Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Ainsley - The Princess of The Darkness

🇮🇩raisautari_
--
chs / week
--
NOT RATINGS
8.3k
Views
Synopsis
Memiliki kekuatan sihir bukanlah keinginan Ainsley. Terlahir dengan mata hijau yang mirip dengan seorang wanita yang dikenal dengan kekuatan magisnya mengguna-guna raja Kerajaan Laiden membuatnya selalu digunjing. Siapa lagi kalau bukan ibundanya sendiri, Ledina. Tabib kerajaan yang mengguna-guna raja Kerajaan Laiden hingga tewas. Karena ulah ibundanya itu, Ia ikut mandapatkan ampas hitamnya. Ledina yang ada dipuncak kekuatannya, berhasil disegel dengan kekuatan bola Brigal Kerajaan Broughton. Kerajaan Laiden dendam. Mereka memutuskan memusnahkan suku penyihir, Suku Abracad dari tanah Laiden. Ainsley pun tak luput dari kejaran prajurit Laiden. Bersama bibinya dan Sarah, Ainsley berkelana mencari tempat baru untuk ditinggali. Hingga pilihannya jatuh pada Kota Charris, ibu kota Kerajaan Broughton. Sebuah tempat yang bisa mereka harapkan bisa menjadi tempat tersembunyi terbaik. Dengan segala usaha yang ada, Ainsley berusaha meninggalkan semua kebiasaannya sebagai Suku Abracad dan mengubur semua ilmu sihir yang ia punya. Ainsley dan Sarah memutuskan untuk menjadi seorang penari latar yang menghibur dari satur bar ke bar lain hingga perjumpaannya dengan Aaron, pangeran Kerajaan Broughton yang menjadi awal takdirnya. Hingga pada suatu hari, beberapa orang Kerajaan Laiden berhasil mengetahui keberadannya dan berniat membinasakannya. Bagaimana kisah selanjutnya?

Table of contents

Latest Update2
BAB 15 years ago
VIEW MORE

Chapter 1 - PROLOG

"Lihat gadis itu! Matanya berwarna hijau. Apakah dia anak penyihir itu?

"Iya, kau benar. Ibunya pembawa sial! Pasti anak itu tidak jauh dari ibunya!" kata seorang wanita tua menatap kesal gadis 10 tahun dengan beberapa buku ditangannya. Gadis itu berjalan sendirian dihari yang begitu terik. Jubah kulit rusa yang ia kenakan tak sepenuhnya bisa melindunginya dari sengatan matahari. Tak hanya itu, jubahnya juga tidak mampu melindungi indentitasnya dari panasnya amarah dan makian warga yang sudah mengubun-ubun pada ibundanya.

"Ibunya penjahat! Pemburuk nama suku!"

"Cepat pergi dari sini!"

"Pergi!"

Makian warga semakin membumbung tinggi. Ainsley membuang buku ditangannya. Ia menarik ujung jubah dan menutup sebagian wajahnya. Ainsley berlari sekencang mungkin ke rumah bibinya.

"Bibi Ella!" teriak Anisley menelusuri seluruh sudut rumahnya namun tak menemukan sang bibi.

"Ainsley, kau sudah kembali!" balas seorang wanita muncl dengan sebuah jubah dan kereta kuda kristal ditangannya.

Ainsley kecil berlari ke arah sang bibi dan memeluknya, "Bibi, kenapa semua orang membenciku? Apa sebenarnya salahku? Dan mengapa mereka menyebut ibu jahat?"

Gabriella merasa tersentuh dengan pertanyaan Ainsley. Ibunya yang bersalah namun kenapa pula anaknya juga ikut menanggung akibatnya. Ainsley tidak bersalah. Ia tidak tahu menahu tentang perbuatan ibunya. Gabriella menatap gadis kecil itu teduh lalu berkata, "Ainsley, bibi..."

Pada akhirnya Gabriella pun tidak bisa berkata apapun. Ainsley masih terlalu kecil. Sepanjang dan selebar apapun ia menjelaskan, Ainsley pasti belum bisa mengerti hal itu. Yang hanya bisa ia lakukan sekarang hanya beralih ke topik lain dan menghibur Ainsley.

"Ainsley..." Gabriella merendahkan sedikit badannya agar sejajar dengan Ainsley. "Besok kita akan menaiki kereta kuda dan melakukan perjalanan jauh. Apa kau suka?"

"Suka sekali bibi!" kata Ainsley riang. "Tapi kali ini kita akan kemana? Apakah bibi akan mengantarku bertemu ibu?"

Gabriella hanya terdiam mendengar pertanyaan Ainsley. Kali ini ia harus menjawab apa? Berbohong lagi kah?

"Ainsley, kita akan melakukan perjalanan jauh sekali. Berkeliling dunia. Melihat berbagai pemandangan alam yang luar biasa. Ada sungai, laut, hutan, dan sebagainya. Ainsley senang kan?"

Ainsley mengangguk menerawang jauh menatap langit-langit rumah, "Jadi... berkeliling dunia untuk mencari ibu kan? Aku benar kan, bi? Aku senang-senang sekali. Akhirnya bisa bertemu dengan ibu!"

Hati Gabriella begetar mendengar keinginan tulus Ainsley untuk bisa bertemu dengan ibunya. Anaknya begitu ingin bertemu, namun sang ibu, mendengar suaranya pun tak nafsu, apalagi melihatnya. Sungguh malang nasib Ainsley. Kakak perempuannya, Ledina benar-benar berubah menjadi iblis. Hatinya keras bukan menjadi batu saja, namun lebih keras seperti ada tembaga dan lapisan baja yang melindunginya dari lahar panas yang disebut rasa kasih saying seorang ibu. Gabriella mengingat kembali pertemuan terakhirnya dengan kakaknya itu beberapa minggu yang lalu.

Saat itu malam purnama dimana serigala mengaung melantangkan suara yang agung di puncak tebing. Ledina datang dari langit dengan sayap hitamnya di Desa Abra, tempat Suku Abracad tinggal. Gabriella saat itu tengah membuat makan malam dengan kekuatan sihirnya di rumah Ainsley. Tiba-tiba Ledina muncul dan menghancurkan makanan yang tengah ia masak. Sontak Gabriella kaget. Ia mengelurakan kekuatan bola-bola kristal es menyerang Ledina. Namun dengan sekali semburan api yang keluar dari telapak tangannya, bola-bola kristal es milik Gabriella berubah menjadi uap.

"Serangan yang bagus, tapi itu tidak akan bisa melukaiku, Ella. Nampaknya kau perlu belajar lebih banyak agar bisa menandingiku," puji Ledina dengan nada angkuh.

"Kakak benar! Maafkan aku,"

Gabriella benar-benar terkejut dengan penampilan baru Ledina. Pakaian serba hitam dengan makhota perak percampuran warna gold silver, serta sayap hitamnya membuat bulu kuduknya merinding. Gabriella bisa merasakan kekuatan hitam jahat yang begitu besar di dalam tubuh Ledina.

"Kenapa kau menatapku seperti itu? Kau takut?" tanya Ledina mengangkat sebelah alisnya.

"Sayap hitam itu..."

"Demons. Why? Apa kau sekarang mencoba menangkapku seperti Sir Thomas, kepala Suku Abracad?"

Gabriella menggeleng pelan. Ia tidak bisa menyembunyikan rasa takutnya ketika tangan panjang Ledina berhasil meraih lehernya dan membuatnya terpojok di dinding. Gabriella tercekik.

"Kakak! Lepaskan aku!"

"Lepaskan? Tidak semudah itu. Katakan padaku dimana bocah itu? Aku butuh batu ruby itu. Dimana dia?"

Gabriella tahu siapa yang dimaksud Ledina. Sudah jelas Ainsley. Batu ruby itu merupakan satu-satu peninggalan ayah Ainsley. Dimana saat menjelang akhir hidupnya ia memutuskan memindahkan kekuatan kekal abadinya di batu itu dan mengutuk siapapun yang menyentuh batu itu menjadi batu, selain Ainsley. Batu itu sudah lama dijadikan kalung Ainsley sejak gadis itu masih sangat belia. Selain karena dapat memberikan kekuatan awet muda, batu itu juga memiliki sistem perindungan bagi orang yang memakainya. Maka dari itu Ledina sangat menginginkan batu itu untuk memperawet kecantikannya selain mandi darah gadis.

"Dimana? Katakan padaku!"

"Bibi Ella!" teriak Ainsley histeris mendapati bibinya tengah dicekik oleh seseorang misterius serba hitam yang wujudnya seperti Klan Demons. Ainsley berlari ke arah bibinya.

Tangan panjang Ledina yang lain bergerak meraih Ainsley. Namun sebelum sampai, sebuah potal transparan berwarna merah berbentuk segi delapan muncul dan melindungi Ainsley dari tangan Ledina. Ledina terpental ke belakang selama beberapa meter. Gabriella terlepas dari tangan Ledina.

"Bibi tidak apa-apa?" tanya Ainsley penuh khawatir.

"Tidak apa-apa Ainsley. Ayo kita pergi dari sini!" Tangan Gabriella mengepal dia membaca mantra mengambil jubah tembus pandangnya. Dengan sekali lemparan, ia menggunakan jubah itu untuk menutup tubuhnya dan Ainsley. Seketika itu pula cahaya putih bersinar terang. Gabriella dan Ainsley menghilang.

"Sial mereka kabur!" umpat Ledina kesal. "Mereka tidak bisa kabur terlalu jauh dengan jubah itu. Aku harus mencarinya!"

Ledina mengepakan kedua sayapnya lalu terbang ke angkasa menembus atap rumah.

"Ainsley, sementara kita aman disini." kata Gabriella mengelus wajah Ainsley lembut. Mereka tengah bersembunyi di rumah es Gabriella yang lumayan jauh jaraknya dengan rumah Ainsley.

"Bibi, tadi itu siapa? Kenapa dia ingin melukai bibi?"

"Orang itu tidak penting sekarang. Yang jelas dia bukan orang yang baik. Ainsley, bibi perlu bantuanmu sekarang. Bisakah kau pantulkan batu ruby di kalungmu ke cermin di atas pintu?"

"Tentu saja bisa," Ainsley memantulkan kalung itu ke cermin. Seketika itu cermin berukuran sedang di atas pintu utama memantulkan cahaya merah kalung Ainsley ke cermin kecil lain di sudut rumah. Terbentuklah sebuah barrier transparan berwarna merah yang melindungi rumah itu.

Ledina tak tinggal diam. Ia memutar tubuhnya dan berubah wujud menjadi malaikat dengan sayap putihnya. Ia sengaja mengubah penampilannya menjadi lebih menarik dari pada biasanya agar Ainsley tidak takut padanya. Selain itu, Ainsley hanya mengenali ibunya dengan sayap putih dan rupa penuh sinar seperti malaikat.

"Ainsley. Ibu datang, Nak. Ibu ingin sekali bertemu denganmu. Kau juga rindu kan?" kata menggoda Ledina pada Ainsley di depan pintu.

"Ibu!" Ainsley berlari menuju ibunya. Namun sebelum lebih jauh, tangan Gabriella berhasil menahan Ainsley.

"Tidak Ainsley! Jangan ke sana! Dia bukan ibumu. Dia penjahat!"

"Lepaskan aku bibi! Aku ingin bertemu dengan ibu!"

"Ledina! Aku mohon! Jangan manfaatkan Ainsley lagi untuk kepentinganmu. Kau sudah mengambil banyak darinya. Biarkan dia hidup dengan tenang..."

"Apa yang kau katakan Ella? Aku hanya ingin bertemu dengan putriku, Ainsley. Ayo, Nak! Mendekatlah pada ibumu," bujuk rayu Ledina agar Ainsley keluar dari barrier.

Terpaksa Gabriella harus menggunakan kekuatannya untuk menahan Ainsley. Gabriella menempelkan tangannya di dahi Ainsley. Aura dingin es mengalir ke tubuh Ainsley dan membuatnya tidak sadarkan diri.

"Kau!!!" Ledina geram. Ia menarik wajah lalu merobeknya hingga wajah hitam gelapnya muncul. Penampilannya pun berubah seperti semula. "Dasar licik! Tunggu saja sampai ada kesempatan bagiku untuk menembus barrier sialan ini!" Ledina mengepakan kedua sayapnya lalu pergi.

Gabriella bisa bernapas lega sekarang. Kali ini ia berhasil menahan Ledina. Tapi sampai kapan dia bisa menahan Ledina? Kekuatan Ledina semakin hari semakin besar. Menggunakan kekuatan Ainsley terus menerus juga akan membahayakan nyawanya. Karena bagaimanpun juga kalung itu adalah jantung Ainsley sekarang. Jantung Ainsley yang asli sudah lama diambil Ledina untuk ritual kecantikannya awet mudanya sebelum dirinya menggunakan darah gadis sebagai medianya.

"Bibi sering melamun. Apa yang bibi pikirkan?" kata Ainsley membuyarkan lamunan Gabriella.

"Tidak sayang. Bibi hanya sedang berpikir... hal apa yang harus kita lakukan diperjalanan nanti," kata Gabriella tenang.

"Em... bagaimana kalau menyanyi? Sepertinya kurang seru! Oh iya aku tahu! Bagaimana kalau menyulam? Tolong ajari aku, bi!"

Buah memang jatuh tidak jauh dari pohonnya. Begitu ungkapan Gabriella di dalam hati. Ia mengingat betul Ledina sangat suka menyulam. Ia menyulam syal, baju mini, bahkan pakaian untuk musim dingin. Ia mengingingat betul bagaimana adegan romantis kakak perempuannya itu ketika menghadiahkan syal musim dingin pada suaminya. Tawa renyah dan senyum penuh cinta yang saling terlempar sana sini. Namun kenapa sekarang justru sangat berbeda. Ledina berubah menjadi iblis. Dan kakak iparnya meninggal karena Ledina sendiri yang telah membunuhnya.

Saat itu perang antara Kerajaan Laiden dengan Ledina sedang panas-panasnya. Ainsley yang masih sangat kecil, hidup berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain untuk bertahan hidup bersama ayah dan bibinya, Gabriella. Hingga pada suatu hari ayah Ainsley harus mengorbankan nyawanya untuk melindungi negeri Laiden dari Ledina. Sayangnya, segel terkuat harapan seluruh rakyat Laiden yang dimiliki ayah Ainsley, tidak dapat menyegel Ledina dengan sempurna. Meski Ledina dapat melepaskan diri dari segel itu, separuh kekuatan Ledina menghilang. Ledina pun lemah. Ia menghilang selama beberapa tahun. Hingga di usia Ainsley yang mengingjak ke 10 tahun, Ledina keluar dari sarangnya dan mengibarkan bendera perangnya kembali ke Kerajaan Laiden.

***

Kereta Gabriella dan Ainsley mulai meinggalkan tapak demi tapak meter rumah mereka. Kereta es itu bergerak menuju Kerajaan Broughton, tempat tinggal teman Gabriella yang menawarkan bantuan dengan mengirimkan surat padanya minggu lalu.

Disatu sisi Gabriella bisa sedikit bernapas lega karena bisa membawa Ainsley jauh dari kekacauan negeri Laiden. Namun disisi lain, ada Ledina yang bisa muncul kapan dan dimana saja dia mau. Membuat kerusuhan ditempat yang dipijakinya. Termasuk di negeri Broughton sendiri.

Gabriella mengelus kepala Ainsley yang tertidur di pangkuannya dengan lembut. Ia bisa merasakan hawa hangat di tubuh Ainsley. Ainsley tidak akan terpengaruh suhu dingin kereta karena tubuhnya berelemen api sama seperti Ledina. Sedangkan Gabriella sendiri berelemen es. Hal itu tentu saja memudahkan Gabriella karena tidak perlu membuat api di dalam kereta yang lama-lama bisa membuat kereta itu mencair. Tak lupa pula, Gabriella memasang barrier pertahanan dengan kalung Ainsley dikeretanya. Hanya untuk berjaga-jaga saja.

Setelah beberapa hari perjalanan, akhirnya kereta Gabriella sampai ditempat tujuan. Sebuah rumah kecil ditengah hutan pohon pinus.

Temannya yang bernama Esme beserta suaminya, Rolland menyambut Gabriella beserta Ainsley dengan hangat. "Selamat datang, Ella. Sudah lama kita tidak bertemu! Aku merindukanmu!" kata Esme menyambut Gabriella dengan pelukan hangat.

"Aku juga merindukanmu, Esme. Kita baru bertemu setelah lulus dari akademi. Rasanya sudah lama sekali,"

"Iya, Ella. Ini suamiku, Rolland. Dia juga sama-sama Suku Abracad seperti kita," Esme mengenalkan suaminya yang bertubuh tinggi, berotot dan memiliki kulit kuning serta rambut pirangnya pada Gabriella.

"Hallo, saya Ella teman akrab Esme di akademi." kata Gabriella mengulurkan tangan pada Rolland.

"Saya Rolland, suami Esme. Salam kenal," Rolland memejamkan mata dan menggeleng pelan ketika merasakan hawa dingin dari tangan Gabriella. "Anda memiliki elemen es?"

"Tuan Rolland sangat peka sekali dengan aura elemen saya,"

"Tentu saja. Saya memang berasal dari elemen tanah. Meski bergitu saya tetap bisa merasakan elemen anda. Karena bagaimanapun juga, elemen dasar anda adalah air. Dan tentunya, elemen air sangat dekat dan familiar dengan tanah. Maka dari itu saya bisa merasakannya,"

"Sudahlah kalian berdua ini membahas kekuatan saja! Jangan biarkan anak kecil ini diam saja," sela Esme ditengah perbincangan renyah Rolland dan Ella. Perhatian Esme teralihkan pada gadis kecil yang tengah berdiri disamping Gabriella. Gadis itu terlihat ketakutan ketika menyadari bahwa Esme tengah menatapnya intens. "Hey gadis manis, tidak perlu takut. Aku tidak akan menyakitimu. Jika kau tetap memasang ekspresi itu kecantikanmu akan menghilang nanti. Siapa namamu?"

"Ainsley..." jawab Ainsley pelan.

"Nama yang bagus. Apakah dia putrimu, Ella?"

"Dia keponakan ku. Putri kakak perempuanku,"

"Maksudmu... dia..." Esme merasa ragu ketika akan menyebut nama Ledina. Ia takut kalau orang itu akan muncul mendadak dihadapannya dan mengobrak-abrikan semua yang ada. Gabriella mengangguk mengklarifikasi hal tersebut. Dengan mata ester yang menjadi kekuatan utamanya, Esme melihat didalam tubuh Ainsley terdapat api menggelora liar serta ada cahaya putih yang mengalir ke seluruh tubuh Ainsley. Esme juga dapat melihat organ dalam Ainsley. Ia begitu terkejut ketika ia sama sekali tidak mendapati jantung Ainsley di dada kirinya. Esme melihat sebuah sinar merah keabadian di kalung yang Ainsley gunakan. Esme sontak terhentak kaget. Ia memundurkan beberapa lagkahnya menjauh dari Ainsley.

"Sayang, ada apa? Apa ada sesuatu yang kau lihat?" tanya Rolland khawatir.

"Ella? Apa maksudnya semua ini? Katakan padaku!"

Gabriella tahu. Pasti mata ester Esme melihat keseluruhan tubuh Ainsley. Tidak hanya elemen inti, tapi juga darah malaikat yang mengalir diseluruh tubuh Ainsley. "Tenang Esme. Aku bisa menjelaskannya!" balas Gabrilla cepat. Melihat respon ketakutan Esme, Ainsley hanya bisa menatap sekitarnya dengan ekspresi bingung. Apa yang terjadi? Apa kesalahannya?

"Ibu!"

Perhatian Gabriella perlahan teralihkan pada seorang gadis kecil yang berusia kurang lebih sama dengan Ainsley yang muncul dari dalam rumah. "Sarah!" Esme memeluk anak itu dan memintanya sedikit menjauh dari Gabriella dan Ainsley.

"Mereka siapa ibu?" tanya Sarah menunjuk Gabriella dan Ainsley.

"Dia Bibi Ella, teman ibu dari Negeri Laiden dan keponakannya, Ainsley," kata Esme memperkenalkan Gabriella dan Ainsley pada Sarah.

Dengan mata ester yang diwariskan ibunya, Sarah melihat adanya api bekobar dan aliran cahaya putih yang mengaliri seluruh tubuh gadis yang kini berada dihadapanya. Sarah menganggap hal itu sebagai hal yang unik karena dia belum pernah melihat hal itu. Sarah tersenyum lalu meraih tangan kanan Ainsley dan menggenggamnya tanpa rasa takut, "Aku Sarah, salam kenal!"

"Aku Ainsley..."

"Jadilah temanku..."

"Tentu saja!" balas Ainsley senang.

Esme mengajak Gabriella dan Ainsley untuk masuk kedalam rumah. Kelima orang itu pun masuk ke dalam rumah. Namun sebelum itu, Rolland memasang jebakan disekitar rumah dengan elemen tanahnya untuk mengantisipasi hal yang tidak diinginkan.

***

"Jadi benar kalau Ainsley itu... keturunan Klan Demons dan Klan Malaikat? Aku tidak percaya ada makhluk seperti dia." kata Esme menggelengkan kepala tidak percaya. Kedua orang itu kini tengah berbicara di kamar Esme. Pintu kamar yang sedikit terbuka membuat suara itu bisa terdengar sampai ruang tengah, tempat dimana Sarah dan Ainsley bermain bersama Rolland. Meski tidak terlalu jelas, Ainsley bisa mengetahui kalau bibinya dan Esme tengah membicarakannya. Rolland hanya bisa memantau Ainsley ketika melihat gadis kecil itu terdiam seolah-olah tengah menyimak percakapan istri dan temannya itu.

"Memang itulah kenyataannya, Esme. Jangan takut. Jika kita bisa mendidiknya dengan penuh kasih dan kebaikan, pasti dia akan tumbuh menjadi orang baik nantinya," kata Gabriella berusaha menenangkan Esme.

"Iya aku tahu, Ella. Semua berawal dari didikan. Karena dia masih kecil dan membutuhkannya. Mungkin saja ketika kecil dia akan menuruti kita. Tapi bagaimana ketika dia dewasa nanti? Apalagi setelah dia mengetahui jati dirinya yang sesungguhnya. Apakah kau masih bisa menjamin hal itu? Kau tahu sendiri keturunan Klan Demons memiliki kekuatan besar yang bisa saja membuatnya berubah menjadi jahat." Esme beralih menatap Gabriella dan menggenggam tangannya erat. "Ella, aku takut. Dia bisa lebih berbahaya dari pada Ledina! Dia memiliki sayap berwarna putih dan hitam di sebelah kanan dan kiri punggungnya. Kau tahu apa yang akan terjadi bukan?"

Ainsley mengepalkan tangannya kuat begitu mendengar perkataan Esme dari balik bilik. Rolland yang sedari tadi memperhatikan Ainsley pun, hanya bisa terdiam ketika melihat gadis itu melangkahkan kakinya menuju kamar Esme. Ia sebenarnya khawatir gadis itu akan membenci Emse karena berkata demikian. Namun Rolland berusaha membuang pikiran negatifnya jauh-jauh.

"Iya aku tahu. Meski begitu aku akan tetap melindunginya! Dan tidak akan membiarkan Ledina menyentuhnya! Dialah satu-satunya alasanku hidup, Esme. Setelah kakak perempuanku menjadi jahat dan kakak iparku meninggal, aku tidak memiliki siapa-siapa lagi selain Ainsley. Ledina mengambil jantung Ainsley ketika ia masih sangat belia untuk ritual peremajaannya. Sebagai seorang ayah, Aquarius tidak dapat membiarkan putrinya mati begitu saja. Dia menggunakan sedikit kekuatan keabadiannya untuk membuat Ainsley tetap hidup meski tidak memiliki jantung."

"Tunggu, kau bilang Aquarius. Apakah dia Pangeran Aquarius putra kelima Klan Malaikat?"

Gabriella mengangguk menyetujui perkataan Esme.

"Tak heran jika Ainsley memiliki darah itu," sambung Esme.

"Aquarius melawan Ledina dengan segala kekuatan terbatas yang ia miliki. Sebagian kekuatannya menghilang setelah dia berubah menjadi manusia biasa. Aquarius tidak hanya melindungi Ainsley, tapi seluruh rakyat Laiden. Hingga membuncahnya perang, Aquarius harus mengorbankan nyawa. Ia berusaha menyegel Ledina namun gagal. Aquarius memindahkan seluruh kekuatannya pada kalung ruby yang Ainsley kenakan. Karena takut semua orang akan memperebutkan kalung itu dan menyalahgunakan kekuatannya, Aquarius mengutuk siapa saja yang menyentuh kalung itu selain Ainsley. Kalung itulah yang menyambung hidup Ainsley dan hidupku sampai sekarang, Esme..."

Esme terdiam mendengar cerita tragis keluarga Ainsley. Ia merasa bersalah karena berniat membenci anak itu. Sekarang ia bisa merasakan penderitaan gadis kecil itu. Esme tidak bisa menahan air matanya lagi.

Brak!

Perhatian kedua wanita itu beralih pada pintu kamar yang tiba-tiba terbuka. Ainsley berlari memeluk kaki Esme dengan isak tangis dan buliran air mata yang membasahi pipinya. "Bibi Esme tidak perlu takut! Ainsley berjanji akan selalu menjadi anak baik dan menuruti semua nasihat bibi! Tapi tolong, jangan benci Ainsley. Ainsley lelah dibenci orang terus menerus..."

Hati Esme tergugah mendengar rintihan tangis anak itu. Ia merendahkan sedikit badannya lalu memeluk Ainsley erat. "Maafkan bibi Ainsley! Maafkan aku!" kata Esme dalam tangisnya tak kalah heboh dengan tangis Ainsley. "Kau anak yang baik. Kau hanya korban dari konflik antar klan dan kedua orang tuamu, maafkan bibi! Bibi tidak membencimu. Justru bibi akan menyayangimu seperti bibi menyanyangi Sarah, Ainsley..." Esme memeluk Ainsley erat dan mengelus rambut Ainsley lembut. Ainsley membalas pelukan itu.

"Sayang, ada apa?" tanya Rolland ketika mendengar desak tangis dari kamar Esme.

"Siapa yang menangis, ayah?" tanya Sarah menatap ayahnya kebingungan.

"Seperti suara ibumu. Ayo kita periksa!"

Rolland dan Sarah melangkah menuju kamar Esme. Rolland dan Sarah terheran-heran ketika mendapati Ainsley menangis dipelukkan Esme.

"Kenapa ibu menangis?" tanya Sarah dengan nada terisak. "Aku juga ingin menangis seperti ibu,"

"Mari, Nak," Esme mengulurkan sebelah tangannya lalu menyeret Sarah kedalam pelukannya. Esme memeluk kedua anak itu dengan erat dan berkata, "Kalian adalah harta berharga yang harus aku lindungi, benarkan Ella? Rolland?"

Rolland mengangguk seraya tersenyum. Nampaknya istrinya sudah mengerti anak itu dan tidak jadi memusuhinya. Sementara Ella ikut bergabung dalam pelukan itu.

Duar!

Tiba-tiba suara ledakan terdengar dari luar rumah. Rolland segera pergi keluar untuk memeriksa penyebabnya. Ternyata tamu spesial yang sama sekali tidak ia inginkan kehadirannya berhasil melewati jebakan peledak yang Rolland pasang disekitar rumahnya. Tamu tak lain adalah Ledina. Ia datang bersama sayap hitamnya yang besar dan lebar. Orang-orang yang berada di dalam rumah pun keluar kerena pernasaran dengan penyebab suara ledakan itu.

Mata Gabriella membesar begitu melihat kemunculan Ledina yang begitu tiba-tiba di depan rumah Esme. Berekspresi sama seperti Gabreiella, Esme pun tak dapat berkata apa-apa. Ia hanya bisa membawa Sarah dalam pelukannya. Gabriella memegang erat tangan Ainsley dan memintanya untuk bersembunyi dibelakangnya.

"Serahkan anak itu!"

"Tidak! Aku tidak akan pernah membiarkan Ainsley berada ditanganmu, kakak!" teriak Gabriella.

Ledina membuat anak panah api dengan tangan kanan serta busur dipenuhi lidah api dengan tangan kirinya. Dalam sekali tarikan, anak panah yang terlontar mencabang menjadi lima buah. Rolland membuat tameng tanah dan berhasil menangkisnya.

Ledina tak gentar. Ia menghempaskan ratusan jarum dari kedua sayapnya. Jarum itu berhasil tertahan tameng Rolland namun Ledina menambah kekuatan jarum itu hingga tameng Rollan terkikis perlahan. Melihat suaminya sedang bersusah payah menahan serangan Ledina, hati Esme tergerak untuk membantu. Ia berinisiatif agar Gaberiella membawa anak-anak pergi, karena hanya Gabriella yang memiliki kekuatan teleportasi, "Ella, bawa anak-anak pergi! Cepat!"

"Bagaimana denganmu?" tanya Gabriella penuh kekhawatiran.

"Aku akan membantu suamiku. Aku akan melindungi kalian dari Ledina. Pergilah ke rumah tua di puncak pegunungan pine! Cepat!"

"Berjanjilah untuk menyusulku, segera!"

"Iya aku berjanji. Jika dalam tiga jam aku tidak bisa menyusulmu, jangan menungguku. Pergilah sejauh mungkin! Cepat!"

Sarah tidak mau lepas dari Esme. Dia menangis meminta ibunya untuk tidak meninggalkannya. Esme memeluk erat Sarah dan berkata, "Sarah... mulai sekarang turuti semua perintah Bibi Ella, seperti perintah ibu. Jangan cengeng. Belajarlah yang giat. Jangan lupa makan. Cari teman yang memang bisa dijadikan temanmu, bukan musuhmu. Ibu harus membantu ayahmu. Setelah ini kita akan makan bersama di rumah puncak pegunungan, ya?"

"Ibu..."

Esme melepas pelukan Sarah dan membawanya pada Gabriella. "Ella, cepat pergi!"

Gabriella membawa kedua anak itu kebelakang rumah. Gabriella membaca mantra untuk memanggil jubah tembus pandang dan memakainya. Setelah itu sinar putih pun terlihat. Ella dan kedua gadis itu berhasil kabur.

Esme menggunakan mata ester miliknya untuk memindai kelemahan Ledina. "Itu dia kelemahannya, kakinya!"

Rolland membuat retakan tanah di bawah Ledina dengan kakinya karena kedua tangannya masih menahan jarum-jarum Ledina yang semakin mengikis tameng tanahnya. Esme duduk sila. Ia memejamkan mata dan membaca suatu mantra. Seketika itu keluar tangan-tangan putih dari dalam tanah dan membalut seluruh tubuh Ledina hingga ia tidak bisa bergerak. Jarum-jarum itu pun jatuh ke tanah.

"Kita berhasil Esme. Kita berhasil menahan Ledina!" kata Rolland sedikit puas.

"Kau benar suamiku, kita harus menyusul Ella agar anak-anak tidak khawatir!"

"Kemana kalian akan pergi?"

Tubuh Esme dan Rolland mendadak kaku. Mereka sama sekali tidak bisa bergerak. Ledina menyembunyikan sayapnya dan berjalan menuju kedua orang itu. "Bagaimana kau bisa lolos?" tanya Rolland.

Esme melirik ke arah tempat dimana Ledina ia tahan dengan kekuatannya, ternyata tangan-tangan putih miliknya hangus terbakar.

"Kalian tidak boleh pergi. Siapapun yang menghalangiku harus mati!" geram Ledina mengangkat jari telunjuknya, seketika itu Esme dan Rolland berubah menjadi batu. Ledina mengepalkan tangannya dan kedua batu itu hancur seketika.

Tiga jam sudah berlalu. Esme dan Rolland belum muncul. Gabriella khawatir pada mereka berdua. Apakah mereka baik-baik saja? Apakah mereka terbunuh? Pikiran-pikiran negatif mulai bermunculan di kepala Gabriella. Sarah tidak henti-hentinya meneteskan air matanya. Ia sungguh khawatir dengan kedua orang tuanya yang tengah bertarung dengan Ledina. Sementara Ainsley sendiri hanya diam memikirkan segala perbuatan yang ia lakukan. Apa kesalahannya sehingga Ledina begitu ingin membawanya?

Tak lama berselang, Ledina muncul dan menghancurkan rumah dengan sekali hantaman. Dengan bola kristal es, Gabriella dapat melindungi dua gadis kecil itu dan dirinya dari reruntuhan rumah.

"Percuma! Sembunyi dimanapun, kalian tetap saja tidak bisa lepas dari cengkramanku! Lebih baik kau menyerah saja, Ella! Serahkan Ainsley padaku!" kata Ledina.

Sarah tak berani memandang Ledina. Ia bersembunyi dibalik punggung Gabriella. Sementara Ainsley memberanikan diri melangkahkan kaki mendekati Ledina.

"Ainsley!" teriak Gabriella. "Jangan!"

"Pilihan yang tepat, anakku, kembalilah pada ibumu sekarang!"

Ainsley memeluk Ledina. Ledina tersenyum puas karena pada akhirnya bisa mendapatkan Ainsley. Ia membelai kepala gadis itu lembut. Kuku panjang hitam Ledina, membuat Sarah menggelitik ngeri. Tak lama kemudian Ledina mengembangkan sayapnya. Namun sebelum terbang, Ainsley menarik tangan Ledina yang tengah mengusap kepalanya. Ia membawa tangan itu ke kalungnya. Seketika tangan Ledina menjadi batu dan hancur. Ledina terpental beberapa meter ke belakang. Gabriella segera menarik Ainsley dan memakai jubah tembus pandang bersama Sarah. Ketiganya pun menghilang.

"Sial tanganku hancur! Aku harus segera kembali!"

Ledina kembali ke Kerajaan Laiden setelah gagal membawa Ainsley. Ia membuat tangan palsu penganti tangan kanannya yang hancur. Ledina bekeliling Laiden memporak-porandakan wilayah kerajaan dengan sihirnya. Beberapa daerah berhasil dikuasai Ledina. Ledina mengklaim daerah itu sebagai wilayah kekuasaannya. Aparat yang melindung warga pun tidak bisa menghalau serangan dahsyat Ledina. Ledina pun tertawa terbahak-bahak mendengar rintihan sakit dari aparat maupun warga yang terluka.

Ledina melirikan matanya kesana dan kemari karena merasakan aura dari kalung ruby Ainsley yang selama ini ia incar. Apakah Gabriella dan gadis itu kembali ke Laiden? Tidak mungkin. Ledina teringat bahwa baru ruby itu tidak hanya dimiliki oleh Ainsley, namun ada orang lain dari Kerajaan Broughton yang memilikinya. Ledina merasa aura kalung itu semakin menjauh darinya. Ledina segera terbang mengikuti aura kalung itu. Hingga akhirnya ia sampai di istana Kerajaan Laiden.

"Istana? Kenapa auranya tiba-tiba menghilang di istana?" heran Ledina.

Seketika itu pula anak panah api terlontar mengarah ke Ledina dari bawah. Dengan sekali kibasan kedua sayapnya, anak panah api itu terlontar kembali ke bawah. Ledina menoleh ke bawah. Ternyata dibawahnya terdapat puluhan ribu prajurit dengan busur panahnya. Banyak diantara mereka yang tertusuk anak panah kibasan Ledina.

"Ternyata anak panah itu tidak membantu!" kata pangeran makhota Johan dari atas benteng.

"Tapi setidaknya panah itu bisa mengalihkan perhatian Ledina sebentar. Dengan pecahan batu ruby merah ini, kita bisa menarik Ledina kemari bukankah itu hebat," kata Raja Axel, raja Kerajaan Broughton sedikit puas dengan pencapaiannya. "Tenanglah Pangeran Johan, setelah ini dia akan tersegel."

Ribuan prajurit di bawah terus menghujani Ledina dengan anak panah api. Mau tak mau pun Ledina harus menggunakan kekuatannya untuk menghadapinya. Ia menggunakan elemen api dan tanah untuk membunuh prajurit. Ledina menggetarkan bumi dan membuat tanah yang menjadi pijakan prajurit meninggi dan mengerucut hingga membuat prajurit itu tertusuk-tusuk. Setelah itu Ledina membakar prajurit yang masih tersisa dengan elemen apinya.

"Gawat raja Broughton! Dalam kurang dari semenit, dia berhasil menghancurkan pasukan kita!" cerca Pangeran Johan panik.

"Tenang saja. Aku memiliki senjata malaikat yang ampuh untuk melawannya!"

Ledina terkejut ketika melihat pecahan ruby merah itu ditangan raja Broughton. Ia segera terbang dengan kecepatan penuh ke arah raja Broughton untuk mengambil batu itu dengan tangan panjangnya.

Seketika itu pula Raja Alex menukar batu itu dengan bola putih, bernama brigal. Ledina gagal mengambil batu ruby yang sama seperti milik Ainsley, ia justru mengambil bola brigal itu.

Kulit Ledina melepuh. Ia melemparkan bola itu jauh darinya. Sebagian kekuatannya terserap kedalam bola itu. Ledina terjatuh. Seorang ksatria gagah berani berhasil menangkap bola itu. Beberapa orang ksatria lainnya mengikat tubuh Ledina dengan rantai baja putih malaikat yang bersinar disetiap sudutnya. Ledina melemah.

Raja Axel memanfaatkan kesempatan ini untuk menyegel Ledina. Ia mengangkat bola brigal di atas kepalanya. Seketika itu pula matahari ikut memberikan sinarnya. Bola itu bersinar sangat terang hingga membuat tubuh Ledina melepuh seluruhnya. Kekuatan Ledina perlahan terserap ke dalam bola. Dengan kekuatan yang tersisa, Ledina membuat jarum dari tangannya lalu melemparkannya ke arah Raja Alex. Mata sebelah kiri Raja Alex pun terluka namun ia berusaha tetap fokus pada ritual penyegelan. Perlahan tubuh Ledina mengeriput dan mencair menjadi air berwarna hitam. Ledina musnah. Kekuatannya tersegel kedalam bola brigal.

Panasnya konflik dan peperangan menurun setelah Ledina tersegel. Untuk mengantisipasi kejadian serupa, Kerajaan Laiden memutuskan untuk membantai semua Suku Abracad dan pelarian di negeri lain.