Chereads / Captain Reira / Chapter 3 - 3

Chapter 3 - 3

Hanya aku dan Dika yang masih ada dalam silsilah keluarga ini. Semua kenangan bersama mereka hanya bisa tersimpan dalam serat-serat memori. Aku hanya bisa memanggil mereka dari cuplikan mimpi sekilas dari bunga tidur.

Mereka telah pergi meninggalkan kami berdua. Ayah meninggal ketika aku masih di SMP dan Ibuku meninggal di tahun yang sama ketika Rio tutup usia. Sebelum itu, keluarga kami hidup dengan makmur. Ayah punya jabatan tinggi di salah satu perusahaan. Semuanya berubah ketika ia meninggal.

Aku sudah lama tahu kelakuan Rio. Bayangkan saja, sewaktu aku masih SD, aku sudah tahu bagaimana melinting ganja atau pun merakit bong sendiri. Aku sudah tahu bagaimana seseorang sedang nge-fly saat efek narkoba itu sudah merusak akal sehatnya.

Di umur segitu, aku melihat Rio berimajinasi mengenai tangannya yang bisa menarik mentari mendekat. Kadang Ia menangis karena menganggapku sebagai sosok monster besar yang akan menyerangnya. Rio mempertunjukkan kepadaku semuanya. Namun, saat itu aku tidak pernah memberitahukan kepada orangtuaku. Aku takut Rio akan diusir dari rumah. Semenjak Ayah meninggal, Rio semakin menjadi-jadi hingga suatu saat ia divonis terjangkit HIV.

Ah, sudahlah. Kini aku terbiasa dengan pahit getirnya kehidupan yang kujalani. Retak hati yang kudapati, sudah berkali-kali aku rekat paksa. Tidak akan bisa aku hindari, sebuah titisan takdir yang Tuhan titipkan.

Mentari sudah terbenam sejam yang lalu. Kopi malamku telah menjadi kerak di tepian cangkir. Beberapa batang tembakau pun sudah habis dalam isapan. Tidak akan menunggu lagi, aku bergegas menuju kampus untuk menyaksikan penampilan perdana Fasha di panggung yang besar.

Satu hal yang ingin kuberi tahu lagi, aku mendapati sebuah pemandangan menarik yang selalu aku tunggu darinya. Aku mendapati 10 Fasha's best moment lainnya yang telah kurangkum dalam buku harianku, yaitu paras cantik Fasha ketika menyandang sebuah gitar. Ia terlalu mahal untuk kulewatkan ketika barang itu menempel pada tubuhnya. Memang, aku tidak bisa memainkan gitar. Tetapi, Fasha bisa melakukan itu melebihi musisi-musisi indie yang sering kudengar dari radio malam.

"David, akhirnya kamu datang. Aku deg-degan banget." Fasha menarik tanganku ketika memasuki keramaian. Ia sudah siap-siap dengan make up dan sebuah gitar yang ia sandang.

"Ah, ternyata kamu. Bikin kaget aja." Senyumku melebar saat menatapnya.

Fasha tertawa. "Aku gugup banget."

"First time, huh?" tanyaku.

"Iya, ini pertama kalinya aku tampil di festival seni kampus. Rame banget, aku enggak nyangka bakalan sebanyak ini yang nonton." Ia melebarkan tangannya pada keramaian yang ada.

"Semakin banyak malah semakin bagus. Ini kesempatan kamu buat nunjukin bahwa kamu itu punya suara yang indah," balasku. Ia tampak senang dengan kalimatku.

"Thanks buat dukungannya."

Malam ini aku duduk di barisan pertama untuk melihat Fasha bernyanyi dengan gitarnya di atas panggung. Aku sudah mengikat janji untuk melihatnya tampil malam ini. Tidak ada alasan untuk menolak permintaan orang yang kusukai.

Beberapa penyanyi dan band sudah menunjukkan performa terbaiknya di atas panggung. Tepuk tangan berderai setiap kali musik berakhir dengan indah. Aku menginginkan Fasha yang berada di atas panggung itu. Asal kau tahu, suaranya begitu indah bagai bidadari surga yang bernyanyi untuk seorang yang tulus di muka bumi.

Seseorang duduk di sampingku dengan napas yang terengah-engah. Wanginya begitu kuat tatkala langkahnya membawakan angin kepadaku. Berwangikan wangi bunga yang bercampur sedikit wangi apel yang kuat. Kudapati keningnya berpeluh ketika aku berusaha menatap matanya yang bulat. Wanita itu mengikat rambut sebahunya tanpa menyadari bahwa aku sedang memerhatikan. Ikat rambut berwarna merah itu menyatukan helaian yang tadi ia biarkan tergerai ketika tergesa-gesa untuk duduk.

Sungguh, wanita selalu cantik tatkala mengikat rambut. Termasuk dia, aku mengakui hal itu.

"Apa saya terlambat?" tanya wanita itu. Aku segera membuang wajah.

"Baru beberapa lagu sebelum kamu datang," balasku. Aku kini menoleh kembali padanya. Kuhapal setiap detail wajah wanita yang baru kujumpai dengan seksama.

"Saya datang ke sini buat ngelihat teman saya yang mau nampil. Kamu juga?" tanya wanita itu lagi. Wajahnya tetap menghadap ke penampilan di atas panggung.

Wanita ini terdengar terlalu formal. Jujur, terkadang aku risih jika harus berkomunikasi terlalu formal. Aku tidak menjawab pertanyaan wanita itu. Seorang penampil di atas panggung tengah menarik perhatianku.

"Kamu terdengar formal banget," balasku tanpa menatapnya.

"Mau yang bagaimana? Lo-gue seperti yang lain?" Ia tersenyum tanpa menoleh.

Aku tertawa. "Terserah, yang penting tidak terdengar formal. Gue enggak terlalu suka yang bersifat formal."

Alunan melodi yang meliak-liuk menarik perhatian kami tatkala penyanyi di atas panggung berada di ujung penampilannya. Barisan penonton paling belakang berdiri lebih dahulu untuk memberi apresiasi. Kami bertepuk tangan, ia menunduk hormat. Rasa bangga yang melimpah ruah terlihat dari senyum bibirnya yang melebar. Ia mengambil mic untuk menyampaikan sepatah kata sebelum dirinya pergi.

"Seseorang pernah bilang ke gue, kalau lo lagi suka sama seseorang, jangan pernah dipendam. Sekarang gue minta salah satu dari kalian buat ngungkapin rasa cinta kalian di atas panggung ini sekarang. Terserah, mau untuk gebetan atau pun pacar kalian. Ada yang mau?"

Tanpa kuduga wanita berikat rambut merah itu mengangkatkan tanganku yang diam. Sontak aku terkejut ketika penyanyi di atas panggung langsung menunjukku. Semua orang bersorak dengan semangat. Ia turun untuk menjemputku ke atas panggung. Wanita di sampingku tidak berekspresi apa pun. Wajahnya tetap datar ketika aku dibawa oleh penyanyi. Aku tidak tahu siapa dia, namun ia telah membuatku dianggap sebagai sukarelawan untuk menjawab tantangan dari penyanyi di atas.

"Gue tahu lo sedang memendam rasa sama seseorang," ucap wanita dengan datar.

"Apa-apaan, sih? Sok kenal banget!" Aku tidak sempat melawan. Langkahku sudah dibawa ke tangga kecil untuk naik ke panggung. Seluruh penonton telah bersorak untuk memberikanku semangat.

"Tepuk tangan buat pria pemberani ini," ucap penyanyi kepada para penonton.

Nyaliku menciut. Di ujung penglihataku telah berdiri wanita bergitar yang tengah melihat tingkah konyolku sekarang. Wajahanya memereng sembari melipat tangan di dada. Sudah berkali-kali Fasha seperti itu ketika hal konyol sedang melandaku. Aku tidak tahu harus berbuat apa, sudah terlanjur naik ke atas panggung.

"Selamat malam," ucapku di ujung mic. Bunyi mendengung terdengar dari speaker di ujung panggung. Ragu rasanya untuk bersuara, tetapi aku punya beberapa patah kata yang bisa menyelamatkanku di poisis ini.

"Aku cuma mau bilang, sebanyak apa pun jam itu berdenting karena waktu yang merangkak ke ujung, aku masih belum bisa melupakannya."

Penonton bertepuk tangan dengan petikan kalimat yang kuucap. Wanita sialan yang membuatku naik ke atas panggung ini malah tersenyum-senyum di bawah sana. Aku malu, aku malu dilihat Fasha. Aku takut jika ia menyadari bahwa kalimat itu ditunjukkan untuknya. Kalimat itu selalu aku tahan agar tetap tersembunyi dalam belenggu rahasia.

"Jadi siapakah gerangan orang yang lo maksud itu?" tanya penyanyi itu padaku.

"Ah, jangan─" Kalimatku terhenti. Mataku tertuju kepada wanita berikat rambut merah itu.

Aku tidak tahu apakah wanita itu gila atau sedang berpura-pura menjadi orang gila dengan kedok wanita cantik. Ia mengangkat tangannya. Bibirnya mengulum senyum dengan lebar, seakan tidak ada beban yang menahannya. Seluruh perhatian penonton tertuju ke tangan yang terangkat itu. Wajahnya mengarah padaku, tetap dengan senyum licik yang ia tunjukkan. Aku tidak mengerti maksudnya hingga ia mengucapkan sepatah kata.

"Aku yang ia maksud. Aku pacarnya," ucapnya dengan lantang.

Kini aku ingin mati seketika. Kuharap tuhan menyabut nyawaku untuk menyelamatkan diriku dari momen ini. Seluruh penjuru riuh ketika wanita itu mengucapkan kalimta itu. Kulihat Fasha tidak ada lagi di tempat berdirinya. Entah ia mendengarnya atau tidak, aku tidak mengentahuinya dan tidak ingin mengetahuinya.

**