"Aku dan dokter Chris berpendapat bisa saja ini adalah Hipokondria, tidak begitu yakin karena kau tak memiliki obsesi apa pun terkait penyakit, selain dunia peri." Ia berpikir sejenak, "bisa jadi apa yang kau derita adalah psikosomatis." Ia memandang Milena lekat-lekat.
"Aku tak tahu dan tak mau tahu, dokter. Yang kuinginkan saat ini adalah kembali ke duniaku. Walaupun banyak yang membenciku, tapi rumah adalah segalanya." suaranya terdengar sedikit bergetar.
"Jangan bersedih, Milena. Semua akan baik-baik saja nantinya."
"Yeah. Mungkin anda benar, dokterAmes. Tapi, pertanyaannya adalah kapan hari itu akan tiba?" bibirnya terasa kelu. Air matanya serasa ingin merebak. Sekuat tenaga ia menahan semua perasaan yang bergejolak di hatinya. Ia rindu dunianya. Sudah lebih seminggu ia berada di dunia manusia, Alfred barangkali berpikir ia sudah mati. Dia peri yang gampang cemas tidak karuan dan bertindak gegabah. Dugaannya, ia pasti sudah mengobok-ngobok isi hutan hanya untuk mencarinya. Penduduk lainnya? Milena yakin mereka sangat senang akan ketidakhadirannya. Peri normal mana yang tidak? Alfred dalam hal ini, bukan kategori normal di matanya.
Malam hari, David datang mengunjunginya. Kali ini tidak seperti biasanya, ia tak membawa makanan yang terbuat dari pisang, melainkan makanan China cepat saji dan bersama seorang teman. Namanya Max, perawakannya lebih tinggi dari David, garis rahangnya tegas dan diperkuat dengan rambut hitam ikal sebahu, matanya agak sipit, hidung mancung, alis hitam legam, dan kulitnya putih pucat seperti mayat hidup, tapi masih ada semburat rona merah mudah di sana, warna kulit yang agak tidak biasa. Ia memakai jaket hitam dengan dalaman kaos putih polos, teman sekelas David katanya.
Ketika orang asing baru itu memasuki ruangan, lelaki itu membeku sesaat di tempatnya. Sorot matanya sulit ditebak, Milena memicingkan mata keheranan.
Apakah aku begitu aneh? Pikirnya.
Sementara David berjalan menjauh darinya, ia dan lelaki itu saling tatap seolah-olah kehadiran David hanyalah udara kosong. Lelaki itu melangkahkan kaki seraya mengatupkan rahang, sekilas jika Milena tak memperhatikan dengan saksama, mungkin ia tak akan melihatnya tengah mengendus bau seperti menciumi aroma jijik, keningnya bertaut sangat cepat.
Milena meragukan penglihatannya seketika senyum khas terbingkai indah di wajah Max. Ekspresi itu berlangsung cepat. Sangat cepat. Hingga Milena akhirnya merasa yakin telah keliru dengan penglihatannya.
"Kau pasti Milena!" nada suaranya melengking riang, tangannya terjulur ke depan.
"Yeah. Itu namaku." Milena tak bisa menahan senyum canggung di wajahnya.
"Dia Max Issac." Kata David tenang, ia menyiapkan makanan di atas meja geser.
"Max! Senang bertemu denganmu." senyumnya sangat lebar hingga Milena sulit untuk tidak membalasnya.