"Tak ada yang menuduhmu melakukan apapun, Milena!" sergah dokter Chris, suaranya dalam dan meyakinkan. "Kami hanya ingin mendukungmu. Apapun itu kami sedang berusaha menolongmu. Kau peri atau bukan, itu tidak masalah bagi kami. Yang jadi masalah adalah—"
"Apa? Mentalku?" Milena memotong perkataan sang dokter pria, mendengus tak percaya, "apa maksudnya itu Anda tidak peduli? Sementara kerawasan mentalku dipertanyakan? Orang mempercayai apa yang mereka ingin percayai, dokter Chris. Bukan fakta setinggi langit yang mereka inginkan!" perut Milena serasa mengejan hebat mengatakan hal itu, ia meringis kesakitan, kepalanya tiba-tiba sakit. Sekelebat gambaran melintas di pikirannya: ada Alfred, kerumunan rakyat peri, dan teman-teman Alfred yang menyorakinya bersama beberapa peri lainnya, beberapa pecah belah melayang ke arahnya.
"Kau tak apa-apa?!" dokter Ames tampak panik, memegangi bahu Milena dengan cemas.
"Kepalaku akhir-akhir ini sering sakit dan gambaran-gambaran tak beraturan sering muncul menyertainya," Milena memegangi kedua sisi kepalanya, telinga berdenging.
"Gambaran apa?"
"Beberapa penduduk peri tampak marah padaku. Mereka melempariku barang pecah belah dan satu-satunya temanku mencoba menolong tapi sia-sia. Lalu ada pohon persediaan kami. Aku tak tahu apa maksudnya," ia menyandarkan dirinya ke sofa, matanya menatap langit-langit, berusaha agar kesadarannya tetap bersamanya.
"Apa kau sudah melakukan pemeriksaan pada kepalanya? Apa tak ada luka atau apapun?" dokter Ames menoleh pada dokter Chris, panik.
"Semua hasil tesnya baik! Tak ada yang salah dengannya! Dia manusia tersehat yang kutemui! Aku sampai heran sendiri!" dokter Chris berdiri, berjalan memutari meja, dan meraih tubuh Milena secepat mungkin. Ia mengangkatnya dan membaringkannya pada sofa panjang yang ada di depan pintu masuk. Tangannya memeriksa bola mata Milena, memeriksa denyut nadinya, dan menyuruh Milena bernapas perlahan.
"Kalau begitu ada apa dengannya? Apa mungkin ini dampak trauma psikis? Atau apa? Oh! Ini bukan di bidangku! Aku benci merasa tak berdaya!" dokter Ames berjalan hilir mudik memegangi kepalanya, kebingungan.
"Dia baik-baik saja. Hanya kelelahan, tak ada yang aneh. Hal ini yang benar-benar menggangguku. Mungkin ini memang psikosomatis. Kurasa pikirannya terlalu membebani tubuhnya," dokter Chris berdiri dan melipat tangan di dada.
"Kurasa sudah saatnya dokter Ames memberiku obat, dokter Chris. Aku benci obat, tapi jika seperti ini aku tak tahan," erang Milena kesakitan. Ia memijat-mijat ke kedua ujung keningnya di antara batang hidungnya. Nyaris menyodok kedua matanya saking inginnya meredam rasa sakit yang muncul.
"Kurasa dia benar," sahut dokter Ames, mengangguk cepat.
"Ada apa denganmu? Kau ini dokter psikiater. Kau tahu kalau obat hanya memiliki efek sementara menghilangkan rasa sakitnya jika yang dialaminya itu adalah psikosomatis. Dia bisa ketergantungan obat jika kau mencecokinya resep penahan sakit dan anti-depresan terus-menerus!" pekik dokter Chris dengan nada tertahan, "ini seperti bukan dirimu saja." Ia memutar bola mata.
"Oh? Maafkan aku? Aku panik! Milena sudah kuanggap sebagai keluarga sendiri! Dan aku menyembunyikan fakta tentang hasil tesnya! Ditambah aku tak berdaya dengan kondisinya yang seperti ini! Kau mau berharap bagaimana padaku? Aku akan memberinya resep! Dosisnya akan kuatur jangan sampai berlebihan! Ini membuatku kesal!" Akunya dengan nada marah, kedua tangannya bergerak-gerak di udara. Ia menggelengkan kepala keras-keras, berjalan menuju meja kerjanya dan mulai menulis sebuah resep.