Kepalanya berdenyut bagaikan ditindih oleh karang. Napasnya terasa sesak oleh himpitan ketegangan tak berujung. Perutnya mulas, lalu ia terguling miring, lalu memuntahkan segenap isi perutnya.
Darah, air, lendir tumpah keluar dari tenggorokannya, kepalanya berdenyut-denyut terus. Satu-satunya hiburannya adalah bara panas mentari yang menghangatkan tubuhnya yang dingin beku oleh cengkaman kekakuan.
Ia terus muntah hingga tak kuat lagi bahkan untuk berpikir.
Pasrah. Ia tidak bisa berbuat apa-apa selain bernapas satu-satu. Di saat itu pandangannya diliputi cahaya pelangi yang meraung dan bergolak mengelilinginya.
Ia hanya bisa tertawa parau melihat Sulfa yang tengah membersihkan mulutnya, membantunya minum air, dan mengusap dahinya dengan tangannya yang sedingin es.