"Apa itu normal? Milena, tak ada orang yang tanpa alasan kuat membenci seseorang sampai seperti itu. Apalagi ini pertemuan pertama kali!" nada suara dr. Ames terdengar cemas, tubuhnya menegang.
Saat itulah Milena benar-benar menyadari jika Max orang yang berbahaya dan jauh dari normal. Bulu kuduknya kembali meremang.
"Berjanjilah padaku kau tak akan mengatakan hal ini pada siapapun, dokter Ames. Utamanya pada David" ia melempar tatapan tajam, bibirnya terkatup rapat.
"Itu ide buruk."
"Kita belum tahu itu."
Mereka berdua terdiam.
Ada jeda sejenak, lalu Milena berdeham sekali dan berkata, "soal David. Apa aku bisa memasuki hatinya, anggaplah ia memiliki luka masa lalu akan cinta, apa aku punya peluang meski hanya secuil debu?" kerongkongannya kering saat mengatakan itu.
Dokter Ames kembali santai. "Luka batin memang agak pelik. Posisi seperti itu bisa seperti pedang bermata dua, entah membuatmu patah hati atau memberimu keuntungan. Jika kau mendekatinya dengan cara yang tepat, luka batin itu bisa menjadi pintu masuk bagimu. Kejam, tapi seperti itulah adanya."
Senyum tersungging di wajah Milena. Ia tahu agak tak pantas bersikap demikian, tapi hatinya tak bisa berbohong kalau ia senang mendengarnya. Ancaman Max tak ada apa-apanya saat ini, ia ingin lebih dekat dengan David, si penolong tampan yang baik hati. Ia dulu adalah peri pemberontak, seberapa susahnya melawan satu orang seperti Max?
"Kalau begitu, sesi kali ini cukup sampai disini," ia meraih dua botol tadi, "rahasiakan ini dari siapapun, kumohon!" katanya dengan raut wajah pura-pura memelas, detik berikutnya tergantikan dengan senyum ceria di wajahnya.
DokternAmes tak menjawab, ia hanya menatap tajam Milena, mulut mengerucut tak senang.
"Jangan menatapku seperti itu, oh, kumohon..." ia memutar bola mata, tergelak.
"Hati-hati saja, Milena." Pintanya lembut.
"Tentu!" ia pun melenggang meninggalkan ruangan dengan senyum merekah. Dokter Ames hanya bisa geleng-geleng kepala.
***
Memikirkan perkataan dokter itu sebelumnya membuat aliran darahnya kembali bergejolak, pipinya memerah. Terbayang wajah David tersenyum di benaknya, membuatnya tanpa sadar menjerit histeris di lorong rumah sakit. Beberapa orang menoleh padanya tampak penasaran bercampur kesal.
"Maaf!" serunya riang.
Buru-buru ia segera pergi dari tempat itu sebelum ada yang menegurnya. Ia tak ingin membuat keonaran di dunia manusia, terlebih jika ada David di tempat itu. Ia tak bisa menahan perasaan terlarang yang dirasanya saat ini–menurut Max secara pribadi. Lelaki aneh itu tak bisa membuatnya gentar.
Jika lelaki itu bersikap jahat padanya, maka ia juga akan bersikap sama! Bukan hanya dia saja yang bisa bermuka dua. Toh ia dulu ahlinya berbuat onar di dunia peri. Status musuh publik juga rasanya disandangnya tanpa sebuah alasan. Ia tak akan takut lagi saat lelaki itu mengancamnya. Semua ide dan pikiran itu membuat adrenalinnya terpacu, ia pun berlari menuju ruangannya.