Chereads / Tanril: Telaga Api / Chapter 44 - Kisah Urand - Api dan Es Kebencian

Chapter 44 - Kisah Urand - Api dan Es Kebencian

Tajam bagaikan bilah, dingin bagaikan es

Penuh perhitungan dan pertimbangan

Tak tertembus, dingin, bagai gunung salju

Membara dan menghanguskan sekitarnya

Bagaikan deru api neraka, tak kenal henti mencakar langit

Tak pernah mengenal kata puas apalagi sejuknya kasih sayang

Cawan rengkah yang tak kunjung terisi

[Larut malam, hari kemangkatan Pangeran Kedua]

"Kau masih meragukan Pangeran ini, Kazan?" Pangeran Pertama Kerajaan Telentium, Vergan Huril Urand menyergah penuh kebengisan.

Pertemuan masih berlangsung. Sudah jadi tradisi bahwa jika engkau bekerja dengannya, sampai ia menyuruh pulang, barulah bawahannya boleh undur. Itu salah satu peraturan yang selalu ia junjung.

Tangannya menyeka tumpukan dokumen di meja kerjanya. Ia hafal isinya tapi menyentuh tulisan dan informasi itu menenangkannya, seolah itu adalah batu karang yang kokoh di antara badai yang sebentar lagi mengoyak-ngoyak kedamaian negeri ini.

[Kaum loyalis Jendral Jan yaitu lima keluarga bangsawan di Ibukota sudah digulingkan. Harta dan aset keluarganya disita ke dalam perbendaharaan kerajaan.

Seluruh pos perbatasan dan pemeriksaan, kandang merpati di wilayah Barat sudah dikawal ketat. Tidak ada berita yang bisa keluar atau masuk, kecuali berita yang ingin ia sebarkan.

Perangkap maut sudah siap menanti keponakannya dan adiknya di ibukota ini.]

"Tentu tidak, Tuanku," mata Perdana Menteri separuh baya itu berkedip-kedip lelah, penuh kecemasan, ketakutan. Rambut gurunya sejak kecil ini sudah mulai memutih, apalagi sejak rencana ini mulai digulirkan dua tahun silam.

Apalagi malam ini, setelah semua operasi penyambutan Pangeran Kedua berhasil dilaksanakan, pelucutan pasukannya, penyegelan seisi istana dari unsur-unsur yang dapat mengganggu rencana 'Sangkar Emas' ini, lalu pertemuan dalam sunyi di mana ia mengamati junjungannya membaca dalam diam, sesekali mengomentari dokumen selama berjam-jam.

Tak tahan menunggu, pertanyaannya tadi memecah keheningan, mewakili segala keresahannya yang membuncah selama dua minggu terakhir ini.

"Hanya saja kau tidak sempat melihat Surat Wasiat itu bukan? Kau masih meragukanku. Tak masalah. Tinggal buat saja yang baru. Kau adalah Perdana Menteriku, mudah sekali melakukannya."

"Tapi...!"

"Yang lama sudah kubakar. Isinya tidak menyenangkan hatiku. Ia memintaku menjadi Raja tapi adikku memperoleh wilayah di Timur. Kalau ada perselisihan, kami akan merujuk ke nasihat Pamanda Kedua. Tidak bisa diterima."

Kazan berpeluh dingin. Ia kini tahu makna peribahasa menunggangi macan atau singa. Begitu engkau menunggangi mereka, antara engkau sampai ke tujuan, atau mati disergapnya kala hendak turun.

"Tidak ada negosiasi. Seluruh Telentium adalah milikku. Barat, Utara, Timur, apalagi Selatan! Semua adalah hakku!"

Tangannya kembali menyapu laporan rahasia terbaru dari mata-mata.

[Kurt Manjare terlihat di Utara. Ia mungkin bertemu Pangeran Kedua sebelumnya. Jejaknya terlihat di Ibukota.]

Ia tersenyum dingin.

[Untung ia telah mengasingkan ibunya, kalau tidak...]

"Tapi bagaimana dengan Pangeran Kedua?"

"Ia akan berubah pendirian. Kala Jilline dan Erriel tiba, ia akan berubah pikiran."

[Jilline disekap, Erriel akan ia peristri. Taran Reiro akan ia kuasai. Pasukan Sulran telah bergerak menuju perbatasan. Gerbong dan kereta perbekalan telah dipersiapkan.]

Ini adalah keindahan dari rencana Sulran. Mengantisipasi yang terburuk, tetapi yang terburuk justru adalah yang ia dambakan.

"Kazan, kamu tahu Pilar Merah?"

Kazan cepat-cepat mengangguk. Ini adalah retorika. Jelas sekali ia tahu, dan separuh menyesal ia mengetahui, lebih menyesal lagi ia mengajarkannya kepada Pangeran ini sejak belia. Sejak saat itu, Pangeran ini tidak pernah sama lagi, ataukah sesungguhnya Vergan sedari dulu adalah demikian? Hanya saja, ia tidak pernah menunjukkannya?

Pilar Merah adalah konsep para sejarawan dari cabang ekstrem Kuil Divara yang mengatakan bahwa manakala sesosok raja yang hebat muncul di Telentium senantiasa didahului kemelut dan perang besar. Mulai dari pendiriannya, hingga Raja Janeek yang harus berperang menghadapi serbuan Suku Selatan dan Kerajaan Mauro. Mereka meyakini bahwa Pilar Merah berupa korban jiwa dalam peperangan ini, musuh yang dikalahkan, perang yang dimenangkan, adalah landasan kukuh bagi Telentium selama puluhan tahun ke depan. Pilar Merah inilah pengorbanan tertinggi yang direstui Divara.

Kazan bergidik.

"Aku berdoa sebenarnya kepada Divara, agar aku bisa menunjukkan dan mempersembahkan kejujuranku dan kecerdikanku. Sebagai imbalannya, jadikanlah aku raja teragung dalam sejarah Telentium. Untuk itu, aku tak segan mempersembahkan Pilar Merah. Tapi tak ayal, engkau dan Sulran memuluskan jalanku menuju takhta tanpa harus mengorbankan puluhan ribu orang. Hahaha. Terlalu mulus dan mudah, Terima kasih."

Nadanya saat mengucapkan kalimat terakhir jelas menunjukkan ketidaksukaan. Seolah meludahi rencana itu dengan stempel: 'kepengecutan'.

Kazan menjura, "Itu demi kebaikan Telentium, Tuanku."

Jika segalanya lancar, Pangeran Ketiga akan dapat mereka amankan. Saat itu, legitimasi ada di tangan mereka, tidak perlu pecah perang saudara seperti yang ia cemaskan. Ia tinggal cukup membinasakan kelompok-kelompok pemberontak, terutama dari golongan militer atau faksi Pangeran Ketiga. Mengerikannya, saat ia menyampaikan rencana ini, wajah junjungannya tampak sangat kecewa. Teringat itu, bulu kuduknya bergidik, ketiaknya basah oleh keringat.

Terdengar suara lonceng bertalu-talu, diikuti lengkingan penuh duka yang bergetar dan merambat di keheningan malam, meriak ke Ibukota nan sunyi.

"PANGERAN KEDUA TELAH MENINGGAL! PANGERAN KEDUA TELAH MENINGGAL!"

Kazan terperangah, "P-penyusup! R-rencana kita..."

Tapi ia lebih terperanjat melihat ekspresi Pangeran Pertama yang tersenyum lebar, lalu pecahlah gelak tawanya penuh kegembiraan.

"Divara mengabulkan doaku, Ia menginginkan Pilar Merah! Akan kubasuh takhta kotor ini dengan darah dan nyawa para pengkhianat! Dari bara dan kemelut, negeri ini akan tegak berdiri dan jaya kembali, lebih kuat, lebih dahsyat!"

Kazan saat itu mengetahui bahwa ia bukan tengah menunggangi singa atau macan. Ia telah ada dalam telapak tangan sesosok setan es yang kini menyala menjadi iblis api.

*

[Kala hasil pertempuran Tensh'a Ibril tiba di Istana]

Api unggun yang menyala buas di matanya, maupun gelora api di hadapannya, tidak sebanding dengan rasa panas kemurkaan dalam hatinya. Murka, setengah gila, ia meraih benda-benda terkutuk itu dan melemparkan mereka ke dalam api dengan penuh rasa jijik. Kemilau tujuh warna yang berkelap-kelip dari dalam api tampak seperti roh-roh setan dan iblis baginya, berusaha melarikan diri dari bara api itu. Ia semakin yakin bahwa lukisan-lukisan tenun itu memang karya iblis dan setan. Penuh kutukan dan kesesatan!

Sudah terlalu lama ayahnya tergila-gila, dipengaruhi kaum barbar, sesat, dan dipenuhi sihir jahat itu! Sekarang ayahnya yang tolol telah mati, ia bisa menegakkan kembali hukum yang seharusnya sudah bisa ia selesaikan bertahun-tahun yang lalu! Pemusnahan total seluruh Suku Selatan dari wilayah Kerajaannya. Tidak satupun bakal ia biarkan hidup di atas Bumi ini!

Ayahnya begitu bodoh! Ia punya kesempatan untuk menghancurkan semua pemuja iblis dan orang-orang liar dan sesat itu, tapi ia malah membatalkan seluruh rencananya, mengampuni mereka, dan malah terpikat tenunan setan penyihir jahanam itu! Tenunan kotor yang memerangkap jiwanya!

Ia melemparkan tenunan lainnya ke dalam api! Ia merasa begitu marah dan mual dengan kekotoran di sekitarnya! Terlalu banyak iblis-iblis di ruangan Suci ini yang seharusnya hanya cocok untuk seorang Raja Agung! Penguasa Sejati dari tanah terkaya di dunia ini!

Lukisan terakhir yang direnggutnya, menggambarkan sebuah pohon emas, tampak begitu menawan. Ia menggigit bibirnya dan terbahak-bahak, "Inikah keindahan yang bisa melunakkan hati orang tua itu? Ketahuilah wahai setan jahanam aku tidak seperti ia! Aku tidak akan terperangkap ular beludak seperti kalian!" dan ia melemparkan lukisan itu ke api, menyumpah-nyumpah penuh kemenangan.

"Aku beda! Sekarang akulah Raja!" Ia berteriak keras-keras ke bara api itu. Lalu ia seakan teringat sesuatu, berjengit dan cepat-cepat melepaskan sarung tangannya dan membuangnya ke dalam api dengan jijik!

Ia tidak menyadari bahwa ia sedang terengah-engah dan berkeringat deras, tapi ia merasa tidak pernah lebih waras, lebih sehat, lebih kuat! Ia akhirnya merasa dirinya bersih, puas, dan berkuasa! Ia telah membersihkan kekotoran dan kesesatan! Ia telah melakukan hal yang benar!

Ya! Ia adalah Pangeran Pertama! Putra Mahkota dan Penguasa Kerajaan ini! Ia adalah pemilik Takhta! Kenapa perlu Wasiat dari orang yang goblok dan mati, di mana ia harus membagi Kerajaannya dengan anak seorang Selir jahanam? Ia tahu bahwa saudara tirinya itu bersekutu dengan suku-suku setan itu di kotanya dan melawannya!

Ibunya terlalu lemah, tidak berpendirian! Ia selalu menentang semua tindakannya menghukum pengkhianat kotor itu! Ibunya hanya bisa membisikkan rasa cemburunya akan selir lainnya dalam kegelapan dan bayangan malam yang dingin. Ia mengutuk dan berbisik akan hal sama yang ia rasakan, tak pernah betul-betul dicintai dan dihargai raja sepenuh hati! Mungkin udara dingin Istana Musim Dingin akan menyadarkannya…. Tidak! Ia tidak membutuhkan nasihatnya lagi! Biarkan Ibundanya tinggal di sana sampai ia bisa memperlihatkan kepala terpenggal saudara tirinya itu.

Api unggun di hadapannya berderak-derak, seakan tercambuk atau malah tertawa. Tujuh warna kemilau dari apa gambaran pohon emas itu akhirnya padam. Akan tetapi api tetap menyala, makin marah, makin besar, menarikan lidah-lidahnya bagaikan sedang membisikkannya hal-hal yang menantinya dan janji-janji yang akan terwujud jika ia terus berjuang sampai menjadi yang terkuat.

Tidak ada gunanya menangisi susu yang telah menjadi mentega. Ia sudah tahu penjahat di balik semua ini! Asal-usul semua ini! Kurt. Kurt Bodan Manjare! Ia tahu bahwa ia ada di Ibukota! Bahkan menyelinap ke Istana! Pengkhianat bangsat itu!

Ia pasti telah bertemu Pangeran Kedua! Ia pasti telah menyembunyikan surat rahasia itu! Rahasia-rahasia gelap dan bohong yang Ibunya tidak sengaja bocorkan, tapi beliau tidak sadar bahwa ia mendengarkannya! Beraninya mereka mengarang kebohongan dan kekejian itu?!

Darahnya mendidih. Ia berbisik, "Di mana? Di mana surat itu… Di mana surat itu sekarang…?"

Ia teringat informasi itu. Kazan telah memberitahukannya bahwa Kurt tinggal di sana—dalam wisma milik mendiang Raja selama ini.

Pangeran Pertama berbisik keji, wajahnya bak binatang buas.

"Fru Gar… Fru Gar…"