Langit sangatlah kelabu, begitu pekat meski di siang hari. Di bawah bentangan awan-awan tak bersahabat, pohon-pohon pinus menjulang di belantara. Daunnya yang lebat-lebat menghalangi sinar dari langit, barang siapa yang mempunyai mata maka jarak pandang di sekitar terpangkas seketika.
Ribuan batu yang bentuknya kotak bersaling membentuk jalan lurus menuju tepi hutan yang lebarnya cukup untuk sebuah pedati. Batunya sekelabu cakrawala yang membentang di atas pepohonan, tidak seperti hutan yang ditumbuhi pinus, jalan itu disisipi deretan lumut-lumut hijau.
Di hamparan jalan yang lurus itu, berdiri tiga ekor kuda yang tiap-tiapnya membawa satu orang. Pertama adalah Seraphina, dia seorang perempuan muda mengenakan seragam biru berkerah tanpa kancing, sementara lengannya dibungkus oleh sarung logam dengan panjang sampai mendekati siku, sepatu yang dia pakai berupa sepasang sepatu kokoh yang memiliki pengaman di lutut. Di pinggang perempuan itu menggelayut sebilah pedang yang tersarung. Rambutnya merah gelap dililit dan diikat oleh pita hijau di belakangnya, bola matanya biru berkilau-kilau menyejukan seperti langit yang cerah.
"Bila menyusuri jalan ini, kita akan sampai di tepi hutan," ujar Seraphina.
Dua orang rekannya mengangguk, mereka adalah Langris dan Vio. Langris adalah seorang laki-laki yang tinggi kurus, rambutnya pendek rapi dan memiliki kesan orang tanpa banyak bicara. Sedangkan Vio merupakan gadis berkulit gelap, rambutnya putih pendek, dia mempunyai alis yang menukik tajam.
"Apa yang sebenarnya terjadi di tempat ini?" tanya Vio.
Seraphina tertunduk diam, kelopak matanya sama sekali tidak berkedip. "Kami tidak tahu, masih belum ada jawaban yang pasti." Dia melanjutkan, "Kita harus segera sampai di monumen itu, mari bergegas."
Kaki Seraphina memijak kuat di sanggurdi, kemudian tali kekangnya ia tarik membuat kuda itu meringkik dan mulai berlari. Kedua rekannya mengikuti seketika.
Saat di perjalanan pikiran gadis berkulit gelap itu masih tersangkut di fenomena sekitar yang telah berlangsung. Sebagai seorang prajurit keberanian itu hal yang utama, meski bukan berarti mereka tidak memiliki rasa takut atau pun kecemasan. Mereka dilatih untuk tidak bergemang pada manusia, sekuat atau sekejam apa pun manusia itu. Kepada yang lebih atas mereka segan dan hormat, kepada sesama mereka bahu membahu, dan kepada yang di bawah mereka mengayomi. Namun, prajurit tidak dididik secara mental menghadapi alam.
Siapa pun yang menyaksikan fenomena di atas sana, mereka tak ragu untuk bersaksi betapa bergidiknya bila mata manusia yang fana berlama-lama tertuju padanya. Vio tak sungkan mejawab kalau dia adalah salah satunya. Bahkan perempuan seperti Seraphina pun air mukanya tak kunjung menampakan hal baik. Dan Vio sadar akan hal itu.
Setelah bebeapa menit mereka keluar dari hutan dan tiba di sebuah hamparan tanah berumput. Di situ berdiri batu-batu tinggi yang melingkar berjumlah kurang lebih belasan. Batu-batu itu berwarna hitam kehijaun, nyaris seragam dengan daun di hutan sebelumnya.
"Kita berhenti di sini," titah Seraphina.
Satu persatu mereka turun dari pelana, lalu berjalan ke pusat batu melingkar.
Langris dan Vio tertakjub-takjub, mereka berdua mengusap-ngusap batu yang berdiri tinggi di tempat itu. Langris menilik-nilik salah satu batu, dia melihat terdapat guratan-guratan yang membentuk pola tertentu.
"Menakjubkan. Warna batu ini bukan berasal dari lumut," ujar Langris.
"Ini di luar Hutan, udara juga tidak lembab," Vio menambahkan.
Di tengah batu melingkar terdapat sebuah buah batu dengan bentuk yang tidak biasa. Batu unik itu mempunyai warna seperti batu pada umumnya yaitu kelabu, tapi bentuknya lebih mirip relief manusia yang tertelungkup, hanya saja pahatannya terlalu kasar dan tidak rapi.
Benda itu lebih menggugah bagi Seraphina. Dia tidak tahu apakah batu itu terbentuk tanpa kesengajaan oleh alam atau memang murni sebuah karya seni. (Bila suatu karya seni kenapa berdirinya di dekat belantara?) Di area sekitar Seraphina telah mencermati tidak terdapat jejak dari reruntuhan kota masa lalu, sehingga alasan kedua tingkat keakuratannya sangat minim. Seraphina pun meminta usulan kedua rekannya,
"Menurut kalian apa ada sebuah petunjuk dari monument ini?"
Langris menghentikan aktifitasnya mendadak. Dia berpendapat, "Aku selalu yakin setiap hal memiliki alasan termasuk batu-batu ini. Bisa jadi monumen ini dahulu sebuah altar atau pemujaan tertentu."
Seraphina tertegun, dan nampak meng-iyakan pendapat Langris. Tapi dia belum menemukan kepastian dari batu manusia tertelungkup.
Kesimpulan Langris dinilai masih dangkal. Laki-laki itu akhirnya ikut terseret untuk memperhatikan batu itu. Dia bertanya, "Batu itu sedang bersujud?"
"Kelihatannya begitu. Bila memang ini sebuah situs sakral, boleh dibilang orang ini mungkin dikutuk."
"Hey, Seraphina."
Seraphina menengok ketika Vio memanggilnya lantang. Gadis berkulit gelap itu menunjuk-nunjuk sebuah batu, pada sebuah garis yang terukir di permukaannya.
"Itu apa? Simbol bola yang bercahaya." Seraphina berpikir sejenak. Dia lalu berkata seakan-akan menyenggak, "Itu cahaya. Kepala batu ini menghadap ke arah batu menjulang yang memiliki ukiran memancar."
Seraphina merogoh sesuatu dari tas kecil yang menggantung di pinggulnya, benda yang ia ambil adalah suatu gulungan dengan tulisan-tulisan kecil membentuk segitiga.
"Seraphina apa yang akan kau lakukan?" Vio bertanya-tanya.
"Appraisal," jawabnya singkat.
"Appraisal…"
Kemudian Langrish menjelaskan, "Itu merupakan sihir untuk menganalis suatu benda sampai ke akar-akarnya."
Vio tahu sihir, tapi pengetahuannya terlalu cetek menyangkut hal itu. Terlebih lagi sihir membutuhkan mana dalam penggunannya, tidak semua orang cocok dengan profesi itu. Seorang prajurit sejatinya hanya mengandalakan kemampuan fisik, tetapi tidak menutup kemungkinan seorang prajurit mahir menggunakan sihir.
"Dengan gulungan ini, aku bisa melakukannya. Walaupun akan menguras banyak energi," Seraphina menambahkan apa yang akan ia lakukan.
"Kau tidak harus melakukan itu, ayah dan ibumu bisa cemas kalau mengetahuinya. kita bisa meminta ahli sihir kerajaan untuk membantu," ujar Vio cemas.
"Aku tidak bisa melakukannya, ini merupakan misi rahasia dari Augur yang agung."
Setelah mendengar penjelasan dari Seraphina Vio tidak mencobai menghalangi. Mendengar kalau merapal mantra dari gulungun memerlukan mana, hatinya sungkan membiarkan Seraphina melakukannya.
Gulungan itu dibuka, direntangkan di atas batu manusia bertelungkup. Seraphina menemplokan telapak tangannya. Mantra-mantra itu mulai berdenyar putih menyilaukan. Sementara itu Seraphina terpejam tanpa tahu apakah sihir itu bekerja atau tidak.
Awalnya apa yang ia lihat berupa kegelapan karena pandangannya tertutupi kelopak mata. Namun kegelapan itu memudar, berubah menjadi sebuah peristiwa di mana awan-awan hitam di langit sedikit demi sedikit melaju miring ke bawah. Awan itu berputar mengerucut sebelum menyentuh permukaan. Dari balik awan itu ada suatu mata yang besar benderang, mata dari suatu makhluk yang mahabesar.
Kemudian seorang pria berjubah putih, bertekuk lutut di tengah batu melingkar tadi seraya bercucuran derai air mata. Dia tidak henti-hentinya memohon keselamatan,
"Wahai dewa dan dewi di ujung sana. Tolong ampuni kami, atas ketamakan, keangkuhan, serta keserakahan kami. Janganlah engkau limpahkan guncangan-guncangan amarah engkau kepada seluruh makhluk atas satu kesalahan manusia."
Seluruh batu yang menjulang menyala, tiap-tiap batu itu berpasangan membentuk suatu simbol. Di depan pria berjubah putih itu adalah simbol cahaya, sedangkan di belakangnya berupa bulatan hitam yang melambangkan kegelapan.
Setelah itu Seraphina tersadar, kulit di mukanya pucat, darah menetes dari hidungnya yang kecil. Kedua rekannya merasa khawatir dengan keadaan dia, terutama Vio yang buru-buru menghampiri Seraphina.
"Seraphina, kau baik-baik saja?"
Gadis yang memiliki rambut merah itu terbalak, teringat akan sesuatu. Dia tidak langsung menjawab kekhawatiran Vio, matanya sontak tertuju pada langit yang berawan teramat kelabu. Di pipinya mengalir tetesan keringat, dia tertegun agak lama sebelum menyahut dengan air mukanya yang penuh kekhawatiran.
"V-Vio."
Vio menatap kebeingungan, tidak mengerti apa yang telah terjadi pada Seraphina.
Sementara itu Batu-batu yang melingkar bersinar seperti dalam bayang Seraphina serta mempunyai ukiran simbol yang persis. Langris memperhatikan kejanggalan itu, tapi dia tidak tahu penyebabnya.
"Kita harus segera keluar dari tempat ini," titah Seraphina dengan suara tinggi. Dia tahu bersinarnya batu-batu bukanlah suatu suguhan keindahan
Vio serta Langris terkaget mendengarnya. Tapi mereka tahu sesuatu yang buruk akan terjadi, maka tanpa banyak mengintrupsi mereka lekas memapah Seraphina ke kuda untuk pergi sejauh mungkin sesuai yang diperintahkan.
Sementara awan gelap berkilat-kilat dan mulai berderum-derum menggelora di udara. Bersama dengan angin yang kencang awan itu membentuk angin hitam berputar. Sebuah tornado raksasa, yang melaju seolah-olah sengaja mengincar tiga prajurit muda itu.
Mereka memacu kuda dengan kecepatan maksimal. Ketiga insan muda itu mulai gentar di dalam. Tepat di belakang mereka alam seolah menyuguhkan betapa perkasanya ia, betapa digdayanya ia dihadapan makhluk angkuh seperti manusia.
"Seraphina.." Vio berguma lirih.
Mendengar keraguan rekannya Seraphina berkata penuh keteguhan. "Tetap perhatikan jalannya Vio."
Mendengar ucupan penuh keyakinan dari Seraphina, lantas Vio menarik nafas dalam-dalam mengisi penuh setiap sudut dadanya dengan udara. Dia menjawab tegas, "Dimengerti."
Mereka akhirnya berhasil keluar dari hutan, jalan yang mereka lalui berupa padang gersang kosong ditambah suasana yang gelap mencengkam tanpa cahaya. Baik seraphina, Vio dan juga Langris, memantapkan diri untuk tidak menoleh ke belakang. Sehingga ketakutan tak menelan kobaran jiwa keberanian seorang prajurit.
Akan tetapi, kuda yang mereka tunggangi mendadak meringkik-ringkik, berjingkrak-jingkrak seolah ingin menurunkan paksa penunggangnya. Mereka mengamuk, atau lebih tepatnya ketakutan akan sesuatu.
"Kenapa dengan kuda-kuda ini?" Vio kebingungan.
"Akhh," desah Langris.
BRUK, Seraphina serta kedua rekannya terjatuh.
"Seraphina, kau tidak apa-apa?" Vio yang tahu Seraphina kehilangan banyak tenaga benar-benar mencemaskannya.
"Aku baik-baik saja kok," sahut Seraphina seraya bangkit.
Sekarang ketakutan mereka sudah mencapai ubun-ubun, kalau tidak dilatih untuk memiliki jiwa yang kuat, mereka mungkin sudah gila. Ditinggalkan kuda dan dipaksa untuk berjuang sendiri di bawah ancaman angin puting beliung yang hitam.
Kemalangan mereka tidak sampai di situ. Angin yang bercampur dengan awan yang pekat, perlahan menyatu berubah menjadi suatu makhluk hitam yang mahabesar. Dengan sayap yang membentang menutupi cakrawala. Makhluk itu mengaum, mempertontonkan giginya yang tajam serta matanya yang hijau berkilat-kilat seolah menunjukan kebengisan dan kebuasan.
Mereka pada akhirnya melakukan apa yang mereka haramkan. Mendengar ada makhluk yang mengaum keras, mereka reflek terpanggil untuk menyaksikan suatu makhluk yang asing di kepala mereka. Jangankan mengahadapinya, berdiri memandang dengan kefanaan saja bara keberanian dalam diri mereka memadam perlahan.
"Demi Dewa. Makhluk mengerikan apa itu?" tanya Langris ngeri.
Seraphina tak kuasa menahan getaran-getaran di sekujur tubuhnya, dia terus menerus terbayang pria berjubah putih itu. Sekarang tenaganya tinggal separuh, betisnya terasa berat, untuk berlari pun dia akan terseok-seok. Lantas dia menitah temannya dengan berat hati,
"Tinggalkan aku, selamatkan diri kalian. Ini adalah perintah terakhirku." bibirnya yang kemerahan tipis mengatup paksa.
"Tidak, kita akan pulang bersama Seraphina." Vio menatap lurus penuh keteguhan. "Ini keinginan seorang teman," dia bersikeras.
Sedangkan Langris tersenyum kecil lantas ia berkata, "Sekarang aku mungkin menjadi prajurit yang paling berguna." Dia lalu berjongkok membelakangi Seraphina. "Kita harus segera sampai di sungai itu! Satu-satunya cara cuma menghanyutkan diri. Naiklah Seraphina, " pinta Langris.
"Kalian! Aku, maaf telah mengajak kalian ke dalam mara bahaya ini."
Dua rekannya tersenyum tanpa sepatah kata pun, dari rautan muka mereka seolah berkata TIDAK USAH DIPIKIRKAN. Senyuman itu kelak akan selalu diingat jikalau Yang Maha Perkasa bersedia menuntun ke jalan keselamatan.
Langris menggendong Seraphina. Bersama Vio mereka berlari sekuat yang mereka mampu. Sayangnya fisik manusia terbatas, seolah Sang Pencipta sengaja membuat manusia tak akan berdaya bila berhadaban dengan sesuatu yang lebih besar dari mereka.
Tapi Tuhan memberikan sesuatu yang lain yang lebih berharga ketimbang kekuatan, yaitu akal dan tekad. Dua hal yang acap kali menjadi pelita manusia di kegelapan. Selama tekad mereka kuat, Seraphina meyakini berkat Dewa menyertai.
Namun, keyakinan Seraphina seolah tergerus saat makhluk besar itu mengaum untuk kedua kalinya. Kali ini aumannya keras menggema seakan-akan memecah gendang telinga.
Kaki mereka membeku. Langris yang menggendong Seraphina terngengap-ngengap. Begitu pula Vio yang beberapa langkah di depan menoleh khawatir. Dan Langris melihat sesuatu yang tak menyenangkan, suatu ekspresi ketidakberdayaan terukir di wajah perempuan itu. Vio memelotot sembari meneteskan keringat, pandangannya tertuju pada langit. Langris yang tergugah ikut serta menyaksikan.
Mata makhuk itu menyala sebenderang matahari. Dari sana suatu sinar melontar secara tiba-tiba disertai kepulan asap yang hitam. Lajunya cepat, sehingga tanpa perlu waktu yang lama telah dekat dengan ketiga prajurit muda itu.
"Vio," teriak Langris. Tanpa diduga dia melempar Seraphina ke depan sebelum sinar itu sampai.
Vio segera menangkap Seraphina, kemudian dia menyeretnya ke bawah, ke sebuah sungai. Seraphina dipeluknya erat, dengan tubuhnya Vio mendekap gadis itu rapat-rapat. Betapa besarnya kasih sayang dalam pertemanan mereka.
"Terima kasih Seraphina, terima kasih telah mau merawatku."
Seraphina adalah seorang gadis. Betapa besar pun usaha agar ia nampak tegar, hatinya tetaplah lembut. Dia tak punya tenaga lagi untuk membendung deraian air di matanya yang terus keluar. Dia bergumam lirih,
"Bukan aku, ayah dan ibu yang merawatmu. Kau tidak berhutang apapun padaku."
Kedua kaki Vio mulai terasa mati, berangsur-angusur dia merasa separuh badannya lenyap. Untuk terakhir kalinya pada Seraphina dia berpesan penuh harapan, "Kumohon hiduplah. Kau punya sesuatu yang harus disampaikan!"
Seraphina bersaksi saat itu, tubuh Vio menjadi dingin dan mendadak berwarna abu, dan dia tidak bergerak lagi setelah itu. Vio telah membatu, seperti manusia di tengah monument.
Kesadaran Seraphina mulai tertelan oleh air, tapi di relung hatinya kedua temannya terus menerus ada di sisinya. Vio telah mati mematung begitu pun Langris, tapi Vio mendekap Seraphina rapat-rapat agar cahaya itu tidak menyentuh seinci tubuhnya.
Seraphina terhanyut dipelukan patung sahabatnya yang seakan-akan setelah ketiadaannya itu kasih sayangnya menjadi perisai yang memberi jalan pada keselematan.
Namun, satu hal yang Seraphina percayai kalau,
DUNIA BERADA DI ZAMAN KEHANCURAN.