Chapter 84 - Rasa Yang Terlarang (6)

Jantungnya berdetak sangat keras saat kakinya mencapai batas pintu. Itu dia! Lelaki yang membuatnya merasa istimewa. Milena menelan ludah berat, tangannya yang memegang botol mulai gemetar.

"Kau baru tiba?" suara Milena terdengar kaku.

David berbalik, tersenyum kecil, "Ya. Aku ingin menata semuanya dulu baru ke ruang dokter Ames. Sepertinya itu tak perlu lagi."

Pandangan mata Milena beralih dari wajah tampan David ke arah meja kecil dekat jendela. Ada muffin pisang, jus jeruk, dan roti isi. Di sebelahnya ada keranjang buah cukup besar, isinya berbagai macam buah, tapi dominan pisang. Milena tersenyum lebar. "Dari dokter Chris lagi?"

David menggeleng. "Bukan, itu dari Max."

Seketika itu juga jantungnya serasa berhenti berdetak, bibirnya kelu. Tangannya kini gemetar karena rasa ngeri menjalar ke seluruh tubuhnya, bukan karena gugup, tapi ketakutan.

Rupanya, memikirkan hal itu lebih mudah daripada melakukannya. Tubuhnya secara alami merespon negatif terhadap nama itu.

"Kau baik-baik saja?" Ia memandang Milena cemas.

"Ah... " katanya ragu-ragu, ia berjalan kikuk menuju meja dan meletakkan kedua botol tadi, "pemberian dokter Ames," terangnya singkat.

"Milena?"

Milena terdiam sesaat, kemudian menggeleng cepat. "Aku tak apa-apa. Max orang yang benar-benar baik, ya?" menyebut nama Max membuat seluruh tubuhnya menegang.

David tak menyadari tingkah Milena yang aneh. Ia sibuk mengupas beberapa buah. Perempuan cantik itu tak tahu harus berkata apa. Selama beberapa menit, ia hanya duduk terdiam mengawasi David mengupas buah, memotongnya, lalu menatanya secara hati-hati di piring.

"Kenapa kau menatapku seperti itu?" David terkekeh, masih mengupas buah.

Milena salah tingkah. "Tidak. Aku tidak menatapmu. A-aku menatap buah itu." Tunjuknya pada apel di tangannya.

Lelaki itu tak berkata apa-apa, hanya kembali terkekeh. Kesal, Milena berjalan ke tempat tidur, menyambar selimutnya, dan tidur memunggungi David, ngambek.

"Kau tak mau menceritakan dunia peri lagi?" tanyanya pelan, suara David terdengar serak dan dalam. Suara yang menurut Milena sangat seksi.

"Kau, toh, tak mendengarkan juga." Balasnya menggerutu.

"Aku tak percaya pada ceritamu, bukan berarti aku tak suka mendengarnya." Jelasnya singkat, padat, dan jelas.

"Sungguh?" Tanyanya penuh antusias, ia berbalik menatap David yang kini berjalan ke arahnya.

"Ya. Kau tahu? Kurasa kita bisa bikin novel dengan ceritamu." Gurau David, tapi Milena hanya bengong mendengarnya.

"Novel?"

"Eng... itu semacam cerita fiksi atau non-fiksi yang dijilid. Kau mengarang sebuah cerita, mengirimnya ke penerbit, kalau mereka setuju dengan ceritamu, mereka akan menerbitkannya. Dan kau bisa dapat uang dari itu." Terangnya sambil nyengir.