Jie Bi Shinjin mengatakan bahwa ini adalah sebuah toko roti.
Ia ingin mempercayainya, tapi sekarang dan dulunya sama bedanya seperti surga dan neraka. Tidak ada lagi toko roti yang tersisa di kota ini, dalam situasi begini. Jika ada, pastilah dijarah dan hancur dalam sekejap mata.
Lagipula, ia sedang melihat ke tumpukan puing-puing, sambil memegang lehernya yang nyeri, mengingat peristiwa yang terjadi baru saja.
Jie Bi Shinjin tadi benar-benar mencekiknya dengan penuh niat membunuh.
Anehnya, ia sama sekali tidak kaget. Ia hanya menatapnya tanpa bereaksi, tanpa mempertanyakan, sebelum Sang Devaca akhirnya mengendurkan tenaganya.
Wander mengelah napas, pandangannya segera kembali normal.
Ia masih ingat ekspresi wajah Jie Bi Shinjin saat itu. Suatu ekspresi yang tak dapat dilukiskan dengan kata-kata. Ia masih ingat kesan pertama yang terlintas saat melihatnya adalah: kegalauan, konflik.
Nalurinya bangkit dan ia berkata lirih. Ia tak tahu mengapa ia mengatakan hal itu.