Ruang kerja itu sangat menyenangkan.
Dindingnya bercat krem kuning ceria, ada dua lukisan yang tergantung di dinding: satunya lukisan sangat realistik (besar, terang, dan jelas seperti gambar HD, berhadapan dengan sofa panjang dekat pintu tempatnya tadi berbaring) berupa beberapa pepohonan hijau yang mulai menguning, posisinya agak miring, tertimpa cahaya matahari pagi sehingga membuat siapa pun yang melihat merasa sejuk, tentram, dan damai. Lukisan itu mengingatkannya akan hutan tempat tinggalnya, lalu satunya berupa tumpukan gradasi warna jingga yang saling menimpa di atas kanvas putih tergantung di atas sofa, semakin ke atas, warnanya semakin terang dan menyisakan tiga perempat tanpa sapuan apa-apa. Kadang ia merasa bingung menatap lukisan jingga itu tiap kali ia memasuki ruangan, walau sangat sederhana dan tak ada arti apa-apa di baliknya, hatinya menjadi ceria.
Rak penuh buku di dekat jendela. Ada sebuah guci besar dengan bunga plastik di sudut ruangan. Di sudut ruangan lain, ada TV layar datar (Milena sempat ternganga dengan keajaiban kotak persegi empat itu saat David memutarnya di kamarnya, matanya tak berhenti mengerjap cepat). Selain sofa panjang, ada beberapa sofa kecil lagi dalam ruangan itu, di depannya ada meja kecil—sekotak tisu dan lilin aroma terapi tertata apik di atasnya.
"Baiklah... " katanya agak ragu, ia memutar tubuhnya ke sofa panjang, meraih bantal, menghempaskan diri kemudian menyilangkan kaki.
"Mulailah."
"Hmm... dokter Ames... kau pernah menjelaskan beberapa jenis penyakit mental padaku. Salah satunya adalah orang yang berkepribadian ganda. Apa orang seperti itu berbahaya?" Ia melirik dokter Ames yang duduk di sofa seberang ruangan, duduk bersandar dengan posisi santai.
"Ya. Umumnya gangguan mental itu berbahaya. Seperti apa orang itu? Apa dia pernah menyakitimu?"
"Tidak juga. Hanya saja orang itu aneh. Awalnya baik, lalu detik berikutnya seperti orang yang berbeda. Orang itu seperti menyembunyikan sifat aslinya dari publik dan menampakkannya hanya pada orang yang ingin diintimidasinya saja. Secara keseluruhan lebih mirip munafik. Pandai memanipulasi orang dan ahli berbohong!" Milena memasang ekspresi tak suka, ia menggigit pinggiran lolipopnya keras-keras.
"Psikopat." simpulnya singkat.
"Psikopat?" kening Milena bertaut.
"Yeah. Aku tahu tak bisa langsung lompat ke kesimpulan itu. Bisa saja ia sedang 'bermain peran' atau dia orang yang memang seperti itu. Butuh tes untuk membuktikannya." dokter Ames berubah serius.
Milena tegang, tak biasanya sang dokter bersikap serius.
"Apa ini masalah seserius itu?" tanyanya hati-hati.
"Ya. Bisa saja. Apa orang itu sadar dengan apa yang ia lakukan padamu?"
"Ya! Sangat menyebalkan! Bersikap seolah-olah seorang pahlawan yang melindungi orang lemah dari orang jahat sepertiku." Ia nyaris memekik.
"Dia menganggapmu orang jahat? Kenapa?" desaknya ingin tahu.
"Itu. Hmm... aku tak bisa mengatakannya..." Ia mendesah pelan, gelisah.
"Apa orang itu David?" tudingnya.
"BUKAN!" bantahnya cepat, ia berdiri otomatis dari tempatnya. Terlihat frustasi. "David orang yang sangat baik. Aku suka David! Lembut, pengertian—walau ia terkadang mengabaikanku jika mulai bercerocos soal status peri-ku, penuh perhatian, dan..." kata-katanya terpotong, Milena menggurutu, tanpa sadar ia mengakui perasaannya tentang David.