Chapter 117 - Kegilaan Yang Semu (2)

Tangannya gemetar meraih dokumen itu. Lembar demi lembar dibukanya, dibacanya sekilas pada angka-angka yang tak dimengertinya, lalu pada lembar terakhir, ia melihat sebuah kalimat yang membuat emosinya naik turun:

Kesimpulan

1. Subyek mengalami depresi, mengalami kecemasan berlebihan.

2. Keterangan subjek dapat dipercaya (dengan batas-batas syarat yang diterima)

3. Subyek memerlukan bantuan terhadap masalah yang dihadapi.

Di bagian bawah terdapat beberapa coretan yang Milena yakini sebagai tulisan tangan dr. Ames.

- Kemungkinan memiliki trauma masa lalu yang kelam.

- Tindakan lari dari kenyataan.

- Butuh terapi mental. Delusinya nyaris parah. Imajinasinya tinggi, tapi sungguh memprihatinkan.

- Butuh dukungan moral dan kehangatan orang-orang di sekitarnya.

Kedua tangannya mencengkeram sisi dokumen hingga nyaris robek, air matanya nyaris tumpah. Tak ada yang mempercayainya! Dr. Ames yang selama ini yang ada disisinya diam-diam menilainya sekejam itu! Terapi mental? Trauma masa lalu? Imajinasi? IMAJINASI? Kata-kata itu bergema di kepalanya, membuatnya merasakan sakit kepala lagi. Ia memijat satu sisi kepalanya, punggungnya kembali terasa nyeri, Milena meringis. Perasaannya kini menjadi kacau. Berbaikan dengan dr. Ames sepertinya bukan ide baik saat ini. Dan kata 'delusi' mengingatkannya pada perbuatan Max! Dadanya naik turun, rasanya ia ingin berteriak histeris, melempar apa saja yang ada dalam jangkauannya, dan mulai merusak segala sesuatu yang ada di depan matanya. Seluruh tubuhnya mulai gemetar dan siap melempar dokumen itu ke lantai, tapi dr. Ames muncul tanpa peringatan di depan pintu.

"Milena?" Suara itu bukan suara dr. Ames, melainkan dr. Chris.

Ia berbalik, dokumen yang nyaris dilemparnya kini di buang begitu saja di atas meja tamu. Suaranya terdengar marah dan bergetar. "Apa ini?" ia mengatupkan rahang keras-keras, matanya menatap tajam pada dr. Ames.

Dr. Ames tampak terkejut, mulutnya terbuka lalu menutup. Kedua bahunya merosot. "Duduklah, Milena." suara dr. Ames dibuat sehalus dan selembut mungkin. Ia menggiring Milena yang marah dan kebingungan ke sofa kecil, sementara ia dan dr. Chris duduk di sofa panjang.

"Apa yang ingin kau ketahui?" dr. Ames menuding dokumen itu dengan ujung matanya.

"Semuanya." katanya Milena mantap dan penuh penekanan.

"Sepertinya ini akan jadi pembicaraan yang brutal." dr. Chris mendesah.

"Apa ini artinya kalian bersekongkol?" Tuding Milena.

"Tidak! Tak ada persengkongkolan di sini, Milena." Pekik dr. Ames. Raut wajahnya terlihat serius.

"Lalu?"

"Kami tak ingin memperlihatkanmu hasil yang sesungguhnya. Takutnya bakal membuatmu semakin parah. Seperti saat ini." dr. Chris yang menjawab.

"Tapi aku tidak depresi! tidak berimajinasi! Aku peri sungguhan!" Tangan kirinya ditepuk-tepukkan pada dadanya, suaranya terdengar seperti memohon.

"Maafkan kami, Milena. Bukannya kami tak ingin mempercayaimu. Tapi kebenaran membutuhkan bukti. Dan sejauh ini kau tidak bisa membuktikan bahwa dirimu adalah peri." Milena yang mendengar pengakuan itu serasa ditusuk berkali-kali tepat di jantungnya, serasa ribuan jarum tertancap di sana dan menggerogoti tiap inci pembuluh darahnya, sakit dan pedih. Ia kehilangan kata-kata. "Itu hasil tesmu dan di bawahnya hanyalah pendapat pribadiku, aku tahu itu terdengar kejam! Tapi aku berusaha menolongmu, Milena!" lanjutnya lagi.

"Tak bisakah Anda menolongku dengan hanya percaya padaku jika aku adalah peri?" Air matanya mulai menuruni pipinya, ia menelan ludah berat, "tidak semua hal membutuhkan bukti dr. Ames. Terkadang kau hanya butuh kepercayaan pada sebuah kebenaran. Bukti tak selamanya bisa menjamin sebuah kebenaran. Bukti palsu bisa menenggelamkan kebenaran dr. Ames! Tempat dan waktu yang salah bisa membuat seseorang dalam masalah jika terlibat suatu tindakan kriminal! Jika aku memegang pisau berlumuran darah dan di depanku ada orang mati tertusuk pisau, apakah kau percaya kalau aku yang membunuhnya? Bukti apa yang harus aku tunjukkan pada Anda jika aku dalam keadaan seperti itu? Aku tidak butuh dukungan moral dan kehangatan orang-orang di sekitarku! Aku butuh dipercayai! Aku tahu kalau aku adalah peri pembuat onar dan suka berbuat jahil! Tapi tidak semua hal adalah salahku!"