"Aku tak tahu. Saat aku mengecekmu beberapa saat lalu, tas kertas ini tergantung begitu saja di balik pintu. Ini untukmu, tertulis demikian." Matilda mengeluarkan sebuah kertas kecil segiempat dari dalam tas. "Untuk Milena, Maafkan aku." Ia mengeryikan kening membaca pesan itu. "Apa kau sedang bertengkar dengan seseorang?"
"Hmm..." Milena berpikir sejenak. Ia memang berdebat dengan dokter Ames, tapi sekotak coklat untuk berbaikan? Bukankah itu terlalu biasa? Toh setiap hari ia menerima cokelat darinya. "Entahlah. Tadi aku baru saja berdebat dengan dokter Ames. Mungkin dia ingin baikan?"
"Kapan kau berdebat dengannya?"
"Sebelum ke ruangan ini."
Matilda tampak bingung. "Tas ini tergantung saat kau tak ada di ruangan. Sekitar pukul sembilan lewat, soalnya dokter Chris menghubungiku sekitar waktu itu."
Ia menyodorkan catatan kecil itu. Milena meraihnya. Tulisan tangan yang sangat indah dan rapi. Artsitik kalau bisa dikatakan.
"Aneh. Aku ke ruangan dokter Ames beberapa menit setelah David pergi. Sekitar pukul delapan tiga puluh lewat. Dan aku kembali ke ruangan ini hampir jam makan siang."
"Berarti bukan dokter Ames. Lalu siapa?" Matilda terlihat lebih kebingungan daripada Milena sendiri.
"Kau tak mencariku saat melihat hadiah ini?" nada suara Milena agak memaksa dan setengah menyalahkan.
Ia menggeleng pelan. "Maafkan, aku. Kupikir itu tak terlalu penting. Hadiah, ya, hadiah. Jadi aku menyimpannya saja dulu sampai kau kembali dari ruangan dokter Ames. Aku tadi sibuk memberikan bantuan di bagian Unit Gawat Darurat, jadi baru sempat kemari."
Ia memandang jam dinding dengan perasaan bersalah, jam makan siang sudah lewat sejam lalu.
"Matilda, kau terlalu sibuk." sindirnya halus.
"Maafkan, aku. Kenapa kau tak membuka saja apa isi hadiah itu?" Ia menuding hadiah itu dengan ujung matanya.
"Sungguh mencurigakan." Gumamnya pelan.
"Kurasa itu bukan bom. Jadi bukan masalah besar." Komentarnya datar.
"Yeah... Bom..." Milena terkekeh. Ia mengingat sebuah film aksi yang ditontonnya diam-diam bersama Matilda saat dokter Ames sibuk di luar rumah sakit.
Tangannya meraih sebuah kotak persegi, dibungkus indah dengan kertas kado coklat putih bintik-bintik, ada bunga-bunga kecil di puncak kotak tersebut yang melekat pada sebuah pita putih sebagai pengikat kotak. Ia mengguncang isinya.
"Kira-kira isinya apa, ya?"
"Kenapa kau tak membukanya saja?" Mulut Matila mengerucut tak sabar.
"Baiklah..." perlahan ia membuka pita kotak itu, membuka perekat pada kertas kado, hati-hati agar tidak robek.
Jantungnya berdebar, ini adalah pertama kalinya ia menerima sebuah hadiah. Dan hadiah itu sungguh indah menurutnya. Bahkan Alfred, yang notabene adalah teman sedari kecilnya tak pernah memberinya hadiah apapun. Seketika itu juga ia merutuki Alfred. Dari balik kertas kado, terlihat sebuah kotak putih polos dengan sebuah persegi hitam di tengah, ada sebuah kata tercetakdi sana: Amedei.