Chereads / Love Me Once Again For A Year / Chapter 6 - Lima Tahun Adalah Kebahagiaan, Lima Tahun Lagi Adalah Kesengsaraan

Chapter 6 - Lima Tahun Adalah Kebahagiaan, Lima Tahun Lagi Adalah Kesengsaraan

Mengenai asisten, aku mempunya dua pendapat di kepalaku. Aku ingin memberi tahu Donghae mengenai hal itu. Namun di sisi lain, ada penolakan saat teringat Donghae juga tidak pernah bercerita mengenai pekerjaan padaku.

Aku pun menarik napas dalam-dalam dan memutuskan satu hal. Aku meraih ponselku sekali lagi, lalu melirik jam yang menunjukkan pukul 18.06.

'Jika dia membalas pesanku hari ini, maka aku akan memberitahunya berita ini ...'

Namun, yang aku harapkan hanyalah sesuatu yang sia-sia. Donghae tidak menjawab hingga jam 9:30 malam.

Dengan kecewa, aku membereskan file-file-ku dan segera meninggalkan tempat ini.

Aku berpikir bahwa aku hanya seperti orang bodoh yang terus menunggu pesan darinya dan ini sudah biasa. Kapan pun ia sedang bekerja, ia selalu mengabaikanku dan memberikan alasan 'sedang sibuk' berulang kali.

Pekerjaan sepertinya lebih penting dari sekedar memberi kabar untukku.

Aku tidak pernah memintanya untuk membalas pesanku menggunakan sebuah penjelasan. Aku hanya butuh kata "ya" atau "tidak" darinya.

Aku juga tidak memintanya untuk membalas pesanku dengan cepat. Tak peduli waktu, aku akan selalu menunggu kabar darinya dalam waktu 24 jam.

Jika aku tertidur, maka aku akan bangun untuknya. Jika aku sibuk, maka aku akan meluangkan sedikit waktu di antara kesibukanku untuk membalas pesan darinya. Aku tidak peduli betapa sibuknya aku. Jika ia menanyakan mengenai bagaimana kabarku, aku akan selalu meluangkan waktu untuk menyampaikan kabar kepadanya.

Itu karena aku tahu bahwa diabaikan itu menyakitkan, dan aku tidak ingin ia merasakan apa yang aku rasakan, bahkan jika ia satu-satunya orang yang mengajariku mengenai arti rasa sakit.

Lelah? Aku cukup lelah dengan semua ini dan bertahan hanya karena aku mencintainya.

Setiap kali pikiran buruk itu muncul di kepalaku, aku akan mengalihkannya dengan mengingat kebersamaan kami di awal hubungan kami.

Lima tahun adalah waktu yang indah dalam hubungan kami. Tidak mudah melupakan semua hal di tahun-tahun itu. Terkadang aku bertanya kepada diri sendiri, 'apakah kau memikirkan hal yang sama denganku? Atau, apakah kau masih punya waktu untuk memikirkanku saat kau sibuk? '

Sejujurnya, aku ingin tahu bagaimana perasaannya selama tiga tahun ini, mengapa ia berubah secara bertahap? Mengapa ia tidak pulang berbulan-bulan berkali-kali? Aku bisa mentolerir jika ia tidak kembali selama seminggu; dua puluh hari; atau selama sebulan. Tapi, selama berbulan-bulan itu sudah keterlaluan.

Untungnya, kesabaranku seolah-olah tak terbatas, dan aku bisa tersenyum padanya saat ia kembali membawa racun di tubuhnya. Jadi, sekarang racun itu seperti mariyuana yang bisa membuatku tidak sadarkan diri dari rasa sakit.

Jika saja ia melakukannya sejak awal hubungan kami, maka aku bisa lari darinya dan berpura-pura tidak pernah mengenalnya atau tidak pernah menjalin hubungan dengannya. Tapi, sepuluh tahun adalah waktu yang cukup lama dalam hubungan antara dua pria. Terlalu sulit bagiku jika aku ingin melarikan diri darinya saat ini.

Selain terbiasa melukai perasaan, aku sudah menjadi orang bodoh dan tetap akan menjadi orang bodoh. Aku bertahan dari keegoisan dan sifat kekanak-kanakannya. Aku bahkan tidak mengeluh mengenai semua itu dan tetap diam untuk melawan kekeraskepalaannya.

Namun, ia tidak pernah mengerti mengapa aku melakukan semua ini untuknya.

Dulu, Lee Donghae adalah orang yang sensitif dalam hal baik. Namun, tahun-tahun indah dalam hubungan kami membuatnya berpuas diri dengan kebusukan duniawi.

Terkutuk!

Setidaknya, itulah yang ingin kukatakan padanya, tapi aku tidak bisa. Aku terlalu lemah untuk sekedar berdiri di hadapannya. Mungkin karena aku terbiasa terus mengalah padanya.

Memikirkan itu, semua membuatku tidak menyadari bahwa air mataku menetes di sudut mataku. Sangat menyakitkan.

Lima tahun adalah kebahagiaan, lima tahun lagi adalah kesengsaraan.

Tak lama kemudian, saat berada di bawah, sebuah taksi berhenti. Aku pun segera masuk, lalu meminta sopir taksi mengantarku ke alamat apartemenku.

Aku terdiam di sepanjang perjalanan, menatap malam di kota Seoul sambil menahan kesedihanku. Jarak antara rumah dengan perusahaan tidak terlalu jauh. Hanya butuh dua puluh menit untuk berjalan kaki dan sekitar sepuluh atau lima belas menit dengan taksi.

Namun, perasaan itu telah berubah total dari tahun-tahun sebelumnya. Sekarang, saat aku melakukan perjalanan melalui dua kota, rasanya waktu lebih lama dan membosankan.

Hingga beberapa saat kemudian, aku tiba di apartemen, dan hari sudah hampir tengah malam. Dengan lemas, aku membuka pintu dan segera masuk, lalu menuju kamar tidur yang hanya ada kegelapan dan keheningan di dalamnya. Melepas pakaianku, aku pergi ke kamar mandi dan mandi.

Setelah itu, dengan memakai piyama, aku berbaring di tempat tidur untuk mengistirahatkan tubuh dan pikiranku. Aku benar-benar telah lelah dengan dua hal itu.

Namun, saat aku membaringkan kepala di atas bantal dan memejamkan mata, suara ponsel yang bergetar keras membuatku segera membuka mata. Aku pun mengambil ponselku yang ada di atas meja dengan cepat, berharap itu adalah panggilan dari Donghae.

Namun, nyatanya, harapan itu masih sama seperti sebelumnya, berakhir dengan kekecewaan.

Itu bukan dia, melainkan panggilan dari nomor baru. Dahiku berkerut tanpa aku sadari. Merasa ragu sejenak, aku pun menjawab panggilan untuk mencari tahu pemilik nomor yang melakukan panggilan ini.

Segera setelah aku mengangkat telepon, suara berat yang familiar terdengar dari saluran yang berbeda, "Chunghee, di mana alamatmu? Aku ingin memberikan file-file ini."

Aku terdiam beberapa saat. Mendengar suara dari pria itu di telepon, aku dapat segera mengenali pemilik suara itu.

Ia adalah Kim Daehyun. Ia memang membuatku senang bertemu dengannya untuk pertama kali, tetapi tidak untuk saat ini. Sekarang, orang ini membuatku kesal; menggangguku ketika aku ingin tidur; dan memberiku pekerjaan baru saat aku butuh istirahat. Aku berkata, "Ini sudah tengah malam."

"Sesuatu yang penting dan mendesak tidak tau lihat jam asal kau tau saja."

Menghela napas dalam-dalam, aku pun memarahinya terlebih dahulu sebelum memberikan alamatku.

Setelah berbicara, aku pergi ke ruang tengah dan menyalakan televisi sambil merokok untuk menunggu Daehyun yang sedang dalam perjalanan ke tempatku, membawa file dari mantan asisten sebelumnya.

Aku sebenarnya tidak suka menonton saluran tersebut. Namun, karena merasa ruangan ini terlalu sepi, suara televisi menjadi pengisi keheningan.