Chapter 89 - Cokelat Misterius (1)

Di hari Jumat, David datang berkunjung lebih cepat dari biasanya, jadwal kuliahnya penuh sampai menjelang senja nanti. Itu membuat Milena agak kecewa. Waktunya bersama lelaki itu akan berkurang, dan hal paling buruk akan dirasakannya sepanjang sisa hari ini: rindu yang amat sangat. Kehangatan tangan David masih terpatrit jelas diingatannya, bahkan ia masih bisa merasakannya hinggat detik ini.

"Apa aku sebaiknya membolos saja?" tanyanya pada Milena yang sedang menyeruput coklat hangatnya. David terlihat menimbang-nimbang pikiran itu.

"Tidak!" seru Milena, David terkejut mendengarnya. "Kau tahu? Aku tak ingin jadi batu sandunganmu. Jika itu penting, kau harus pergi! Kelas atau apalah itu—aku tak tahu, hadirilah! Masih ada hari esok." suaranya melembut.

David terbahak. "Sejak kapan peri pembuat onar ini tak ingin jadi batu sandungan?"

"Hei! Kasar sekali!" Milena terkekeh pelan.

"Baiklah. Aku akan ke kampus. Berjanjilah kau tak akan melakukan sesuatu yang membuatmu keluyuran tidak jelas. Aku tahu kau pasti bosan. Maka dari itu aku bawakan beberapa 'novel' untukmu." David mengeluarkan beberapa buku tebal dari ranselnya.

"Jadi, ini yang namanya novel?"

David mengangguk cepat mendengar pertanyaan itu, mata Milena mengikuti buku-buku itu di letakkan di atas meja. Lebih mirip buku-buku tentang sekumpulan protokol kerajaan dan kepribadian yang dulu dibacanya, hanya saja sampulnya terlihat lebih menarik.

"Cewek-cewek suka dengan genre novel seperti ini: cinta, fiksi, pengorbanan, fantasi...." David menggeleng geli, seraya mengangkat bahu, heran dengan semua itu.

"Kau tak suka?" tanyanya penasaran, ia meraih satu buku dengan sampul berwarna jingga. Sebuah novel tentang penyihir cilik.

"Tidak. Aku lebih suka bermain game atau membaca jurnal fisika." Ia menyampirkan ransel di bahunya, "pilihan bagus! Itu sangat mendunia! Aku suka film-nya, tapi malas membacanya."

"Oh! Ini ada film-nya?" Milena terdengar antusias.

Dokter Ames sesekali menghabiskan waktunya bersama Milena dan Matilda, menonton beberapa film yang cukup menarik setelah sesi konsultasi berakhir. Kebanyakan adalah film 'penuh inspirasi'. Dan sang dokter bukan tipe penyuka kekerasan, jadi sejauh mungkin ia menghindari film-film yang berunsur penuh darah, rentetan peluru, atau ledakan. Ia perempuan berhati lembut dan sangat peka. Kemarin dulu, mereka bertiga menonton Titanic dan isi kotak tissu di atas meja tak cukup untuk mengelap air mata mereka yang membanjiri suasana haru biru itu, Matilda sampai lari tergopoh-gopoh ke bagian administrasi mengambil tissue tambahan.Tangisan sang dokter yang paling keras dan berisik, padahal sudah dinontonnya puluhan kali, tetap saja air matanya meleleh. Semua orang di bangsal itu mengira ada kematian tragis yang terjadi

"Ya! Kapan-kapan kita nonton sama-sama, Milena. Kalau begitu aku pergi."

David melambaikan tangan, berjalan mundur ke arah pintu sementara matanya tampak tak rela meninggalkan ruangan itu, mulutnya mengurucut manja.