"Jadi... apa kau... punya... ehm... seseorang yang spesial...?" tanyanya hati-hati, "kau tahu? Aku merasa tak enak jika kau terus menerus mengurusiku sementara—"
"Tidak ada." David memotong perkataan Milena, cepat, tegas, dan diselingi senyum lebar.
Entah kenapa, rasanya jantung Milena serasa ingin meledak, ia tersenyum samar-samar. Rasa gembiranya disembunyikan dengan berdeham sekali. Nyaris ketahuan kalau ia begitu bersemangat!
"Belum pernah pacaran atau...?" Ia memandang David dari balik bulu matanya, pertanyaan itu lebih seperti interogasi daripada hanya ingin sekedar asal tahu.
"Aku diputuskan secara sepihak. Tragis. Sangat memalukan jika aku ceritakan." David terkekeh, agak malu-malu.
Milena tak memberi respon. Jadi yang dikatakan Max itu benar? batinnya.
"Kenapa tiba-tiba membahas diriku? Apa kau sudah capek dengan pernyataan status perimu?" tanyanya setengah bercanda.
"Bukan begitu. Kau tahu? Sangat tidak benar jika aku mendapat perhatianmu selama ini. Menyusahkanmu dengan segala hal konyolku. Rasanya tidak benar saja." Ia memandang David dengan tatapan bersalah.
"Kau bicara apa? Itu tidak benar."
"Yeah...." Milena hanya mendengus pelan. "Terima kasih sudah menghiburku." lanjut Milena.
Tak ada kelas untuk dihadiri, jadi David bisa santai bersama Milena sepanjang hari. Lelaki itu terus menemaninya—menggantikan peran Matilda sehari penuh; mengantarnya jalan-jalan pagi di taman, check up, mengawasinya minum obat, sampai tiba saatnya untuk konsul pada dokter Ames, atau dalam hal ini sebagai objek pengamatannya.
Saat jadwal konsul Milena dimulai, David memutuskan akan mencari makanan di luar rumah sakit, katanya sekalian membelikannya kue kesukaannya, muffin pisang
Milena tidur terlentang, mata tertuju pada jam dinding, tangan melipat sebatas perut.
Pikirannya merasa terganggu dengan kehadiran sosok Max. Dia mengerikan dan mengancam disaat yang sama. Ada untungnya juga, sih, setidaknya ia bisa memulai pembicaan mengenai David. Penasaran dengan karakter orang semacam Max, ia memutuskan untuk membahasnya dengan dokter Ames, tentunya dalam pertanyaan yang samar-samar.
"Dokter Ames." Katanya tanpa memalingkan tatapannya pada jarum jam yang bergerak.
"Ya?"
"Apakah di dunia ini, dunia manusia, orang jahat itu nyata?"
"Kenapa kau bertanya tentang hal itu? Apa ada yang mengganggumu akhir-akhir ini?" tanyanya curiga.
"Bukan begitu. Maksudku, orang yang sangat temperamen? Marah tanpa alasan. Aku orang yang temperamen, tapi itu karena aku kesal pada diriku sendiri dan melampiaskannya pada mereka yang memancing amarahku."
"Yeah. Ada orang yang seperti itu. Jumlahnya sedikit, jadi jangan cemas."
Milena menelan ludah berat. Yeah... dan ia bertemu dari salah satu jumlah yang sedikit itu.
"Kau bertemu orang itu, kan?"
"Baiklah! Aku mengaku! Susah sekali berbohong padamu, dokter Ames!" ia bangkit, mengibaskan kedua tangannya di udara dengan perasaan dongkol.
"Ini bidangku. Ok?" Ia tersenyum.
"Aku tak tahu bagaimana menjelaskannya. Ini agak sedikit rumit." Dengan perasaan lunglai ia menyambar permen lolipop dalam keranjang rotan.
"Tak ada yang rumit selama kau mau memikirkan jalan keluarnya. Begini saja, katakan padaku hal-hal yang menurutmu pantas dikatakan dan aku akan berusaha membantumu."
Milena menimbang-nimbang tawaran itu sambil mulai menjilat-jilat lolipopnya, matanya kali ini melirik pada beberapa bingkai berisi gelar dan piagam sang dokter di dinding belakang meja kerjanya.