Chereads / Tanril: Telaga Api / Chapter 72 - Pertempuran di Wisma Kurt

Chapter 72 - Pertempuran di Wisma Kurt

Wander membisikkan rasa syukur tiada henti ke obat Udina yang manjur. Tapi ia tidak punya banyak waktu untuk merenung, karena gelombang bala bantuan akhirnya tiba. Gelombang yang terhenti dengan kaget saat melihat para pemimpin dan rekan mereka yang berjatuhan.

Tangan Wander mengeluarkan percikan listrik lagi.

Ia berjalan ke arah kerumunan itu… dan mereka membuka jalan untuknya saking takutnya! Wander berjalan melewati mereka bagaikan pisau panas menembus mentega.

"Perbekalan dan tasku," Wander berpikir, sambil melancarkan beberapa pukulan berlistrik ke beberapa orang nekat yang mencoba membokongnya.

Lima detik kemudian, ia sudah melompat dari atap ke atap ke arah Timur. Jalanan di bawahnya sudah mulai ramai diisi para prajurit. Mereka semua berteriak kaget dan marah melihatnya.

Wander lalu mendarat dan menumbangkan selusin tentara ketika ia berhasil mendapatkan kembali perbekalannya di sebuah rumah kosong dekat Distrik Timur, lalu tasnya di rumah lainnya. Tas itu berisi Kotak Hitam milik Master. Ia menyembunyikannya di sana karena takut Kucing Tua bisa menyusup ke rumahnya lagi saat ia berlaga di Gerbang Barat.

Setelah mengamankan barang-barangnya, Wander menyampirkan tas itu di punggungnya, sebelum ia bergerak ke Rumah Gurunya.

Toto sedang mengawasi langsung penggerebekan sistematis dalam kompleks rumah Kurt. Setidaknya ada 600 tentara di dalam dan seribu lainnya di luar. Kurang lebih ada seratus orang di dalam rumah besar sedangkan sisanya di taman.

Mereka sudah mengaduk-aduk isi rumah selama setengah jam, tanpa hasil yang jelas. Toto tampak tidak sabar dan menyuruh serombongan prajurit lain membantu.

Di saat yang itulah, ia mendengar suara tambur dan sangkakala! Dua detik kemudian, seorang pengawal menjerit dan tiga lainnya berlari ke arahnya dengan panik.

"Ia datang!" Toto berkata ke sepasang pengawalnya.

Kedua pengawal itu direkrut langsung oleh Sulran. Mereka adalah ahli bela diri setingkat Devaca dari Zirconia yang dikenal dengan julukan Jenius Sinis Kiri dan Kritikus Terampil Kanan. Keduanya telah berusia setengah baya. Yang Jenius tinggi dan gemuk, selalu membawa kipas besar dan sebuah kendi arak, sedangkan Kritikus cebol dan sangat kurus, memegang sebuah pena besi yang bahkan lebih tinggi dari badannya. Yang gemuk tampak ceria dan makmur, ekspresinya seperti orang yang sedang menikmati hiburan atau hidangan lezat. Senyumnya dermawan dengan kumis tebalnya yang bergerak-gerak lucu, ketimbang wajah muram, penuh keluhan dan mimik muram durja si cebol seakan ia baru mencicipi cuka paling basi dan asam di dunia.

Tidak seorangpun dari pandangan pertama tahu bahwa sebenarnya mereka adalah saudara kembar. Penampilan dan sifat mereka begitu berlawanan, kecuali minat mereka yang sama dalam hal: barang-barang seni dan berkelahi.

Si Jenius menyampirkan senyum ketika melihat sebuah bayangan mendarat dengan gesit, melampaui kejaran para prajurit. Dengan satu gerakan cepat, dua prajurit telah tumbang, bahkan tombak mereka direbut.

"Ilmu silat bagus!" Ia memuji.

Kritikus malah mendongkol, "Pah! Cuma mainan buat menakuti anak kecil. Itu karena perbedaan kemampuannya terlalu jauh."

"Tapi tidakkah kamu pikir meski perbedaannya itu, pemuda ini lihai sekali?"

"Adik, tidak ada gunanya memuji orang muda. Hanya menguasai beberapa jurus saja mereka sudah langsung sombong."

"Tapi Kakak, yang ini begitu berani. Ia tidak takut melawan begitu banyak prajurit. Tentunya ia pahlawan di antara pahlawan."

"Kamu salah besar. Yang kulihat hanyalah pemuda kasar bodoh yang bunuh diri, mengejar entah khayalan atau mimpi kosongnya."

Selagi mereka menukar pujian dan cercaan, Toto memperhatikan Wander sedapat-dapatnya. Betapa menarik dan aneh, bagaimana mungkin hanya satu orang bisa mempertahankan kota kosong ini. Lebih gila lagi, tanpa membunuh seorangpun.

Pemuda itu telah berhenti merangsek, karena para prajurit telah lintang pukang di sekitarnya, hanya berani mengepungnya dari jarak yang aman. Rasa takut dan ketidakberdayaan terlihat di paras para prajurit.

"Persetan apakah ia punya kekuatan malaikat atau iblis! Ia hanya seorang anak ingusan!" Toto ingin menjerit demikian, tapi sifat kalemnya untungnya lebih mendominasi.

Ia berkata pada pengawalnya, "Ingat lukisan karya Unzan yang telah kujanjikan…"

Kata-katanya bekerja bagaikan sihir. Kedua saudara itu segera berhenti berdebat. Mata mereka berkilau-kilau seperti anak kecil menantikan hadiah gula-gula.

"Kalau begitu apa perintahmu?"

Ia menunjuk ke arah Wander, "Bunuh dia."

Wander berhenti saat ia melihat pemandangan yang mengerikan itu. Taman yang gurunya telah rawat dan pelihara begitu indah, curahan jiwa mereka, telah tergali, tercabik, dan terberai. Bunga dan pokoknya tercabut dan terinjak hancur. Semua yang tumbuh entah dibacok atau dijungkirkan. Ranting-ranting, bunga-bunga, bahkan dedaunan tersebar ke seluruh permukaan taman. Tapak-tapak kaki menggurat-gurat permadani rumput, bahkan di kejauhan ia melihat api menyala di hutan kecil gurunya.

Ia mendengar bunyi kaca pecah dan keributan dari dalam wisma, dan hatinya mendidih. Ia membungkuk dan memungut sekuntum bunga melati yang terinjak.

Bahkan ketika ia membungkuk sekalipun para prajurit bagaikan tersentak! Ujung-ujung tombak mereka beradu dengan tetangganya, gemetar dan gugup. Wander mengacuhkan mereka. Kelopak bunga itu gugur ketika ia menyentuhnya.

"Kalian sedang berada di tanah milik Raja! Hentikan kegilaan ini dan cepat angkat kaki," desisnya.

Ia mendengar jawabannya dari seorang pria berpakaian Jendral, rambutnya merah dan wajahnya pucat bagaikan tidak berdarah sama sekali, "Lucu sekali kau bilang begitu, pemberontak. Raja Telentium yang baru memerintahkan rumahnya ini dibakar sampai rata dengan tanah."

Mata Wander memancarkan niat membunuh. Bahkan Toto sekalipun berjengit melihatnya. Tapi sebuah tepukan di pundaknya menjamin ketenangannya.

Wander berkata dengan nyalang, "Kotak itu tidak di sini."

"Ya, aku bisa tebak. Tapi tidak ada salahnya memastikan. Perintah Raja."

"'Raja'mu itu belum dimahkotai!"

Bahkan wajah tanpa ekspresi Toto dibuat tersenyum, "Betapa mengagumkannya kesetiaanmu pada Pangeran Pemberontak. Dengarkan aku, Wander Oward. Pangeran Pertama adalah Raja, dan beliau akan selalu menjadi Raja. Sebaiknya kau segera pakai otakmu dan menyerahkan diri. Guruku tertarik dengan keahlianmu…"

"Hentikan merusak rumah ini dan kita akan bicara! SEKARANG!"

"Aku hanya akan stop jika kau menunjukkan padaku bukti bahwa Kotak itu tidak tersembunyi di antara dedaunan setan ini, pemberontak! Sadari bahwa kau bisa memiliki rumah macam apa pun yang kau inginkan, kebun macam apa pun… asalkan kau mau bergabung dengan kami."

Wander tidak mengeluarkan kotak itu. "AKU TIDAK MAU KEBUN APA PUN ATAU TAWARAN KOTORMU! KELUAR DARI WISMA!"

Toto mendengus. Ia jelas sebenarnya juga tidak mau Wander bergabung dengan mereka, kecuali kalau ia bisa mengendalikannya, "Basa basi selesai. Entah dalam baju atau tasnya. Ambil Kotak itu! Kekayaan seumur hidup dan jabatan tinggi bagi siapapun yang bisa merebut Kotak itu!"

Rambut Toto mendadak terbuai oleh serangkum angin kencang penuh ancaman dari tempat

Wander berdiri. Toto menghindar sebat, ia juga bukannya lemah.

"Ah… Hawa tenaga yang begitu indah, Kakanda," Si Jenius Kiri menyahut.

Kritikus terdiam sesaat sebelum berkomentar, "Tidak semua yang berkilauan itu emas. Kentutku juga bisa membuat batu berpindah, kenapa aku harus terkesan dengan angin kecil begini?"

"Betapa kasar kata-katamu. Aku baru saja mau berkomentar betapa panasnya udara di sini…" Si Jenius mendadak membuka kipasnya dan mengibaskannya ke arah Wander. Serangkum angin menghantam begitu kencang dan kuat, tapi Wander tidak bergeming, meski sedikit kaget.

"Aiyo! Betapa bandelnya! Paku yang terlalu menonjol harus dipentok amblas, kata orang-orang bijak," Si Jenius tersenyum sinis melihat kegagalan usahanya.

"Akur!" Kritikus menimpali.

Mereka mendekati Wander sambil berjalan santai, sambil masih bertengkar dan mengadu pendapat satu sama lain, tapi hawa tenaga mereka begitu mengancam dan menyatu aneh. Wander mendadak teringat betapa miripnya gelombang energi mereka dengan hawa pembunuh Masternya.

Tepat seperti dugaannya, mendadak keduanya melompat ke arahnya! Berlawanan dari penampilannya, malah Kritikus yang melesat bagaikan komet, sedangkan Jenius yang agak tambun melayang perlahan seperti kapas yang terbawa angin!