"Sampai jumpa!" Teriak Milena terbahak.
"Tanyakan Matilda atau dokter Ames jika ada kata yang tak kau ketahui." Balasnya dari balik dinding.
"Tentu!"
Helaan napasnya panjang dan keras. Bahunya merosot. Diamatinya sampul buku itu baik-baik, kepalanya tiba-tiba terasa sakit menusuk. Tidak begitu parah seperti semalam. Tak ada kilasan ingatan aneh atau apapun. Tangannya memijat-mijat pelipisnya sebentar. Lalu Ia membalik buku itu dan membaca beberepa kalimat di sana. Ia menganggukkan kepala tanda mengeri, kemudian termenung.
Oh.... Rasanya aku sudah rindu aja sama David. Batin Milena pasrah
***
Buku-buku yang diberikan oleh David ternyata sangat menarik. Membuat rasa penasarannya terpompa, adrenalinnya seperti dipicu, sama ketika ia membuat onar di dunianya. Ada beberapa kata dan kalimat yang tak diketahuinya, jadi ia putuskan membaca di ruangan dokter Ames.
"Dokter Chris terkadang berlebihan. Tidak heran dia begitu terobsesi dengan kasusmu, belum lagi membiayai perawatanmu. Kupikir, dia itu lebih cocok menjadi peniliti saja atau sekalian buka lembaga amal saja, bukannya dokter." Tukas doktee Ames, ia memeriksa beberapa file, menandatanganinya, kemudian menyusu rapi di sudut meja.
"Ya! David berkomentar hal yang sama. Kurang lebih! Paman dan keponakan sama saja." timpal Milena, tergelak. Ia berselonjoran di sofa, kaki menyilang, mulut mengemut permen, dan otaknya sibuk mencerna kata-kata dan kalimat yang tercetak di buku. Banyak istilah asing di sana.
"Apa kau tak merindukannya?" serta merta sang dokter menanyakan hal ganjil, kening Milena bertaut, ia merenung sejenak.
"Kepada siapa?" Ia mendongakkan kepala, melihat dokter Ames secara terbalik.
"David! Siapa lagi?"
Milena terhenyak, lalu berbohong secara terang-terangan, "kupikir tadi maksudnya dokter Chris." Ia tersenyum lebar.
"Kau sama sekali tak menyerah berbohong padaku, huh?" sang dokter terkekeh.
"Well, aku akan berusaha sampai anda, dokter Ames, tak tahu aku sedang berbohong."
"Yeah. Satu-satunya yang sulit kupecahkan adalah cerita tentang peri-mu."
"Akan lebih bagus jika saja Anda tahu kalau aku tak berbohong soal itu." Perbincangan ini menarik perhatian Milena, ia bangkit dari sofa, meletakkan bukunya, lalu melipat tangan di dada.
"Itu cerita yang luar biasa, jujur saja. Peri pekerja, peri tambang, prajurit istana, peri bangsawan... Sungguh sebuah tatanan sosial yang apik. Aku bukan penggemar cerita fiksi fantasi, tapi mendengarnya secara langsung dari pasien sepertimu, harusnya kau membuat novel saja." Dokter Ames berdiri dari kursinya, berjalan menuju sofa kecil dan duduk terhenyak di sana, matanya menerawang jauh, satu tangan menempel di dagunya.
"Tentu saja! Karena itu nyata! Peri itu nyata! Dan aku tidak gila atau mengalami gangguan mental apapun! Kukira kita sudah membahas ini, dokter!" itu adalah amarah pertama Milena yang keluar di hadapan dokter Ames, dan dokter itu cukup terkejut, detik berikutnya ia biasa-biasa saja.