Part 7
Arti The Third Eye
Part sebelumnya :
"Itu urusanmu dan silahkan kau pecahkan sendiri Hanes. Lagi pula kau sudah berjanji kepadanya bukan?" ucap Lysa datar. Hantu cantik bermuka pucat ini masih memandangi langit tanpa bicara sepatah kata apapun.
***
Langit hari ini cukup cerah tidak terlalu panas ataupun terlalu dingin. Terlihat awan masih dengan tegarnya menutupi sinar matahari ke arah Bumi. Hanes sudah menyelesaikan tugas membersihkan rumahnya sebelum pergi ke sekolah. Ia sendiri tampaknya lupa dengan janjinya kepada sang nenek tempo hari, perihal liontin beberapa hari yang lalu. Dengan santainya Hanes seperti biasa pergi ke sekolah dan pergi menjemput Theo. Setelah menjemput Theo, agenda selanjutnya adalah langsung menuju sekolah yang terletak tidak jauh dari rumah Theo. Sepasang anak muda ini hanya mengobrol saja di jalanan yang cukup sepi.
"Hmm ... PR matematika sudah kau selesaikan, Nes?" tanya Theo.
"Oh yang dari Pak Joni kan? Sudah ... Yo! Kau sendiri bagaimana? Kalau belum ini bisa lihat punyaku," ujar Hanes.
"Haha aku belum selesai untuk nomor 5. Nanti aku lihat ya di kelas!" balas Theo pelan.
"Hehe ... apa yang tidak untuk teman karibku ini!" seru Hanes sembari tertawa.
Kedua anak ini tidak mengetahui sesuatu, jika di luar sana terdapat satu pasang mata yang mengawasi mereka dari bawah pohon Beringin. Sosok itu tidak mendekat ke arah Hanes ataupun Theo, ia hanya memperhatikan apa yang dua bocah ini lakukan.
Akhirnya mereka berdua sampai di sekolah dan segera masuk ke dalam kelas. Terlihat Raka sudah berada di tempat duduknya sembari menanggapi beberapa wanita yang ingin berkenalan dengannya, tampaknya mereka dari kelas lain pikir Hanes. Melihat Hanes yang baru saja sampai di kelas. Tiba-tiba saja Raka memanggil Hanes. "Oi ... Hanes! Bisa ke sini sebentar?" tanyanya sembari melambaikan tangan ke arah Hanes.
"Aku?" tangan Hanes menunjuk dirinya sendiri seolah tidak percaya dengan ekspresi seorang Raka tersebut.
"Iya ... kau! Memangnya siapa lagi yang bernama Hanes di kelas ini?" balas Raka sewot.
Hanes segera mendekat ke arah kerumunan para wanita yang berada di sekitar Raka. Kemudian, Raka pun berbicara, "Hanes ini temanku di sini. Aku ingin keluar terlebih dahulu dengannya. Nanti kita bicara lagi," ujar Raka datar.
Raka segera menarik tangan Hanes keluar dari dalam kelas. Theo hanya melongo melihat kejadian ini. Pikirnya sejak kapan makhluk populer itu kenal dengan Hanes?
Sesampainya di luar kelas, Raka mengajak Hanes untuk menuju kantin. Baru setelah tiba di kantin, ia membelikan sebuah minuman bersoda untuk Hanes. "Ini ambillah ... anggap saja ucapan terima kasihku atas bantuanmu menunjukkan ruang kepala sekolah dan membantuku lepas dari wanita-wanita alay tadi," ucap Raka sewot.
"Haha ... ternyata itu alasanmu mengajak aku ke tempat ini," balas Hanes.
"Ya kau pikir apa lagi?" jawab Raka datar.
"Sebenarnya aku punya banyak pertanyaan untukmu Raka," tutur Hanes pelan.
"Pertanyaan soal apa?" terlihat Raka penasaran dengan ucapan Hanes tersebut.
"Sebenarnya apa itu The Third Eye? Lalu sudah semenjak kapan kau dijaga oleh ular naga hitam yang menyeramkan tersebut?" balas Hanes cepat. Raka sempat terdiam sejenak dan kemudian berbicara.
"Hmm ... karena kau cukup baik denganku jawabanya adalah The Third Eye itu merupakan salah satu kemampuan dari anak Indigo yang memiliki penjaga. Masing-masing dari anak Indigo memiliki penjaga tersendiri. Walau terkadang, tidak setiap anak Indigo dapat melihat ataupun merasakan, apa yang menjaga mereka. Biasanya mereka memiliki firasat yang lebih kuat dan sensitifitas terhadap dunia gaib. Terutama bisa melihat dunia lain seperti sekarang ini. Aku tidak pernah menyangka menemukan anak yang memiliki The Third Eye juga disekitarku saat ini," terang Raka dengan antusias.
"Lalu apa yang kau lakukan dengan The Third Eye yang kau miliki saat ini?" tanya Hanes lebih spesifik lagi kepada Raka.
"Hmm ... aku terkadang membantu orang lain dengan kekuatanku. Terkadang aku bisa melihat kejadian apa yang akan terjadi di masa depan atau masa lalu. Walau aku juga tidak bisa mengendalikan kemampuan ini dengan maksimal," terlihat Raka meremat tangannya kuat-kuat.
"Mengendalikan kekuatan? Maksudmu kekuatan ini bisa dikendalikan?" tanya Hanes penasaran.
"Entahlah, tapi jika memang kemampuan anak Indigo dapat merubah Dunia dengan pola pikir yang maju. Aku pasti akan menjadi salah satu orang yang mendukung hal tersebut. Impianku sederhana saja, jangan sampai ada orang yang disakiti oleh kekuatan gaib lagi. Karena aku benci hal itu!" terlihat raut muka Raka berubah menjadi serius saat mengatakan hal tersebut.
Karena merasa arah obrolan ini sudah berubah ke arah yang buruk. Hanes pun tersenyum dan berkata sekali lagi kepada Raka, "Terima kasih atas nasihatmu Raka, setidaknya aku mengetahui sedikit tentang The Third Eye hari ini. Semoga kita menjadi orang yang lebih baik dari sekarang," ujar Hanes sembari tersenyum.
"Amin. Itu juga yang aku harapkan," balas Raka pelan. Tiba-tiba ular naga hitam milik, Raka muncul di hadapan mereka.
"Raka ... gurumu sebentar lagi akan masuk ke dalam kelas! Kenapa kalian berdua tidak masuk ke kelas sekarang juga?" ujar ular naga tersebut.
"Oh ... aku lupa memperkenalkan penjagaku kepadamu. Namanya naga Sri Gundini! Ia yang sudah menjagaku sedari kecil," terang Raka sembari berbisik kepada Hanes.
"Halo salam kenal," balas Hanes sembari berbisik.
Ular naga hitam yang bernama naga Sri Gundini itu hanya diam seribu bahasa. Menyadari bahwa guru kami akan segera masuk ke dalam kelas. Hanes dan Raka segera bergegas menuju ke tempat mereka semula. Setelah kelas usai, Hanes dan Theo langsung segera pulang. Karena hari pada saat itu mulai gelap, Theo sudah pulang ke rumahnya dan tinggal Hanes yang masih berjalan menuju ke rumahnya. Hujan turun dengan derasnya dan terpaksa Hanes segera menepi di depan sebuah toko, untuk berlindung dari derasnya hujan. Sekitar Hanes sangat sepi saat itu. Bahkan tidak terlihat satu orangpun yang berada di sana. Tiba-tiba saat derasnya hujan turun, datanglah sesosok nenek tua yang tempo hari menemui Hanes.
Terlihat sosok ini menembus hujan tanpa basah sekalipun. Benar-benar hal yang tidak masuk di nalar pikir Hanes saat itu. Kemudian sosok itu berbicara, "Kenapa kau belum juga menemui anak dan cucuku, Hanes?" tanyanya.
"Aku harus sekolah, Nek. Aku belum sempat untuk ke sana. Bisakah Nenek bersabar?" ujar Hanes pelan.
"Ini sudah hari ke 33 dari kematianku. Bisakah kau mempercepat semua itu?" ia bertanya kembali kepada Hanes.
"Bagaimana kalau setelah hujan ini reda Nenek tinggal menunjukkan di mana rumah dari anak dan cucu Nenek itu?" Tidak lama nenek ini mengangguk kepada Hanes. Sekitar 30 menit kemudian hujan akhirnya berhenti. Jam sudah menunjukkan pukul 18.00 WIB pada saat itu. Kini Hanes harus mengikuti sang nenek yang terbang melayang ke arah yang tidak Hanes ketahui. Sudah 30 menit rasanya Hanes mengikutinya dengan berjalan kaki. Sampai rasanya kaki ini mau copot pikir Hanes.
"Apakah rumah anakmu masih jauh, Nek?" terlihat Hanes mulai kecapaian sambil terengah-engah.
"Sebentar lagi ... itu rumah yang berwarna biru," terlihat sang nenek menunjuk ke sebuah rumah besar yang ada di ujung jalan.
Untunglah sebentar lagi sampai, pikir Hanes. Kali ini ia hanya harus berpikir tentang alasan apa yang akan ia berikan kepada anak dan cucu dari nenek ini. "Hmm ... Nek. Kalau boleh aku tahu. Nama Nenek ini siapa? Tidak mungkin aku masuk ke dalam dan tidak menyebutkan nama Nenek yang asli. Mana mungkin mereka percaya? Bisa-bisa aku dikira sebagai orang gila," terang Hanes.
"Namaku Rani, aku rasa mereka tidak akan menolakmu. Mereka adalah orang baik," ucap si Nenek.
Dengan membulatkan keberanian dan tekad, Hanes kemudian masuk ke dalam rumah sembari menekan tombol bel yang ada di depan rumah.
Tidak lama kemudian, sesosok anak kecil berumur sekitar 10 tahun keluar dari dalam rumah. Mukanya begitu imut dengan dua buah kepang di rambutnya. Ia segera bertanya kepada Hanes, "Kakak mencari siapa?" tanyanya datar.
"Apa orangtua adek ada?" tanya Hanes pelan.
"Oh Ibu dan Ayah ya? Tunggu sebentar ya, Kak!" terlihat anak ini segera pergi ke dalam dan memanggil kedua orangtuanya.
"Ibu ... Ayah!! Ini ada yang mencari Ibu dan Ayah di luar!" teriak anak ini ke arah dalam.
Kemudian keluarlah dua orang berumur sekitar 30 tahunan dan menyapa Hanes, "Ada yang bisa dibantu, Dik?" tanyanya kepada Hanes.
"Benar ini rumah Nenek Rani?" tanya Hanes kepada pemilik rumah.
"Dari mana kau kenal dengan Ibuku?" tanya pria muda tersebut.
"Panjang kalau diceritakan, Pak. Tapi ... saya ada pesan yang ingin dibicarakan kepada Ibu dan Bapak!" terang Hanes kepada mereka berdua.
Kedua orang ini saling berpandangan dan tidak lama kemudian berbicara kembali. "Baiklah, ayo masuk dahulu ke dalam biar lebih santai untuk bercerita."
Hanes segera masuk ke dalam rumah dan duduk di salah satu sofa di ruang tamu tersebut. Istri dari Bapak ini segera masuk ke dalam, tampaknya akan menyuguhkan air minum pikir Hanes. Karena sejujurnya Hanes memang kelelahan setelah berjalan jauh.
"Sebelumnya maaf, Adik ini siapanya Ibuku ya?" tanya Bapak ini kepada Hanes.
"Aku Hanes, Pak! Kebetulan aku sempat bertemu dengan Ibu Bapak," balas Hanes cepat.
"Sebelumnya nama saya Iwan, kapan kiranya adik ini bertemu dengan Ibuku?" tanyanya penasaran.
"Baru sekitar 3 hari yang lalu, Pak Iwan," balas Hanes cepat.
"Apa??? Ah adik ini jangan suka bercanda seperti itu!" balas Pak Iwan dengan nada setengah tidak percaya.
"Yang saya bicarakan benar, Pak!" sembari menoleh ke arah cucu sang Nenek Rani tadi. Terlihat sang Nenek, kini memeluk erat sang cucu dan kemudian tersenyum kepadaku. Tampaknya, ia begitu bahagia setelah kembali bertemu dengan cucunya seperti ini.
"Aku tahu kalau ini di luar nalar dan logika, Bapak. Tapi, jika tidak saya sampaikan kepada Pak Iwan sendiri, maka hidup saya tidak akan tenang. Saya sudah berjanji dengan mendiang Ibu Pak Iwan untuk menyampaikan ini kepada Bapak dan juga Adik kecil ini," ucap Hanes jujur.
"Memangnya apa isi pesan tersebut?" kali ini Pak Iwan terlihat semakin penasaran dengan apa yang Hanes bicarakan.
Bersambung