Betapa sukacitanya!
Betapa ngerinya!
Betapa bumi terbelah dan langit runtuh!
Kala engkau mengenal dirimu
Dan terbebas dari cangkang anggapanmu.
Dua hari berlalu. Wander kini dinyatakan sudah cukup sehat untuk kembali untuk berlatih bersama Gurunya di taman. Tentu saja setelah seharian diceramahi semua orang di rumah itu agar tidak berlaku sembrono dan gila lagi.
"Jadi… Dengan semadi 'maut'mu, apa kamu menemukan jawabannya?" Kurt bertanya sambil terus menyindir muridnya. Mereka sedang membungkuk, berlumuran tanah dan pupuk, di depan petak bunga melati.
Dari nada suaranya, Wander tahu Gurunya masih kesal dan marah padanya. Ia sudah mendengar setidaknya seratus ceramah lebih sebelum dan sesudah insiden ini: 'Jangan bersemadi terlalu dalam. Kamu akan jatuh dalam kegelapan dan kekacauan, pikiranmu akan begitu terpukau hingga lupa akan dirimu. Kau bisa celaka. Ingat kita bermeditasi hanya untuk mengatur tenaga.'
Demikian kata-kata Gurunya terngiang di telinganya.
[Tapi aku menemukan jejaknya...]
Ia menjawab, "Selain lewat Dunia Denyut, jejak Khici tak kutemukan."
"Hmm? Apa itu Dunia Denyut?"
Wander terlihat agak malu ketika ia menjelaskan pengalamannya, "Ini hanyalah istilah bikinanku sendiri, Guru. Saat aku sedang asyik-asyiknya bermeditasi, mendadak aku terjatuh ke dalam 'dunia' yang dipenuhi dengan denyutan. Hanya ada gelombang dan sinar yang berdenyut di sana. Pada awalnya semuanya gelap kecuali pusatnya yang bercahaya, sampai mendadak aku… mendadak aku terserap dalam kegelapan itu, lalu melebur dengan bintang itu. Tidak ada lagi badan, hanya ada denyutan itu. Terbang ke sana kemari, menyatu atau memisah dengan denyutan lain dan berbagai sinar dan kerlip… Aku berdenyut tiada akhir, bagaikan kilat petir atau seperti mekarnya kembang api. Awalnya aku begitu takut tapi sesuatu seperti menyeret dan menempel padaku dan membuatku merasa nyaman. Sesuatu itu bersinar begitu indah. Mendadak aku tidak lagi merasa takut. Ke mana pun aku pergi, sesuatu itu selalu bersamaku. Ia memanduku tanpa suara dan menunjukkanku begitu banyak hal… Aku tak bisa menceritakannya dengan kata-kata, Guru. Lalu setelah beberapa lama aku bisa duduk diam di tengah Dunia Denyut itu dan hanya memperhatikan mereka, disertai oleh 'temanku' itu. Tapi selama di sana aku tidak bisa menemukan jawabannya meskipun sampai seluruh denyut berhenti dan dunia itu hampa…"
Gurunya tampak kehabisan kata-kata mendengar cerita muridnya. Tangannya sampai berhenti bekerja, "… Begitukah?"
Wander mengangguk. Matanya bagaikan pijaran api, terlihat bagai telaga yang dalam dan jernih. Sungguh berbeda ketimbang beberapa hari yang lalu. Bagaikan seseorang yang sudah melewati kawah maut dan sungai kehidupan yang deras dan kembali.
"Di sana sungguh indah dan tenang. Kesunyian yang agung, Guru. Tapi mendadak sinar lembut yang besertaku itu seolah berdenyut, memberi tahu bahwa aku tidak akan menemukan jawabanku di sini. Aku tidak tahu bagaimana aku bisa tahu tapi aku tahu. Aku lalu bertanya kenapa, dan sinar itu memberitahuku bahwa aku terlalu memikirkannya hingga terlalu terbebani. Aku harus lebih santai dan meninggalkan tempat ini dahulu. Aku menolak dan saat itu sinar itu seakan menamparku dan aku terbangun. Aku ingat setelah terbangun seluruh badanku terasa begitu lelah hingga aku tidur… Maaf Guru."
Gurunya hanya menatapnya. Wander masih berbicara selama beberapa lama, sampai mendadak ia terpaku. Ia menatap tangan Gurunya yang berhenti bekerja. Kemudian segala sesuatu terasa begitu melambat hingga namun jernih.
Lalu ia bisa 'mendengar'nya dengan sangat jelas.
[Tinggalkan cangkang…
Temukan jawabannya di luar…
Di luar... Lihat...
Santaikan... bersamaku...
sahabatmu yang terdekat...]
Ada sesuatu membuatnya tetap menatap tangan Gurunya itu. Ia lalu memejamkan matanya lalu mengalirlah Khici ke sekujur tubuhnya, dengan cara yang sama sekali berbeda, baru, menyegarkan. Aliran itu mengisinya sampai ke ujung-ujung rambutnya, pori-porinya, lalu masuk ke bola matanya.
Ia merasakan kehidupan dan alam kini menyatu, saling bernyanyi dan bergetar. Kini di matanya, ia melihatnya.
"Guru… Ada apa dengan jarimu? Kok tumbuh rambut putih… Bukan… rambut yang bersinar. Ada rambut yang bersinar… Eh? Bunga-bunga melati ini juga… Begitu ungu dan tajam warnanya"
Kurt melihat ke bunga melati. Mereka semua berwarna putih. Apakah muridnya baik-baik saja? Kurt segera mengamati Wander dengan seksama. Wander mendadak menggenggam sebungkah tanah segar, matanya menatap ke tanah itu seakan ia sedang memegangi benda paling menarik di dunia atau bertatahkan berlian. Mulutnya terbuka penuh karena kagum dan takjub, sebelum senyumnya mengembang perlahan. Air mata berjatuhan dari mata ke pipinya bagaikan sungai, ketika ia mengangguk. Ekspresi wajahnya menunjukkan sebuah pemahaman muncul dalam dirinya. Sebuah kegembiraan murni dari pengertian dan pengetahuan yang terbit bagai matahari.
Kurt menyadarinya saat itu juga, itu adalah momen inspirasi! Muridnya tengah mengalami sesuatu yang sangat mendalam!
Ia bertanya dengan suara berbisik, "A-apa yang kau lihat, Wuan?"
"Semuanya bersinar, Guru. Semuanya… Semua benda…"
Wander melihat serangga kecil dan mahluk renik yang merayap dari segumpal tanah di tangannya bagaikan titik-titik sinar aneka warna, begitu indah dan menawan, sementara tanah memancarkan warna keemasan yang anggun dan lembut.
Kurt paham mendadak, "Hentikan aliran Khici ke matamu, Wuan."
"Eh?" Wander tertegun. Ia menatap tanah itu, mendadak rasa takjubnya pupus saat segalanya kembali ke warna asli mereka, tanpa gemerlap dan kilau cahaya tadi. Wander terbengong-bengong selama beberapa menit, sebelum ia tampak mengerti. Mendadak matanya berkilau lagi.
"A-aku bisa lihat. Aku bisa melihat mereka! Mataku… Apa ini, Guru?" Wander melihat sekelilingnya dengan kagum, "Guru! Chimu, mereka bersinar merah bagai batu rubi… Batu rubi yang menyala-nyala. Indah sekali!"
Kurt melihat muridnya dengan penuh takjub dan kegembiraan.
[Diperlukan lusinan tahun latihan bagi kebanyakan Shubiim Riijena hanya untuk bisa mendeteksi Khici lawannya lewat mata. Belum tentu pula dapat melihat seberkas pun Khici Alam Raya… Tapi anak ini sudah melihat demikian banyak begitu alaminya. Inikah hasil dari semedinya? Atau hasil kebangkitannya dari keadaan hampir mati?]
"Itu disebut Rijil Khici, atau Mata Chi. Apa yang kau lihat adalah bentuk dari Chi milik orang lain yang terpancar."
"Tapi… Kenapa aku bisa melihatnya juga di tanaman? Semut? Bahkan Tanah… dan Langit di sana, Guru? Aku bisa melihatnya di mana-mana."
Gurunya tidak menjawab. Wander tidak melihat tampang takjub seakan tidak putus-putus dari wajah Gurunya.
Wander masih terpukau, menatap langit sore selama beberapa lama. Melihat ke puluhan pilar cahaya dan sinar yang mencakar ke langit dan berkumpul bagaikan angin putting beliung di mana-mana.
Mendadak, Wander tertawa begitu riang, "Aku tahu! Aku bisa lihat jawabannya. Aku tahu jawabannya Guru!"
Wander segera berlutut di depan Gurunya yang keheranan. Ia berkata dengan penuh semangat, "Yang menyelamatkanku dari dasar semadi adalah Khici-ku sendiri. Aku baru sadar… Selama ini Khici ini selalu bersamaku. Khici ini adalah kawan terdekatku. Khici inilah yang selalu mengawasiku dan memanduku. Di setiap mahluk hidup… Ada Khici yang menjaga kehidupan mereka, Khici yang sama yang terlihat di tanaman, mahluk, bahkan langit dan bumi. Khici itu adalah kehidupan itu sendiri. Khici itu hidup."
Kurt melihat Wander yang sekarang menangis sambil tertawa tergelak-gelak. Suaranya yang yakin menyebar ke mana-mana dipenuhi Chi lembut, terdengar jelas di empat penjuru.
Kurt berkata, "Jadi… Apa itu Khici, Wander Atale Oward?"
"Sahabat terdekatku dan separuh jiwaku!" Jawaban Wander meluap dari dasar hatinya, penuh keyakinan, dan kepuasan tak terkira.
"Baiklah kalau begitu. Itulah jawabanmu. Hiduplah dengan jawabanmu, karena itulah milikmu dan hanya milikmu," suara Kurt bergetar menyadari peristiwa penting ini.
Tapi pendekar tua itu cepat menguasai dirinya, "Kamu telah mendapatkan jawabannya. Tidak ada lagi yang bisa kuajarkan kepadamu soal Rijeen."
Wander membungkuk dan saat itu ia bersorak begitu keras dan kencang karena ia telah mendapatkan jawaban yang begitu diinginkannya.
Umari'l Al'Allian Waya – Cerita Tambahan Nirwajah
Ia mendengarkan angin. Sang bayu membawa kata-kata dan suara dari seluruh dunia. Termasuk salah satunya suara pemuda itu.
Langka senyuman muncul di wajah yang demikian tenang itu, "Begitu ya? Kalau begitu, itulah takdirmu."
"Apa yang kau omongkan, Tua Bangka?" Suara selembut angin di sisinya bertanya. Suara itu sedingin es dan penuh angkara kegelapan.
"Sobat muda, aku sedang membicarakan awal yang baru dan jelang akhir dari perjanjianku."