Jangan pergi, Zak. Plis temenin aku."

Sorot mata dan ekspresi Melisa yang begitu rapuh membuat Zak ingin memeluk gadis itu. Tapi, ia menahannya. Bukan karena takut Melisa akan mendorongnya jauh-jauh, tapi ia takut jika ia memeluknya, ia takkan bisa lagi melepaskan gadis itu dalam hidupnya.

Dengan sangat lembut, Zak menghapus air mata yang membasahi pipi Melisa. "Kamu yakin, Mel?"

Melisa hanya mengangguk. Menerima jawaban Melisa, Zak pun menarik tangannya dari pipi Melisa. Dan sedetik kemudian ia merasa sedikit kehilangan. Zak lantas kembali menyalakan mobilnya kemudian memarkirkan mobilnya di parkiran mobil apartemen Melisa.

Selesai memarkirkan mobilnya, Zak melepaskan seat belt-nya dan turun dari mobil. Tak lupa, ia juga membukakan pintu untuk Melisa.

Zak mengulurkan tangannya pada Melisa dan dia menerima uluran tangan Zak dan menggengamnya. Mereka berdua pun berjalan secara berdampingan.

Setibanya di dalam lift, Zak bertanya pada Melisa, "Apartemen kamu di lantai berapa, Mel?"

"Lantai 4."

Di dalam lift, hanya ada mereka berdua. Setelah menekan tombol lantai apartemen Melisa, keheningan pun tercipta di antara mereka. Lewat pantulan lift yang kelihatan seperti kaca, Melisa bisa melihat sepasang pria dan wanita saling berpegangan tangan. Dan hal itu kontan membuat wajahnya merona merah. Melisa menunduk dan mulai memperhatikan tangannya yang digenggam Zak.

Tangannya terlihat begitu kecil jika dibandingkan dengan tangan Zakari. Telapak tangan pria itu sedikit terasa kasar di tangannya. Dan jujur saja, kulit mereka yang saling bersentuhan membuat Melisa sedikit merasa aneh akan hal itu. Aneh dalam hal yang baik.

Selama 28 tahun Melisa hidup, ia sama sekali tak pernah berpacaran dan baru kali ini seorang pria menggengam tangannya. Tentunya selain Ayah dan Opanya.

Karena terlalu menyukai Rafael, Melisa tak pernah menerima pengakuan cinta dari pria lain. Di dalam hatinya hanya ada sosok pria itu. Meskipun ia tahu lelaki itu tak mencintainya, Melisa tetap bersikeras ingin mengejarnya. Ia yakin dengan seiring berjalannya waktu, hati pria itu aku luluh dan lama-kelamaan aku mencintainya juga.

Namun siapa sangkah, ternyata itu hanya pemikiran dan imajinasinya saja. Rafael tak bisa mencintainya karena hati pria itu sudah ada yang memilikinya. Memikirkan kebodohannya, Melisa tersenyum ironis. Ah, sepertinya dia terlalu percaya diri dengan kemampuannya hingga meremehkan hati Rafael.

Tanpa ia sadari, gerak-geriknya tak pernah lepas dari pandangan Zak yang sebelumnya sedang mengulum senyum tipis mendadak memberengut.

Tiba-tiba Zak mengangkat tangan mereka hingga membuat Melisa terperanjat.

"Emang apa bagusnya liatin tangan aku, Mel?" Ujar Zak ingin menggoda Melisa dan ingin menghilangkan rasa sedih yang muncul di wajah gadis itu.

"Ha? Siapa juga yang liatin tangan kamu? Aku liatin tangan aku kok." Elak Melisa cepat karena malu sudah tertangkap basah.

"Kalo begitu aku juga pengen liat tangan kamu, Mel. Aku pengen liat apa yang dari tadi kamu liat." Zak mengangkat tangan mereka lebih tinggi.

"K-kamu... Ugh...." Melisa tak bisa berkata-kata saat mendengar alasan Zak itu.

***

Harap maklumi jika ada kesalahan dalam penulisan.