Waktu pun berjalan dengan semestinya, hari-hari berlalu dengan sendirinya hingga tak terhitung dengan hitungan jari.
Sudah seminggu Jean pergi dengan membawa cinta dan lukanya. Sedang Jian tinggal dengan memendam rasa cinta dan rindunya.
Sungguh cinta dan rindu itu begitu sangat menyiksa, mencubit, menyentil terasa perih namun tak mengeluarkan darah.
Jian telah terjatuh dalam kubah perasaan cinta dan rindu yang baru di rasakannya, sungguh cintanya telah bersemi pada gadis kecil yang telah Jian nina bobokan dan Jian besarkan.
Jian berdiri di jendela ke arah jalanan yang begitu gelap tanpa bintang tanpa bulan, berkali-kali hanya tarikan nafas berat yang terdengar.
Kerinduan yang melanda Jian tidak bisa membuatnya tidur di tiap malamnya, tidak bisa berpikir jelas di siang harinya, rasa lapar pun tak Jian hiraukan selain menelan semua rasa rindunya pada Jean.