"Eng... y-ya... sangat sulit... " gumamnya, menelan ludah pahit.
Tentu saja sangat sulit melupakan sosok mengerikan dan munafik seperti Max. Bagaimana ia bisa melupakan orang yang mengancam dan mengintimidasinya hingga seluruh tubuhnya merinding ketakutan?
"Ini campuran blueberry, strawberry, dan kesukaanmu, pisang!" Ia meletakkan kotak jinjing itu di atas meja geser.
"Terima kasih—" suara Milena tercekat, memandang kotak itu dengan bingung.
"Kau tak usah repot-repot begini, Max. Tapi, terima kasih!" David berdiri dari kursinya dan membuka kotak jinjing itu. "Sepertinya lezat." Pujinya.
"Tentu saja! Kurasa Milena belum pernah mencoba es krim, bukan?" Ia mengedipkan sebelah mata dengan genit, tersenyum dingin pada Milena, dan David tak melihatnya karena terlalu sibuk berhati-hati mengeluarkan sebuah kue es krim yang terlihat begitu indah: di sekelilingnya ditempeli potongan strawberry dan di bagian atas terdapat blueberry menutupi semua permukaannya.
Kerongkongan Milena seolah dijejali duri, kedua tangannya kembali mulai gemetar, cepat-cepat ia menarik tangannya ke bawah meja geser supaya David tak melihatnya.
"Hadiah yang indah. Apa kau mau cicipi, Milena?" tanya David.
"Eng.... Itu...." Ia sulit memutuskan.
"Kudengar tadi kau menerima sesuatu dari orang asing?" Ia mengedip lagi pada Milena, lagi, David tak melihatnya.
Milena tak bisa menjawabnya, takut jika membuka mulut maka suaranya akan gemetar, dan David pasti mencurigai sesuatu, semisal apa kesehatannya sedang bermasalah.
Lama tak menjawab, David akhirnya membuka suara, terdengar kesal, "ya! Dia ceroboh sekali! Dia mendapat cokelat dari orang asing. Aku sudah memperingatkannya agar tidak mengulanginya." tangannya sibuk memotong es krim, kepala mengedik ke arah kotak cokelat di atas meja dekat Milena.
"Sungguh ceroboh kalau bergitu..." Max mengucapkannya dengan nada yang datar dan dalam, tatapannya pada Milena begitu arogan. "Untung saja tak ada racun di dalamnya."
Mendengar kata 'racun' yang sengaja diberi intonasi khusus membuat darah Milena mendidih. Sekarang ia yakin kalau pembicaraan rahasia kecil mereka bukanlah mimpi atau halusinasinya. Seketika itu tangan Milena mengepal kuat, rahangnya mengatup. Reaksi itu membuat Max diam-diam tersenyum geli.
"Apa cokelat ini hadiah dari orang misterius itu? Kau dapat penggemar rahasia rupanya." Max berjalan ke meja dekat Milena, membuka kotak cokelat itu seraya mengedip nakal padanya, lagi, yang entah untuk keberapa kalinya. Ia memunggungi David, jadi ia leluasa mengejek Milena dengan seringai jahatnya.
"Milena memang cantik dan mempesona. Aku tak akan heran dengan hal itu," kata David. "Tapi tetap saja sungguh salah menerima pemberian seperti itu. Sangat berbahaya dan ceroboh." tambahnya seraya menggeleng.
"Yup. Kau benar..." Tatapan Max kini menjadi lebih dalam dan jahat, suaranya serak dan dalam. Ia membalikkan badan, berseru. "Cokelatnya enak! Mengandung alkohol! Kesukaanku!" Mulutnya mengunyah cepat satu gigitan besar, menghempaskan diri ke sofa, dengan tangan dijilati serampangan.