Chereads / Fake Wedding (Revisi) / Chapter 1 - 회의 - Meeting

Fake Wedding (Revisi)

🇮🇩Army_VJ
  • 1
    Completed
  • --
    NOT RATINGS
  • 3.4k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - 회의 - Meeting

Sebelum baca jangan lupa Vote dan Comments ya ;)

*

*

Happy Reading!

*

*

Kutarik tangan ibuku yang terus saja menolak untuk memasuki toko foto ini. Sesekali aku merajuk agar beliau mau menuruti keinginanku.

"Kenapa kau memaksakan ibu untuk pergi ke toko foto ini" ucapnya tak mengerti.

Dengan manja dan sikap kekanak-kanakan aku berusaha menyakini ibuku. "Kan Sena sudah punya paspor yang dibuat dari sekolahan Sena dulu" ucapku sambil tersenyum manis kearah ibuku. "Dan sekarang.....Sena ingin, Eomma juga membuat paspor" imbuhku sambil memainkan jari-jari ibuku.

Ibuku mengerutkan keningnya, "untuk apa?" Tanyanya heran. "Lebih baik, uangmu itu kau simpan....untuk biaya pernikahanmu nanti bersama Junsu" jelas ibuku sambil menarik tanganku untuk menjauh dari toko foto ini.

Aku merengek seperti anak kecil. "Junsu itu anak orang kaya ibu...." Ucapku mengingatkan. "Dia tidak akan perlu uangku untuk pernikahan kami nanti.....lagi pula, aku menabung selama ini untuk membawa ibu jalan-jalan bersamaku" ucapku lagi dengan sikap manja.

Ibuku hanya mendesah pelan. Ya, wanita yang paling aku cintai dan hormati ini tak akan pernah mau menghabiskan uang hanya untuk kesenangan dirinya sendiri.

Tapi, bukankah kita harus menikmati hidup?. Karena hidup itu hanya satu kali dan tidak bisa diulang.

"Ayolah Eomma...." Rengekku yang tidak mempedulikan pandangan orang-orang yang melihat heran kepadaku.

Ibuku menatapku beberapa kali sambil berfikir. "Baiklah" ucapnya pasrah.

Sikap manja dan kekanak-kanakan yang kumiliki adalah senjata ampuh yang tidak bisa ibuku tolak. Aku begitu senang saat melihat ibuku yang saat ini sedang duduk di depan kamera foto yang sebentar lagi akan memotret gambarnya.

Dengan sebuah isyarat aku menyuruh ibuku untuk tersenyum lebar di depan kamera. Melihat ibuku yang terlihat canggung didepan kamera membuatku ingin tertawa karena wajah lucunya.

"1..2...3..cheese" ucap paman fotografer itu.

***

Mataku, masih saja sibuk melihat foto ibuku yang beberapa jam lalu sudah jadi. Ibuku sangat cantik digambar ini, sama seperti ketika ia masih muda dulu.

"Lihat Eomma...." Panggilku sekilas sambil mengerahkan foto ibuku ke depan dirinya. "Wajah Eomma begitu cantik" pujiku dengan senyum yang terus mengembang.

"Sudah.....simpanlah foto itu" ucapnya malu.

Akupun menurut.  Kusimpan foto itu kedalam dompetku lagi. "Besok....akan kuurus untuk pembuatan paspor Eomma"  ucapku sambil mengeratkan genggamanku pada ibuku.

Sesekali aku mendengar suara hembusan nafas ibuku yang terdengar begitu lelah. "Apa Eomma baik-baik saja?" Tanyaku khawatir.

Beliau hanya mengganguk sambil tersenyum tulus padaku. "Eomma begitu beruntung karena memilikimu sebagai putri Eomma" ucapnya tulus.

Aku yang mendengar ucapan tulus itu langsung berangsur memeluk ibuku erat di tengah jalanan yang sepi ini. Mengigat lingkungan rumah kami pada saat malam hari memang selalu sepi.

Aku menatap langit malam yang sangat cantik saat memeluk ibuku. "Meskipun Sena belum memiliki uang yang cukup untuk membawa Eomma pergi ke Jeju....tapi Sena janji, suatu hari nanti. Sena akan membawa Eomma untuk pergi kesana" ucapku yakin.

Ya, aku sadar bahwa mengumpulkan uang untuk biaya perjalanan itu sangat sulit. Meskipun begitu, setidaknya aku sudah bisa mengumpulkan separuh uangku dan kurasa tahun depan aku sudah bisa membawa ibuku untuk bersenang-senang.

Ibuku memukul pelan pundakku "Sejujurnya Eomma tidak membutuhkan itu....yang Eomma inginkan hanyalah kau tetap sehat dan ceria seperti sekarang...." Ucapnya sambil menatap wajahku gemas. "Karena itu semua, sudah bisa membuat ibu bahagia" ucapnya lagi sambil menepuk wajahku pelan.

***

Tapi kurasa semua rencana yang selama ini aku susun untuk mengukir kebahagian bagi ibuku. Hanya akan menjadi sebuah angan-angan yang tak akan pernah bisa kucapai.

Tubuhku seketika melemas dan terjatuh kelantai saat aku mendengar berita kematian ibuku yang secara tiba-tiba dari pihak rumah sakit.

Secepatnya aku berlari dari tempat kerjaku menuju ke rumah sakit dimana ibuku berada saat ini. Sepanjang perjalanan aku tidak bisa fokus. Hampir beberapa kali aku tertabrak oleh mobil yang lalu lalang di tempat pemberhentian bus ini.

Dengan sekuat tenaga aku berlari dari halte bus ini menuju kerumah sakit yang jaraknya sudah tidak jauh lagi. Mataku menatap sekeliling lobi rumah sakit yang tanpa begitu ramai dengan pengunjung maupun pasien.

Langkah kakiku terhenti tepat di depan resepsionis rumah sakit. Suara nafasku terdengar begitu teregah-engah.

"Ada yang bisa saya bantu?" Tanya perawat berbaju biru laut itu.

"Eomma..... Maksudku, pasien bernama Han Dan Be, beliau dimana?" Tanyaku tak karuan.

Setelah perawat itu memberitahukan informasi kepadaku, aku segera berlari menuju ketempat yang disebutkan. Sesampainya aku didepan kamar mayat, langkah kakiku terhenti seketika.

Air mataku mengalir begitu saja. Sungguh aku tidak bisa mempercayai semua ini. Ibuku tidak mungkin meninggal secepat ini kan?.

Masih banyak hal yang harus kami lakukan untuk membuat kenangan yang bahagia bersama guna menutupi semua kesedihan yang dulu menumpuk di hati kami.

"Eomma....."ucapku lirih, tanganku tidak sanggup untuk membuka kenop pintu ini.

Seorang perawat yang bertugas di kamar mayat ini menghampiriku dari kejauhan. "Apa anda putri dari Ny. Han yang baru saja meninggal 30 menit yang lalu?" Tanya perawat itu hati-hati.

Aku tidak bisa menjawab pertanyaan perawat ini. Karena aku sungguh tidak ingin mengakui kepedihan ini.

"Anda bisa masuk kedalam....dan melihat ibu anda untuk yang terakhir kalinya" ucap perawat itu iba sambil mendorong tubuhku masuk kedalam kamar mayat ini.

Kakiku begitu lemas, saat kulihat tubuh ibuku yang sudah terlihat kaku kini terbaring diatas ranjang rumah sakit dengan ditutupi kain putih.

Dengan langkah yang berat, aku mendekati ibuku. Isak tangisku makin menjadi-jadi saat kulihat dengan jelas ibuku telah membujur kaku dengan wajah pucatnya.

"Tidak mungkin.... Eomma....tidak akan pergi secepat inikan?" elakku tak percaya.

Kuguncang beberapa kali tubuh ibuku yang sudah kaku seperti batu. "Eomma....ayo bangun" pintaku dengan lirih "Eomma tidak boleh pergi secepat ini.....kita masih harus pergi ke Jeju dan membuat kenangan yang indah disana" ucapku tak jelas diiringi isak tangisku yang tiada hentinya.

Kupeluk tubuh ibuku erat untuk yang terakhir kali. Enggan rasanya bagiku untuk melepas ibuku pergi meninggalkanku.

Tapi, aku harus merelakannya pergi kan? Supaya ibuku tenang disana.

"Sena sayang Eomma" ucpaku lirih.

Kain putih yang sedari tadi menyelimuti tubuh ibuku. Kini perlahan ditarik sampai keatas wajahnya oleh perawat yang sejak tadi menemaniku disini.

"Saya akan melakukan dikremasi untuk ibu anda" ucapnya lalu mendorong ranjang rumah sakit itu meninggalkan kamar mayat ini.

Dengan tubuh yang masih lemas, aku mengikuti langkah kaki perawat yang ada di depanku saat ini menuju tempat perabuan rumah sakit yang letaknya berada di lorong ujung dari kamar mayat tadi.

"Eomma..." Ucapku lirih sambil menatap dari kaca bening yang menjadi batas dari ruang perabuan ini.

Kakiku lemas dan tubuhku terjatuh kelantai. Saat kulihat api dari ruang perabuan perlahan membakar habis peti kayu berwarna putih yang menjadi tempat peristirahatan terakhir ibuku.

Tangisku menggema diruangan yang sepi ini. Aku sangat butuh seseorang untuk menenangkan kesedihaku meskipin aku tahu bahwa itu tak akan pernah bisa menyembuhkan hatiku atas kepergian ibuku. Satu-satunya yang terlintas dibenakku adalah Junsu.

Kukeluarkan ponselku yang ada di dalam tas selempang lusuhku. Kucoba untuk menghubunginya tapi tidak bisa. Sekali lagi aku mencoba untuk menghubunginya, tapi hasilnya tetap sama ia tak mengangkat panggilan dariku.

Kutelungkupkan wajahku kedalam sela-sela tanganku yang saat ini sedang menggenggam erat kedua kakiku. Aku menangis sejadi jadinya sambil sesekali bergumam memanggil ibuku yang mungkin saja mendengarku saat ini.

***

Aku terduduk tepat di depan pelataran terakhir ibuku yang berhiaskan beberapa karangan bunga kesukaannya yang kubeli dengan uang sisa tabunganku yang telah aku gunakan untuk membayar semua keperluaan ibuku selama proses pemakamam ini.

Kutatap foto yang diambil untuk keperluan pembuatan paspor ibuku dengan sedih. Aku tak menyangkah jika foto itu kini digunakan untuk hari pemakamannya.

Aku begitu sedih dan sangat ingin sekali menangis tapi kurasa air mataku telah habis karena menangis semalaman kemarin.

Tidak ada seorangpun yang datang berkunjung untuk hari pemakaman ibuku. Baik itu dari kerabat ibuku maupun dari ayahku. Mereka semua beralasan sibuk.

Bahkan, teman satu kerjanya juga tak datang untuk memberikan penghormatan terakhir serta doanya kepada ibuku.

"Eomma tidak perlu sedih.....karena Sena akan selalu ada disisi Eomma" ucapku gemetar.

Dari kecil aku dan juga ibuku hidup dalam kekurangan yang tidak ada akhirnya setelah ayahku dengan tegah merenggut semua harta yang dimiliki oleh ibuku dan memilih untuk menikah dengan perempuan lain.

Tidak hanya sampai disitu, setelah mengetahui bahwa keluarga kami jatuh miskin semua kerabat ibu serta ayahku mulai menjauhi kami dan mengangap bahwa kami bukanlah bagian dari keluarga mereka lagi.

Jujur, itu membuat hatiku sakit dan menanam kebencian pada mereka semua. Karena itu aku tidak terlalu suka dengan orang kaya yang sombong. Tapi, ibuku selalu mengingatkan bahwa menanam kebencian akan membuatmu hancur.

Karena sebab itu, aku berusaha untuk acuh pada setiap cacian dan kesombongan mereka. Selagi aku memiliki ibuku dan Junsu disampingku aku akan baik-baik saja.

Saat itu aku sadar, bahwa ibuku adalah wanita kuat yang tidak pernah terusik dengan semua hal menyakitkan itu. Dan aku juga ingin menjadi sepertinya yang kuat dan begitu tegar menghadapi apapun.

Bicara soal Junsu, ia adalah pria  berbeda.  Ia menerimaku apa adanya meskipun perbedaan status sosial kami cukup jauh. Dan aku bersyukur karena itu.

Kedatangan seorang pria berjas berhasil membuyarkan  lamunanku.  Aku sempat bertanya-tanya siapa sosok pria ini dalam benakku. Karena dari perawakan pria ini.  Ia terlihat cukup berada.

Pria itu menatapku sekilas lalu dengan sopan menundukkan kepalanya kehadapanku. Lalu, ia beralih ke pelataran ibuku dan memberikan hormat sambil berdoa untuk ibuku.

Pria berusia sekitar 30 tahun itu menatapku dengan iba. "Saya, turut berduka cita atas kematian ibu anda dan ini...." Ucapnya, sambil mengeluarkan amplop coklat yang terlihat cukup tebal dari dalam saku jasnya.

Ia memberikan amplop itu dengan sopan kepadaku"ini adalah tunjangan yang diberikan oleh pimpinan kami atas kerja keras ibu anda" Imbuhnya lagi sopan.

Sebelum menerima uang itu, aku menatap penuh tanya kepada pria ini. Setidaknya ada sesuatu yang harus kutanyakan pada pria ini mengenai berita yang kudengar dari dokter yang menangani ibuku kemarin.

"Apa ibuku meninggal saat ia sedang bekerja?" Tanyaku penasaran.

Dokter yang menangani ibuku kemarin, mengatakan bahwa ibuku sepertinya terjatuh dari tempat yang tinggi sehingga membuatnya mengalami pendarahan otak dan meninggal tanpa bisa diselamatkan.

Benar-benar tidak masuk akal!. Karena dari itu, aku butuh sebuah penjelasan dan kurasa pria ini akan bisa menjelaskannya.

Pria itu terdiam, ia sama sekali tak berusaha untuk menjawab pertanyaan yang baru saja aku ajukan. "Saya harap anda bisa mengambil tunjangan in..." Ucapan pria itu terpotong saat aku dengan kasar menepis amplop coklat itu dari hadapanku.

Aku berdecak kesal sambil menahan amarah. "Aku tanya....apa benar ibuku meninggal saat ia sedang bekerja?"Tanyaku lagi dengan nada yang naik satu oktaf.

Aku tak peduli, bagaimana pria ini menatapku sekarang. Persetan jika ia ingin mengganggapku tidak punya sopan santun atau etika sekalipun. Karena yang aku butuhkan sekarang ada sebuah kebenaran, jika memang benar ibuku meninggal karena pekerjaannya.

Setidaknya pimpinan ditempatnya bekerja harus meminta maaf pada ibuku!. Meskipun ibu sudah meninggal aku yakin ia pasti masih bisa mendengarkan permintaan maaf darinya.

Lagi-lagi pria itu terdiam. Sudah dapat kupastikan bahwa semua pertayaanku tadi memang benar adanya. Kudorong tubuh pria itu menjauh dari tempat pemakaman ibuku.

"Pergi!, Dan bilang pada pimpinanmu yang tidak punya hati itu!. Bahwa ibuku tak akan pernah sudi menerima uang itu!" Ucapku ketus dengan raut wajah kesal.

"Dan satu hal lagi, sampaikan padanya jika uang bukanlah satu-satunya alat yang dapat menyelesaikan masalah, teruma untuk membayar kesedihan seseorang akibat ditinggal oleh orang yang ia cintai" imbuhku geram sambil menatap tajam pada pria itu yang sekarang sudah pergi meninggalkan tempat pemakaman ibuku.

***

Waktu berlalu begitu saja setelah pemakaman ibuku yang begitu sederhana. Tapi aku masih saja terduduk di kasur ini selama berhari-hari tanpa berniat melakukan apapun.

Pandanganku begitu kosong begitupun dengan pikiranku. Aku tidak peduli dengan rasa lapar serta haus yang menghantam diriku. Bahkan rasa demam yang tak berangsur sembuhpun kubiarkan begitu saja.

Hanya satu yang kuinginkan dan kupikirkan selama hari-hari terakhir ini. Aku sangat ingin Tuhan cepat mengambil nyawaku dan menyusul ibuku. Aku tak peduli, apakah nanti aku akan menjadi mayat yang membusuk di rumah ini tanpa ada satupun orang mengurus pemakamanku.

Aku yang sedari tadi mengabaikan suara dering ponselku yang tidak henti-hentinya berbunyi. Kini dengan begitu malas kutatap layar ponselku.

Sebuah pesan dari tempatku bekerja yang memintaku untuk datang sekarang juga guna melanjutkan pekerjaanku. Dengan tubuh yang begitu lemas, aku bangkit berdiri sambil mengambil jaket hitamku yang menggantung di kursi kayu didekat meja makan.

Pandanganku begitu samar sekali dan langkah kakiku begitu gontai. Aku berusaha sekuat tenaga untuk bisa sampai ketempat kerjaku.

Sesaat kakiku akan menaiki bus, pandanganku tertuju pada sosok pria yang saat ini sedang berada diseberang jalan ini sambil merangkul mesra seorang wanita.

"Junsu" Gumamku sambil menyakinkan pandanganku.

Mataku yang tadi terasa begitu berat untuk terbuka lebar. Secara otomatis melebar saat aku yakin bahwa pria itu benar-benar Junsu.

Tapa memikirkan kendaran yang sedang berlalu lalang di jalanan ini. Aku berusaha untuk mengejar Junsu dengan sekuat tenaga yang kumiliki.

Kutarik lengan jaket coklatnya sesaat aku sampai di belakang Junsu. Dengan ekspresi terkejut Junsu menatapku sambil melepaskan genggamannya dari wanita itu.

Mataku memerah menahan air mata. "Pria jahat!" Sinisku lalu kutampar wajah tampannya yang direspon ekspresi syok dari Junsu.

Setelahnya aku berlari tak tentu arah. Tangisku yang beberapa hari lalu tak bisa lagi mengalir. Kini mengalir dengan begitu deras seiring dengan guyuran hujan yang membasahi tubuhku.

Untuk apa lagi aku hidup, jika aku tidak memiliki siapapun disisiku untuk bersandar. Ada baiknya aku mengakhiri hidupku sekarang, sehingga rasa sakit yang terus saja menumpuk di dalam dadaku akan hilang.

Perlahan kulangkahkan kakiku untuk berdiri di jalan tol ini. Menunggu sampai ada sebuah mobil yang nantinya akan menabrak diriku.

Aku sudah begitu pasrah dan tidak sanggup lagi untuk melanjutkan hidup. Setidaknya jika aku meninggal rasa sakit itu akan pergi iya kan?.

Cahaya yang dipancarkan dari mobil disamping kiriku begitu menusuk kedalam rentina mataku. Yang lama kelamaan semakin terang.

Kupejamkan kedua mataku. "Biarkan rasa sakit ini pergi dariku" batinku lirih.

Suara klakson terdengar beberapa kali. Sang pengemudi yang ada didalam sana berusaha memberikan peringatan kepadaku untuk menyingkir dari jalan tol ini.

Tapi aku tidak mau, kakiku enggan pergi dari jalan tol ini. Aku tahu ini akan sangat menyakitkan jika nanti mobil itu menabrak tubuhku. Tapi setidaknya rasa sakit itu tak akan selamanya kurasakan.

'TIN-TIN-------TINNNNNN'

***

Kuperjapkan mataku beberapa kali seiring dengan rasa sakit yang begitu menyengat kepalaku. Pupil mataku mengamati sekeliling kamar yang sangat asing di mataku.

Sebuah kamar dengan ukuran yang sangat besar dengan interior kamar bergaya moderen. Dinding kamar ini didominasi dengan warna hitam dibanding putih. Setiap perabotan yang ada di kamar ini terlihat mewah dan bermerek.

Lemari dengan empat pintu mengisi dinding pojok kamar ini. Lalu sebuah rak berisikan beberapa buku terletak di samping lemari ini dengan televisi berukuran 42 inci yang melekat di atas rak tersebut.

Disampingnya lagi, terdapat sebuah rak setengah kosong yang juga telah terlebih dahulu terisi oleh beberapa buku disana. Lalu ada sebuah meja kerja yang terlihat sangat mewah dengan berbagai macam tumpukan berkas di sana.

'Aku dimana' batinku, sambil berusaha memperjelas pandanganku yang masih mengabur.

Selang beberapa detik kemudian. Pandanganku teralih pada sosok pria yang cukup tinggi. Pria itu menggunakan pakian berjas yang terlihat sangat mahal dan begitu cocok ditubuhnya.

Rambut pria itu berwarna hitam gelap dengan wajahnya tampannya yang disapu oleh cahaya nakal yang terpancarkan dari jendela kaca besar yang ia buka sedikit.

"Aku akan segera kesana, jadi pastikan jika Ny Qing dan Tuan Liu tidak pergi dari sana" ucap pria itu lalu ia mengakhiri panggilan.

Mataku membulat saat sosok pria itu perlahan berjalan mendekat kearahku. Lalu tersenyum begitu hangat dan manis kepadaku.

"Selamat pagi, Istriku" ucapnya diakhiri seulas senyum manis yang membuat bola mataku seakan ingin keluar dari tempatnya.

T.B.C