"Waahh," kata Harid takjub. "Tebing ini tinggi sekali."
Selagi berdiri di atas tebing yang curam, Harid memandang dunia yang luas. Sebuah potret langka bagi seorang manusia yang banyak menghabiskan waktu di bawah, di atas sebidang tanah. Tebing yang menjulang itu dipenuhi pepohonan rindang tinggi nyaris 5 kali tinggi rata-rata manusia. Tidak terdapat jalan setapak, tidak ada onggokan jejak seseorang pernah menyentuh permukaan tebing curam tersebut, Harid mengira apakah aku yang pertama? Tentu saja itu pertanyaan yang terkesan seperti sebuah lelucon. Ada beberapa binatang di sana, burung, tupai, dan makhluk-makhluk kecil panjang melata, yang barang kali bisa membuat beberapa kaum bergidik jijik.
Dari atas, apa yang Harid lihat adalah daratan yang diselimuti awan, tapi Harid melihatnya seperti tumpungkan kapas lembut yang putih cemerlang. Hanya gunung dan bukit-bukit yang menyumbul sampai cakrawala seakan menegaskan keberadaan mereka. Jauh di depan Harid, berdiri sebuah gunung yang tersohor, dengan predikat serba paling bila disandingkan dengan gunung-gunung yang Harid kenali, diantaranya yang paling tinggi seantero, yang paling besar, dan paling misterius. Sebab tak seorang pun pernah atau sungkan menginjakan kaki di sana, yang membuat aneh adalah gunung itu selalu terlihat sama bila dipandang dari tempat manapun, sehingga orang menduga kalau gunung itu tidaklah nyata, hanya ilusi seperti fatamorgana layaknya di gurun-gurun.
Orang-orang menyebut gunung itu dengan nama Gunung Cincin Api. Apa alasan di balik penamaan tersebut, Harid pun tidak tahu-menahu karena seumur-umur dia lahir, tak pernah sekalipun memergoki Gunung Cincin Api mempunyai sesuatu yang bundar berongga berapi-api. Dia telah menyimpan agenda menguak gunung tersebut ke dalam catatan arche miliknya, agar kelak tidak luput dari benak karena tergerus oleh data-data lain.
Matahari mendoyong hendak menuju ke tempat terbenamnya di barat. Sehingga suhu-suhu di luar naungan dedaunan pohon akan dirasa bersahabat. Harid berjalan mendekati tebing sampai beberapa petak sebelum sampai di tepi.
Di depan Harid adalah sebuah tebing yang curam, Harid tidak bisa merasakan kedua kakinya, hanya getaran-getaran berkelanjutan yang sedikit ia rasakan. Dan di ketinggian yang teramat sangat, seolah mendadak ada bisikan-bisikan penggoda membujuk untuk serta-merta melompat.
"A-apa yang terjadi padaku?"
Buru-buru pohon di samping kiri, Harid rangkul batangnya penuh cemas, seolah orang yang nestapa akan kepergian kekasihnya. Bila terus-menerus beradu tatap dengan tebing yang dalam dan curam, niscaya rayuannya akan terasa memikat, membujuk mereka untuk melompat seakan mengatakan ayo ke sini, melompatlah, terbanglah, dan bebaskan dirimu dari penat kehidupan yang fana.
"Haah," Harid menghembuskan nafas panjang yang melegakan dirinya. "Aku selamat." Harid memicingkan mata. "Kenapa aku merasa pusing, seakan-akan ingin menjatuhkan dir-, tunggu apa tempat ini ada penunggunya?"
Tetapi Harid merasa tidak yakin, dia tidak melihat pertanda bahaya dari suatu makhluk tertentu. Bila memang keberadaan musuh eksis di sekitar, tentulah Harid bisa langsung mendeteksinya dengan sihir yang dia miliki. Nyatanya itu tidaklah ada, di atas tebing makhluk yang hidup bukanlah monster yang berbahaya, tetapi monster yang baik-baik. Sebaik-baiknya monster adalah mereka yang memikirkan urusannya masing-masing, seringkali orang memanggil mereka hewan, beberapa dari mereka acapkali dibudidayakan untuk menunjang ketahanan pangan.
Apa yang harus kulakukan? Dalam benak, Harid bertanya-tanya.
Harid adalah seseorang pemuda yang baru menginjak akhil baligh, boleh dikatakan Harid sudah di usia yang berhak hidup tanpa dinaungi orang tua, dan mempunyai andil penuh dalam mengendalikan hidupnya sendiri. Rambutnya putih gemilang bak salju di musim dingin. Orang tidak akan menyangka itu adalah rambut laki-laki. Mata birunya yang lembut berkedip berkali-kali seolah dia gusar menanti ilham-ilham menampakan diri di benak. Harid bernampilan seperti cowok normal pada umunya, dia mengenakan tunik putih berkerah sampai menutupi leher, celananya hitam panjang dan sepatu hiking berpengait, serta tas coklat menyelendang di punggungnya.
Dan akhirnya sebuah ide terbetik di kepala Harid guna melawan pemandangan curam yang mematikan kedua kakinya. ya, tiarap! Dia segera merebahkan diri dengan dada ke bawah dan muka menelungkup, dagunya hanya tinggal sejari dari permukaan. Beringsut ia maju ke depan menyambangi tepi.
Kakinya tidak berasa mati lagi, pusing di kepala pun tidak menghampiri. Air mukanya girang menyiratkan Ternyata aku benar. Dari bawah tebing yang terjal, kepalanya menyumbul, menyalak hamparan kabut. Itu adalah jarak yang tinggi sampai-sampai hutan di bawahnya tak bisa dilihat dengan mata telanjang.
"Itu dia!" gumam Harid senang. "Sebuah balkon dari reruntuhan kuno mungkin. Aku jadi tidak sabar untuk menjelajah."
Tempat yang tinggi itu berselimut kabut, bila jauh dari bawah seseorang memandang, tebing tidaklah nampak di mata yang fana, seolah reruntuhan itu tesembunyi di balik lindungan awan, Harid bahkan mengira masih terdapat pengaruh-pengaruh sihir tersisa dari reruntuhan. Sihir ilusi, sebuah sihir yang kerap dipakai untuk melindungi tempat-tempat tertentu, dengan efek menyesatkan arah, membuat kesan seram atau yang lebih parah membuat orang takut kepayang sampai merasa damai kalau di suruh mati sekalipun, seperti yang terjadi pada Harid sebelumnya.
Harid menjulurkan tangan ke depan, seperti hendak menangkap benda. Lalu mulutnya berkomat-kamit merapalakan mantra. "Sihir pemanggil : Foterium."
Partikel-partikel kecil berpendaran di genggaman Harid, lalu berdenyar menyamping, membentuk tongkat panjang perak yang ujungnya setirus jarum, di dekat jarum tongkat itu tercipta bingkai-bingkai hitam yang kemudian membentuk payung perak berkilau bersiku-siku. Pegangan payung itu teramat panjang, dari ujung jari sampai siku.
Payung itu bernama Tongkat Mizara.
Harid berdiri, efek dari sihir ilusi kembali menjalar ke tubuhnya. Kepalanya pusing, kedua kakinya terasa mati saat menatap reruntuhan di tebing. Namun ia menyeringai, menepuk-nepuk pipinya sampai kemerahan.
"Tempat tersembunyi, aku datang," Harid meraung.
Kakinya memijak kuat-kuat, melompat seketika dari atas tebing tanpa pengaman. Tidak ada tali, begitu pun sapasang sayap yang bisa membawa tubuh melayang, Harid tidak punya keduanya sama sekali. Benar memang Harid seorang manusia, dicermati dari ujung kepala sampai ujung kaki sekalipun tidak ada tanda kalau dia spesies lain semacam peri, titan, goblin, tuyul, mutan, ataupun ghoul. Namun, Harid adalah pemuda pandai sihir, dia tidak serta-merta berniat melompat kemudian mati konyol.
Suara angin mendesis di telinga saat terjun melayang di udara. muka Harid cerah, matanya berbinar-binar seperti bocah yang teramat senang karena mainan barunya. Begitu dia telah dekat dengan pilar-pilar retak yang warnanya sebiru air, Harid menjulurkan Tongkat Mizara ke bawah.
"Change!"
Tongkat Mizara merekah, menjadi layaknya payung yang terbuka. Kemudian bingkai-bingkainya menghilang, sehingga menciptakan payung yang bercelah-celah.
"Elemen Angin: Ventusio."
Payung berputar menciptakan tornado angin yang membentur pilar-pilar melungkung, sehingga menghambat gerak jatuh, Harid kemudian memutar badannya di udara dan ia mendarat di atas pilar melengkung dengan selamat.
"Beruntung, aku bisa sihir," ia bergumam bangga. "Aku tak bisa membayangkan, bagaimana para penjelajah yang tak pandai sihir mengarungi problematika perjalanan."
Terdapat tiga pilar melengkung sebesar jalan yang bisa dilalui oleh dua pedati secara bersamaan. Pilar itu bergelombang karena permukaanya yang kasar dan beretak-retak. Di bawah pilar itu terdapat reruntuhan yang mirip balkon besar melingkar dari tebing, berukiran pahatan-pahatan indah seperti roda kemudi kapal laut, namun hanya memiliki satu gagang. Bila bergeser ke kanan, ada sebuah anak tangga kecil menuju ke arah tebing. Harid tidak melihat apakah terdapat pintu masuk yang bisa di akses atau tidak.
Harid melompat dengan membuka Tongkat Mizara menjadi payung, sehingga dia mencegah benturan keras dengan permukaan, tiangnya teramat tinggi, kalau langsung lompat, bisa-bisa remuk tulang kaki Harid sebab tulangnya masihlah milik seorang manusia fana yabg tidak sekokoh baja.
Dengan tertakjub-takjub Harid berjalan menyusuri tangga kecil, dia melihat sebuah dinding kelabu tertutupi debu, diapit oleh dua patung hewan buas bersayap, Harid tidak bisa memastikan apa itu serigala atau macan, yang pasti itu adalah mutlak patung hewan buas. Dindingnya mungkin kotor akan tetapi ada sediki gambar samar sehingga memicu rasa ingin tahu Harid menggebu-gebu.
Dengan sedikit rapalan mantra Ventusio, hembusan angin berputar menyapu bersih debu dari dinding ke udara. HUSSHHHH. Dinding memang bersih akan tetapi kepulan debu meracuni udara.
GUK,GUK,GUK. Harid terbatuk-batuk.
Sekarang tampak lukisan penuh makna di dinding. Itu adalah lukisan seorang pria bermahkota duduk tegap di singgasana. Singgasananya itu tidak hanya berupa kursi, melainkan itu sebuah singgana di atas benda tipis dengan bentuk spiral. Lalu seligiun prajurit berdiri dengan tombak-tombaknya.
"Waahhhh," Harid melongo terkagum. Dia mengambil catatan arche dari tas, lalu membuka halaman awal buku tersebut.
"Sudah kuduga," katanya. "Sang raja pemersatu, awal dari persatuan mahkluk. Raja Solomon."
Harid mencermati lukisan kembali. "Apa dia hendak berperang atau selesai berperang?" Harid membisu.
"Meskipun belum bisa dipastikan, tetapi benang merahnya sangatlah jelas. Raja Solomon memerangi sesuatu ribuan tahun lalu, bencana yang bahkan membuat dia dilantik sebagai raja dunia."
Makna dari lukisan terlalu ambigu untuk ditafsirkan bagi Harid, dia tidak bisa memastikan meskipun mendapati benang merahnya. Bila ingin mengetahui lebih lanjut tentu dia harus pahami seluk-beluk reruntuh di dalam tebing. Pikirnya, barangkali segelintir petunjuk serta ribuan kejutan telah siap menjamu Harid di dalam.
"Ini mengagumkan. Sebuah reruntuhan menjadi tebing dan tak terjamah selama ribuan tahun." Harid berkomentar. Dia lalu mencatat perihal yang ia dapatkan mengenai lukisan tersebut.
Harid asyik mencatat, kepalanya menunduk, tengkuknya menyumbul dari belakang leher. Dan itu lumayan lama ketika dia menulis tiap-tiap rekor penemuannya. Keseharian Harid memanglah demikian, pergi keluar berkemah berhari-hari hanya untuk mengenyangkan keingintahuan dalam diri. Sayangnya apa yang dia lakukan sia-sia, bahkan orang tuanya beranggapan demikian. Keingintahuan manusia itu seperti tiada batas, serta akan terus memperbudak sampai akhir hayat, dan itu sulit dikendalikan.
"Sempurna," ucap Harid lega. Dia telah usai mencatat tiap jengkal informasi yang ada.
Dan hari pun tiba-tiba menjadi gelap.
"Apa aku terhanyut dalam kekaguman sampai lupa waktu." Harid menengok seketika dia melihat awan mahabesar yang sangat hitam, sesuatu yang janggal menurut Harid. Saking gelapnya, bahkan dia merasa seolah-olah matahari tertutupi bulan ketika siklus gerhana tejadi.
Angin bertekanan tinggi menerjang, Harid nyaris terhempas dibuatnya. Dia masih tidak mengerti apakah langit selabil itu, berubah dari cerah gembira menjadi hitam tercemar amarah dalam sekejap. Ditambah lagi tidak ada tempat berlindung di sekitar, Harid berada di ketinggian, dan dia berdiri di ruang terbuka. Suatu momen langka nan malang ketika puting beliung terjadi.
"Mengerikan sekali," ucap Harid. Kedua mata birunya membalak padam, dia merasa masih ingin menikmati tiap detil reruntuhan tersembunyi yang menyumbul di tebing curam. "Tapi aku harus mendahulukan nyawaku terlebih dahulu. Aku yakin ada jalan masuk di sekitar untuk berteduh."
Harid berlari menuju pilar melengkung yang terhubung dengan reruntuhan di sebrang.
KRAK. Pilar berderak, lalu roboh di bagian tengahnya. Beruntung Harid tidak serta-merta panik dan menginjak terlalu dalam. Jika yang terjadi sebaliknya, dia pastilah sudah terjun bebas dari ketinggian ribuan meter.
"Ah, merepotkan," kata Harid menggerutu. Dia melewati pilar roboh dengan mengambil langkah jauh, dan retakan menjalar mengikuti tiap derapnya. Harid bergegas seketika.
Dan saat Harid berhasil menyebrang, dia tidak melihat satu pintu masuk pun. Yang ada hanya sebuah tebing menceruk yang terdapat di lantai melingkar. Lingkarang lantai layaknya koin tergeletak di atas tanah, hanya saja yang dihadapan Harid benda itu adalah batu yang melingkar besar.
"Oh, Tuhan. Apa benar adanya jikalau rasa penasaran seringkali membunuh seekor kucing," ujar Harid pasrah. "Tapi keselamatanku adalah niscaya, karena aku bukan kucing."
Harid menggeledah sekitar, kalau-kalau ada pintu tersembunyi yang selalu menjadi ciri khas umum suatu tempat rahasia. Dari tiap inci lantai, sampai tebing, bisa dipastikan hasilnya nihil. Belum lagi angin beliung sekarang telah ditemani Guntur-guntur yang berderum menggelora dari telinga sampai tenggorokan Harid.
"Pasti terdapat jalan, tidak mungkin suatu tempat dibuat tanpa terdapat cara mengaksesnya."
Dan Guntur sekonyong-konyong menyambar ke samping Harid yang berdiri di lantai batu melingkar. BLAR,BLAR. Sambaran itu terjadi dua kali, menghancurkan lantai melingkar itu.
"Gawat." Harid panik.
Dia hilang keseimbangan dan sebelum akhirnya terpeleset ke dalam sumur. Tetapi Harid masih dalam lingkup kemujuran, dia berhasil berpegangan pada permukaan. Dia memandang ke bawah, tetapi tidak bisa melihat apapun karena terlalu gelap di sana.
"Aku tidak percaya kalau, sumur ini menjadi pintu masuk ke dalam reruntuhan tebing."
Tapi seringai memancar dari raut mukanya. "Oh, Dewa Ekspedisi terpujilah Engkau."
Harid melepaskan pegangannya dan ia terjun ke dalam rongga reruntuhan tebing.
"AAAKKKHHHHH!!"