"Karin...bangun." Aska mengusap pundak
Karin yang masih tertidur. Karin membuka matanya berlahan dan masih belum sadar sepenuhnya.
Karin menoleh dan kaget melihat Aska berada di ranjang yang sama dengannya. Karena kekagetanya tubuh Karin bergerak mundur dan separuh tubuhnya hampir terjatuh dari ranjang.
Untung Aska dengan cepat meraih tangannya dan memeluk separuh punggung dan kepalanya.
Aska menatap Karin dengan mata terpaku, tangannya dengan kuat menahan Karin agar tidak terjatuh dan menariknya cepat dalam pelukannya.
Karin terperangah membiarkan dirinya dalam pelukan Aska. Dengan perasaan malu, Karin melepaskan diri dari pelukan Aska, dan turun dari atas ranjang.
Di betulkan baju atasannya yang sedikit kusut karena tertidur tadi.
"Kamu sudah tidak mual kan Ka? kita harus cepat pulang, sudah mau sore." Karin membuka suara.
"Karin, duduklah sebentar di sini." Aska menepuk ranjang kosong di sampingnya, agar Karin bisa duduk dekat dengannya.
"Ada apa lagi?" Karin memijat dahinya, melihat wajah Aska yang serius menyuruhnya duduk.
"Ada yang ingin aku bilang padamu, ini sangat penting." kata Aska sedikit gugup, takut jika nanti Karin menolak perasaannya.
"Hal penting apa?" Karin jadi risau dengan sikap Aska yang tidak seperti biasanya.
"Karin." Aska bergerak menyamankan posisi duduknya dan menenangkan jantungnya yang mulai berlari.
"Ini kenapa aku jadi gugup dan susah untuk bicara?" batin Aska.
Selama ini tidak ada di kamusnya gugup menghadapi seorang wanita, tapi sekarang? jantungnya saja bergerak cepat, keringat dinginnya keluar dari kulit porinya.
"Aaashhhh!! kenapa susah sekali mengatakannya!" teriak Aska dalam hati.
"Aska!" sentak Karin.
"Kamu jadi ngomong apa tidak?" Karin sudah mulai kesal menunggu Aska yang masih diam seribu basa.
Dengan kesal Karin turun dari ranjang, namun pergelangan tangannya di tahan Aska cepat.
"Tunggu Karin." Aska memohon dengan mata baby nya menatap Karin lembut.
Karin kembali duduk, dan melirik Aska yang masih menatapnya.
"Akkuu, ingin kamu menjadi kekasihku." kata Aska dengan bibir tercekat.
Karin memegang dahi Aska dan tersenyum devil.
"Bukannya aku sudah menjadi kekasihmu? walau hanya enam bulan? kamu tidak hilang ingatan kan?" suara Karin penuh tekanan.
Aska menarik nafas panjang, ini bibir kenapa tidak bisa bicara yang jelas.
"Maksudku, aku ingin kamu menjadi kekasihku selamanya, selama hidupku. Aku mencintaimu Karin!" suara Aska gemetar, Akhirnya keluar juga apa yang Aska ingin ungkapkan pada Karin.
Karin menatap Aska tanpa berkedip. Tidak percaya seorang playboy mengungkapkan perasaannya dengan suara dan tubuh yang gemetaran.
Dan Karinpun tidak siap mendengar itu semua. Karin masih merasa trauma dan tidak ada percaya dengan mulut manis laki-laki. Karin menggelengkan kepalanya berlahan.
"Maaf Aska, aku tidak bisa. Aku hanya bisa membantumu selama enam bulan sesuai perjanjian awal kita." ungkap Karin
"Kenapa tidak bisa Karin, alasannya apa? aku mencintaimu, aku ingin selama hidupku bisa bersamamu." Aska menatap Karin dengan tidak mengerti.
"Alasannya karena aku tidak mencintaimu! itu saja, dan jangan tanya lagi kenapa aku tidak mencintaimu." jawab Karin tegas.
Aska menatap Karin masih tidak mengerti, di saat suasana yamg berbeda Aska merasakan Karin adalah wanita yang sangat penuh perhatian padanya.
Tapi di waktu yang berbeda pula Karin seperti wanita yang berhati dingin, dan terlihat sangat membencinya.
Aska diam hatinya terluka dengan sikap Karin yang telah menolak perasaannya. Aska turun dari ranjangnya. dan tanpa melihat Karin Aska berjalan keluar.
Karin mengikuti Aska dari belakang. Sebenarnya Karin tidak sampai hati melakukan hal yang menyakiti hati Aska. Tapi Karin tidak bisa menjalani hari-hari tanpa ada perasaan apa-apa, karena perasaannya sudah lama mati bersama kenangan di masa lalunya.
Aska memasuki mobil dengan masih diam dan tanpa bicara. Karinpun duduk di samping Aska dengan diam pula, sesekali di liriknya Aska yang berubah sikapnya jadi dingin padanya.
"Aska, seatbeltmu belum kamu pasang." Karin mengingatkan Aska.
Tanpa menoleh Karin, Aska memasang seatbeltnya.
Dalam perjalanan pulang hingga sampai di rumah, Aska tidak ada bicara. Tatapan matanya pun dingin dan kosong.
Karin menarik napas dalam, cukup dengan bersabar hati melihat sikap Aska yang kekanakan.
Aska keluar dari mobil dan langsung masuk ke dalam kamarnya dan menutup pintunya dengan suara yang keras.
"BLLLLAAAMMMM"
Karin, serta Pak Damar dan Bik Ima kaget dan hanya saling pandang.
Karin pun masuk ke dalam kamarnya dan menghempaskan tubuhnya di atas ranjang. Hatinya sedikit gelisah.
Apa yang harus di lakukannya, untuk menghadapi Aska. Seperti makan sebuah malakama, Jika Karin menerimanya, Karin belum bisa mencintai Aska, dan dia juga tidak tahu bagaimana perasaannya pada Aska.
Dan jika menolak seperti tadi, Karin menguatirkan kesehatan Aska karena penyakitnya.
"Ya Tuhan, apa yang harus aku lakukan? kembalikan perasaan hamba yang telah lama hilang ini." jerit suara hati Karin.
"Non Karin." panggil Bik imah dari balik pintu.
Karin bangun dari tidurnya dan membuka pintu kamarnya.
"Ada apa Bik?" Karin melihat wajah Bik Ima yang gelisah.
"Tuan Aska, tidak mau makan Non. Sekarang kan sudah waktunya makan dan minum obat." Bik Ima menjelaskan.
Karin melihat jam dinding kamarnya sudah pukul 18.30, memang sudah waktunya Aska untuk minum obatnya.
"Baiklah bik, nanti Karin akan ke sana." ucap Karin kemudian. Bik Ima pun berlalu turun ke bawah kembali ke dapur.
Karin membuka pintu kamar Aska dengan pelan. Ini semua terjadi karenanya. Jadi dia harus bisa menyelesaikan masalahnya ini.
Di lihatnya Aska duduk di balkon kamar, angin malam sangat dingin terasa, tapi Aska tanpa perduli kesehatannya duduk di luar tanpa memakai selimut ataupun jaket.
"Sungguh Aska sangat merepotkan jika sudah kambuh kekanakannya." gumam Karin.
Karin mengambil selimut di atas ranjang Aska di bawanya menghampiri Aska yang masih duduk diam tak bergerak.
Di selimutinya separuh tubuh Aska yang sudah dingin terkena angin malam. Tubuh Aska bergerak sejenak namun kemudian diam lagi tak bergeming.
Karin menyabarkan hatinya agar tidak melempar Aska kekuar dari balkon.
"Angin malam tidak baik untukmu Ka, kamu bisa sakit lagi nanti. Ayoo masuk ke dalam." Karin membuka suara.
Aska tetap diam tidak merespon apa yang di katakan Karin, tatapannya dingin dan kosong.
Karin sudah mulai merasa kesal dengan sikap Aska.
Dengan paksa, Karin menarik tangan Aska dan meletakkannya di pundaknya. di papahnya Aska untuk berdiri agar masuk ke dalam kamar.
Namun Aska dengan cepat melepaskan pegangan Karin, dan kembali duduk di kursinya.
"Kamu tidak usah repot-repot mengurusiku, dan tidak usah perduli denganku. Biar aku sakit atau mati sekalipun." ucap Aska dengan suara dingin.
Karin mengepalkan tangannya, menahan rasa marahnya dengan ucapan Aska yang sudah seperti anak kecil.
"Baiklah, kamu bisa mengurusi dirimu kan? dan kamu juga tidak perduli dengan kesehatanmu kan? atau kamu ingin mati dengan cepat? baik aku bantu biar kamu mati cepat!" teriak Karin. Karin mengambil selimut yang menyelimuti punggung Aska, dan membiarkan Aska di balkon sendirian.
Hati Aska semakin terluka dengan sikap Karin yang tega padanya. Membiarkannya kedinginan di luar.
Aska bertekad tak bergerak untuk masuk. walaupun nanti dia bisa mati karena kedinginan.
Tubuh Aska mulai gemetaran dan sekujur tubuhnya terasa membeku, seluruh kulit tubuhnya terasa dingin.
Karin yang di dalam kamar, hati nya mulai terusik, melihat keras kepalanya Aska yang tidak perduli dengan kesehatannya.
Karin melihat Aska yang tidak bergeming dari duduknya.
"Aaaaarrrrgggghhhhh!! apa aku harus yang mengalah lagi dengan sikap Aska yang manja ini?" Karin meremas tangannya.
"Asskaaaaaa! kamu sangat menjengkelkan!" umpat Karin.
Dengan hentakan kaki, Karin menghampiri Aska, tanpa bicara Karin membungkuk tepat di hadapan Aska, menarik tengkuk leher Aska dan melumat bibir Aska yang sudah dingin dan membiru.
Aliran darah Aska terhenti, ada kehangatan mengalir di seluruh tubuhnya yang tadinya terasa dingin dan membeku.
"Karin menciumnya! Karin telah menciumnya." sorak Aska dalam hati. Apakah ini berarti Karin perduli padanya, dan menerima perasaannya??