"Milena! Kau harus menemui temanku, seorang psikolog! Dia sangat baik dan ramah. Jika kau hanya mengandalkanku sebagai teman curhat, aku sama sekali tak berdaya! Keahlianku hanya pada obat-obatan! Aku buruk dalam memberi nasehat!" cerocosnya masih menulis resep, kedua bahunya naik, kepalanya menggeleng keras.
"Oh... dokter Ames... Tidak begitu... aku yang keras kepala... itu sudah sifatku... aku yang tak mau menerima saran dan kritik dari orang lain... kurasa itu sudah ada dalam darah pemberontak sepertiku... " Milena terkekeh, suaranya serak.
"Kau harus menemui psikolog, Milena. Obat-obatan medis tak akan banyak membantu jika masalah itu berasal dari dirimu sendiri," dokter Chris menghempaskan diri ke sofa lain.
"Yeah, kurasa aku harus mulai menyesuaikan diri di dunia manusia. Aku manusia sekarang. Hidup sesuai aturan manusia. Aku tak peduli lagi ada yang percaya padaku atau tidak. Aku akan tetap mencari cara agar aku bisa kembali menjadi peri. Aku tak seharusnya berada di sini, dokter Chris..." ucapnya dengan nada memelas, ia menatap sang dokter dengan tatapan nanar. "Mungkin keberadaanku tak penting bagi siapapun. Di dunia asalku, aku bahkan tak disukai."
Mereka semua terdiam.
"Mungkin kau harus mengubah caramu berkomunikasi dengan mereka. Komunikasi yang baik terjadi jika kedua pihak menerima hal yang sama satu sama lain," dokter Ames bersandar di kursinya, ujung polpennya menyentuh dagu, mulut mengerucut.
"Aku tak tahu. Mereka menyebalkan. Semua tanggung jawab dan tetek bengek kerajaan harus kupikul di usia muda saat semua peri menikmati masa kecil mereka yang indah dan penuh tawa. Sedang aku? Aku harus begini. Aku harus begitu. salah sedikit akan dimarahi. Ketika aku melakukan hal yang benar, mereka berkata aku salah, begitu pula sebaliknya. Aku jadi serba salah! Aku tak bisa mengerti apa maunya mereka! Aku muak dan mulai membakar satu persatu buku yang ada di perpustakaan kerajaan." Ia mendesah pelan.
"Kau tak pernah menceritakan soal itu padaku."
"Kehidupan peri tak seindah dongeng di buku anak-anak, dokter Ames. Yeah... aku sudah baca tentang peri dari sudut pandang manusia. Kami juga punya konflik seperti di dunia manusia. Kurasa peri adalah makhluk egois dan sok suci. Merasa diri paling benar padahal kerjanya hanya bisa menghakimi peri lain. Entah kenapa aku senang menjadi manusia saat ini," kepala ditengadahkan ke arah dokter Ames.
"Bisa juga karena David!" celutuk paman David, tersenyum jahil.
"Dokter Chris!" erang Milena.
"Yeah. Sangat jelas, kan?" Sang dokter wanita tersenyum pada rekannya.
"Aku seperti menonton drama tv secara langsung," ia tergelak, "mberdua tak mengakui perasaan masing-masing. Padahal kontak fisik dan gerakan tubuh mereka jelas-jelas lantang berbicara. Aneh, bukan?" tambahnya lagi.
"David hanya kasihan padaku... tidak lebih..." Milena duduk menyandarkan punggung. Mukanya cemberut. "Aku bahkan tak yakin apa aku menyukainya..."
"Apa kau sadar sedang mengakui perasaanmu saat ini?" sindir paman David.
"Aku..." Milena terdiam, mukanya memelas.
"Hmm... konflik yang sulit. David bisa menjadi obat buatmu. Cinta adalah obat yang paling manjur di dunia," komentar dokter Ames, tersenyum kecil.
"Hah! Akhirnya kau punya sisi romantis juga!" dokter Chris mendengus geli, dan hanya dibalas dengan tatapan tak percaya.
"Baiklah. Aku akan coba untuk tidak keras kepala. Aku akan ikut terapi itu. Mungkin saja bisa membuatku mengingat hal-hal yang kulupakan sebelum berada di dunia manusia. Aku akan berusaha mencari cara agar kembali menjadi peri. Jika sudah tak ada jalan kembali, kurasa aku harus belajar menerima kenyataan dan menjalani hidup sebagai manusia. Aku buruk dalam bekerja. Kerja tim bukanlah bidangku." Milena menyilangkan tangan di dada, kedua bahunya merosot.
"Bagus. Selalu ada yang pertama untuk semua hal." Dokter Ames tersenyum, dan dengan sedikit reaksi penuh gembira, ia melanjutkan, "dia pria yang sangat menarik! Aku jamin terapi hipnosismu tidak akan membosankan! Apalagi kaku!"
Milena hanya bisa nyengir pasrah.[]