Jika hati tidak pernah terganggu rasa takut
Jika hati tak lagi akan terusik gelisah
Mengapa perlu lagi Takdir?
Memenuhi semua janji terakhir, menggenapkan semua urusan tersisa
Lalu ia akan menunggu sampai saatnya ia pergi
Ke yang Satu dan Semua, di luar kehidupan dan kematian
Suatu malam seminggu kemudian, Wander sedang berada di tengah gurun bersama Shishounya.
Malam di gurun selalu merupakan pengalaman yang hampir magis baginya. Itulah saat di mana bintang-bintang menampakkan dirinya begitu jelas di matanya. Kehitaman alam semesta dan lautan cahaya bak ratna mutu manikam dari bintang-bintang kontras sekali antara pasir berwarna keperakan dan bayangan hitam di atas pasir. Langit dan bumi bagaikan hanya terpisah setipis kertas. Begitu indahnya.
"Aku sudah memutuskan sesuatu. Aku sudah bilang ke Master dan sekarang aku ingin shishou juga mendengarnya."
"Hooo! Kedengarannya urusan besar sekali. Katakanlah."
"Aku sudah memutuskan. Aku ingin menjadi seorang pegawai pemerintah! Pejabat tinggi, setinggi yang aku bisa capai… Pertama-tama, aku harus mengikuti ujian, dan aku akan lulus dengan mengesankan. Jika demikian, aku akan diangkat sebagai pegawai percobaan di kantor daerah. Langkah awalku. Aku juga sudah menerima tawaran Master menjadi pewaris beliau."
"Ketika aku masih kecil, aku bercita-cita menjadi pengembara dan pengelana. Seorang Pengejar Mimpi. Tapi aku tahu kenapa sekarang. Hidup seorang Pengejar Mimpi begitu bebas, sehingga mereka terlihat begitu hebat, mulia, dan disanjung-sanjung. Mereka bisa berjalan bebas kemanapun bagaikan angin, melakukan apa yang mereka suka tanpa harus menunggu persetujuan orang lain. Ketika aku masih kecil, selalu sakit, menyedihkan dan lemah, seumur hidupku aku tidak pernah bepergian jauh dari rumahku. Tapi sekarang, aku sudah bisa bepergian jauh denganmu, melihat begitu banyak hal dan aku puas sekali. Kak Fyure sudah menjadi seorang saudagar, Kakak sudah masuk kemiliteran. Sekarang giliranku. Aku ingin membantu ayah, dan juga Kerajaan ini."
"Jika demikian keputusanmu, lakukanlah." Jie Bi Shinjin mengangguk-angguk menyetujui, "Mastermu pasti juga mendukungmu. Demikian juga dengan keputusanmu untuk menjadi pewarisnya. Kau telah membuatnya tenang."
Wander mengangguk. Air matanya perlahan-lahan meleleh di pipinya. "Aneh… Rasanya begitu lega setelah mengatakan ini semua, Shishou."
"Itu karena kau baru memutuskan hal yang paling penting bagimu. Kamu begitu mencintai keluargamu hingga mustahil rasanya berpisah dari mereka. Kau telah bertekad untuk tinggal dan melindungi mereka. Itu wajar. Dunia bagimu adalah keluargamu."
"Tapi setelah mengajarkan begitu banyak hal… Master… Shishou… Tidakkah kalian mengharapkanku menjadi Pengejar Mimpi?"
"Aku tidak punya harapan atau impian lagi. Aku hanya menari dan menikmati saat ini. Aku menikmati kau duduk menemaniku dan aku belajar sebanyak yang kuajarkan padamu. Bagiku semuanya sudah cukup."
"Tapi Master Kurt…"
"Pernahkan ia bilang bahwa ia mengharapkanmu mengikuti jejak kami?"
"Tidak… Tapi…"
"Ia memang dulunya seorang Pengejar Mimpi yang digdaya. Tapi lihat bagaimana ia begitu menikmati hidupnya sekarang. Pada akhirnya, yang menjadi rumahnya bukanlah kolong langit maupun bumi ini, tapi wisma dan taman miliknya. Apakah kau pikir Master mengajarimu supaya kau bisa membalas budi? Atau mengikuti teladannya? Tidak! Ia hanya memberi dan tidak pernah mengharapkan kembali. Ia merasa sudah diberikan begitu banyak ketika memberikan padamu. Kamu paham?"
Wander mengangguk sedikit, meski ia agak bingung.
"Mastermu mengajarkanmu mengenai Simpul Jiwa bukan?"
"Benar…."
"Mastermu telah menemukan kedamaiannya saat bersamamu. Kamu telah memberikan padanya sesuatu yang tidak pernah ia bisa dapatkan selama ini. Kamu mungkin belum menyadarinya sekarang, tapi suatu hari nanti, kamu akan memahaminya. Jangan berpikir terlalu berat soal hutang dan budi. Semua itu hanya akan membuat dahimu terlipat-lipat buruk. Lagipula, Mastermu lebih senang melihatmu jadi Tukang Kebun ketimbang Pengejar Mimpi… dan juga Pegawai Pemerintah. Tapi tidak masalah, ia punya ahli waris yang akan merawat tamannya. Jadi bagaimana mungkin ia tidak bahagia?"
Wander tersenyum mendengarnya. Betapa ucapan Shishounya begitu tepat ketika ia menceritakan ulang percakapan itu pada Kurt. Wander belum menyadari bahwa bagi Kurt, keberadaannya saja sudah cukup menjadikannya bahagia dan damai. Tapi Wander masih belum menyadari bahwa di dunia ini, tidak ada hal yang tidak penting atau sia-sia, apalagi kalau itu menyentuh ke dalam batin manusia.
*
"Shishou… percaya soal takdir?" Wander bertanya saat mereka berdua duduk mengagumi bintang-bintang di gurun pasir. Hanya ada api unggun, pasir, dan mereka berdua di tengah gurun itu.
Kepalanya menyentuh tasnya yang ia jadikan bantal.
"Pertanyaan yang begitu mendalam soal hidup dan begitu mendadak," Jie Bi Shinjin terkekeh.
"A… aku hanya sedang memikirkan masa depan. Memikirkan keputusanku… Aku pikir jangan-jangan bukan aku yang memutuskan segala sesuatu sama sekali. Mungkin aku hanya ditakdirkan untuk mengikuti jalan ini. Ketika aku berpikir begitu, aku juga pikir pertemuanku dengan Master dan Shishou. Master pernah mengatakan sesuatu soal takdir ini pula…."
Jie Bi Shinjin melihat api unggun dengan khusyuk, matanya berkilauan ditimpa cahaya api. Suaranya terdengar bagaikan bukan dari dunia ini, "Karena manusia tidak tahu apa yang akan mereka hadapi pada masa depan, mereka menjadi takut dan gelisah. 'Apa pilihan yang terbaik?' demikian mereka bertanya. 'Haruskah aku lakukan ini atau lakukan itu?' atau 'Haruskah aku hanya duduk dan pasrah?' Pertanyaan yang muncul dari kegelisahan dan rasa takut, mencambuk mereka terus bagaikan cambuk pedati atau budak."
Wander tertegun. Suara Shishou bagaikan menggema dari segala sisi dengan lembut. Ia jarang sekali mendengarnya bicara begini sebelumnya, maupun ekspresi wajahnya demikian tenang dan misterius. Matanya berkilat-kilat penuh pemahaman, namun juga begitu anggun dan lembut.
"Karena itu ada yang disebut Takdir. Jika orang mencapai sesuatu atau menderita sesuatu, mereka bilang itu sudah ditakdirkan. Dengan demikian hati mereka akan lega, bebas dari kesombongan atau rasa bersalah, dan mereka akan berjuang terus untuk menjadi lebih baik dengan rendah hati."
"Kalau begitu…"
"Aku akan memberikanmu dua jawaban umum soal Takdir ini. Keduanya mungkin benar mungkin salah. Bukan aku yang menentukan atau memutuskan soal ini, karena tidak ada jawaban yang pernah sempurna. Pertama, ada sesuatu yang disebut dengan Takdir ini. Takdir adalah pusaran dari keinginan manusia. Baik keinginan yang disadari maupun tidak. Roda nasib terus berputar selamanya, dibahan bakari oleh keinginan manusia. Karena hal ini orang bertemu dengan orang, berpisah, terluka, bahagia, disembuhkan, sakit, diselamatkan, dihancurkan; semua berada dalam pusaran ini, ditentukan oleh pilihan seseorang. Kamu bertindak sesuai dengan pilihan yang ada, dan segera sebuah jalan akan terbuka untukmu dalam labirin kehidupan ini. Singkatnya, pilihanmu akan menentukan takdirmu sampai saatnya pilihan berikutnya. Demikian begitu banyak pilihan dan tindakan membentuk kehidupan dan Takdir."
Wander mengangguk, demikian terpaku mendengarkan.
"Yang kedua adalah Takdir yang ditentukan sebelumnya. Satu dan lain hal, apa pun pilihanmu, kamu akan berakhir di suatu tempat yang khusus dalam lingkaran Takdir. Sebuah waktu, tempat, situasi, dan peranan yang hanya kamu seorang yang bisa mainkan. Ini akan menjadi momen paling istimewa sepanjang hidupmu, karena kamu akan dipaksa memberikan segenap tenaga dan jiwamu, atau bahkan kehilangan dirimu, untuk menemukan betapa kecil, takutnya diirmu, tapi juga secercah harapan. Kamu mungkin akan berhasil, tumbuh, ataupun gagal. Apa pun yang kau lakukan semua sudah ditakdirkan sebelumnya demikian juga hasilnya."
Hening sesaat. "Aku tidak suka yang kedua."
"Kamu bisa berkata demikian. Dahulu kamu sakit-sakitan dan begitu menderita saat kamu kecil. Kamu mungkin berpikir bahwa sudah ditakdirkan sebelumnya oleh Divara penderitaan demikian beratnya."
Wander menggelengkan kepalanya, "Bukan soal itu. Penyakitku telah memberikanku kekuatan untuk menanggung dan mengerti soal rasa sakit. Tanpa hal itu, aku tidak akan mengambil jalan ini. Jadi, aku agak bersyukur pada penyakitku. Aku hanya tidak suka ketika Shishou mengatakan bahwa hasilnya sudah ditentukan sebelumnya oleh Takdir. Aku lebih suka usaha dan perjuangan ketimbang menunggu sampai langit jatuh menimpa kepala kita."
"Kalau begitu kamu sudah pasti kategori nomor satu."
Wander tersenyum, "Aku pikir juga begitu. Bagaimana dengan Shishou?"
Jie Bi Shinjin tampak merenung sesaat. Wander baru mau bertanya ketika Jie Bi Shinjin sudah menjawab, "Itu sudah terbebas dari Takdir. Itu sudah tidak memiliki harapan atau impian. Itu tidak lagi menyokong bergeraknya roda dan cambuk kehidupan. Hanya sebuah daun yang mengambang mengikuti arus, sebelum akhirnya terurai dari lingkaran ini pada waktunya. Itu sudah menyatu dengan Satu dan Seluruhnya."
Wander sungguh kebingungan, "Maksudnya siapa yang sudah terbebas dari Takdir, Shishou?"
Jie Bi Shinjin menggelengkan kepalanya, tidak menyangkal maupun menjawab. Ia tersenyum, "Kamu masih terlalu muda untuk mengerti hal ini. Sekarang, lebih baik jika kamu berpikir soal masa depanmu. Lagipula, seperti yang orang bijak katakan: Tidak ada jawaban yang sempurna. Setiap orang harus menemukan jawaban mereka sendiri. Sekarang ayo kita tidur."
Wander merasa kelopak matanya makin lama makin berat. Kata-kata gurunya bagaikan sihir. Dalam hitungan detik, ia sudah tertidur pulas. Jie Bi Shinjin menatap wajah muridnya dengan penuh kasih sayang. Ia menatap bintang-bintang di langit dan bernyanyi dengan lembut.
Jika hati tidak pernah terganggu rasa takut
Jika hati tiada lagi tergetar oleh rasa gelisah
Mengapa perlu lagi Takdir?
Memenuhi semua janji terakhir, menggenapkan semua urusan tersisa
Lalu ia akan menunggu sampai saatnya ia pergi
Ke yang Satu dan Semua, di luar kehidupan dan kematian
Wander tidak mendengar lagu ini, tapi ia terus mengingat kata-kata Shishou malam itu. Ia tidak pernah melupakannya karena itu telah tertanam dalam batinnya.