"Yeah... Peri... Sebaiknya kau habiskan saja dulu makananmu." David mengambil apel di keranjang buah—pemberian dokter Chris, mengupasnya dengan serius.
"Bubur? Aku tak suka bubur!" Milena memandang jijik makanan yang ada di atas nampan.
"Yup! Suka tak suka. Harus kau habiskan jika ingin keluar dari sini." David menata potongan apel ke atas piring kecil dengan gaya artistik.
"Aku tak mengerti kenapa semua ini sampai terjadi." Nada suara Milena terdengar merana, ia memandang makanannya begitu pilu. Ia benar-benar tak begitu ingat apa yang terjadi semalam. Hal-hal dalam pikirannya begitu kacau, tak beraturan, dan seperti sebuah misteri yang menunggu untuk dipecahkan. Sebuah ingatan yang kuat baru-baru ini terlintas dipikirannya beberapa menit lalu: ia berada di dalam hutan terlarang sedang membuntuti seseorang. Entah siapa yang dibuntutinya. Kepalanya benar-benar sulit mengingat semuanya dengan jelas. Hanya berupa potongan-potongan ingatan kabur yang kadang-kadang muncul.
"Mungkin..." David menyodorkan sepotong apel padanya, "jika kau memulihkan tubuhmu. Semua akan menjadi lebih jelas."
Milena melirik lelaki asing itu. Keningnya bertaut.
"Oh! Aku David. Orang yang menemukanmu?" katanya mengingatkan, sebelah keningnya terangkat. "David Ivanovsky Stanley. Manusia. Hanya keturunan Rusia. Bukan peri." Ia nyengir sarkastik.
"Aku Milena. Panggil saja Milena."
Mata mereka berdua bertemu. Milena bisa melihat wajah pria itu dengan amat jelas sekarang. Rambutnya cokelat pendek. Matanya hijau indah yang memukau. Bibirnya merah bagai buah ceri segar yang baru dipetik. Lelaki itu memakai kaos abu-abu yang sangat pas di tubuhnya, menampilkan lekuk dadanya yang bidang. Dia membuat Milena terpukau beberapa saat. Sadar ia menelan air liur, cepat-cepat membuang muka, mengerjap-ngerjakan mata dengan cepat.
Selama ini, hanya Alfred-lah teman lelakinya. Yang lain hanya berusaha mencuri perhatiaannya agar menjadi kekasihnya saja. Tak ada yang betul-betul ingin mengenalnya lebih dari sekedar ingin menjadi pacar. Itu membuat Milena dongkol. Perlakuan semacam itu membuat dirinya serasa dimanfaatkan, semacam trofi yang menjadi rebutan. Ia benci itu. Sehingga ketika bergaul dengan lelaki lain selain Alfred, sikap Milena akan cuek, congkak, dan ngebos.
Saat ini, ia bukanlah peri idaman para peri pria di dunianya. Ia hanya manusia yang tersesat dan dicap gila. Oleh karena kurangnya sosialisasinya dengan banyak pria membuat Milena tak tahu harus bersikap bagaimana dengan David.
"Terima sudah menolongku." sahut Milena cepat. Tangannya menyambar potongan apel, menguyahnya dari balik rambutnya yang terurai. Tak ingin dilihat kalau ia tengah tersipu malu gara-gara pria itu.
"Yeah. Bukan hal besar." Ia terkekeh.
"Aku hanya akan memakan apelnya. Tidak dengan bubur ini." ia menyingkirkan bubur itu jauh-jauh.
"Apa kau suka sesuatu? Akan kubelikan di restoran bawah nanti." Rayu David lembut.
Milena menimbang-nimbang perkataan David.
"Pisang. Peri suka pisang. Aku ingin makan itu." katanya polos.
Raut wajah David terlihat mengeryit ganjil. Ia berusaha menahan tawa. Milena merasa tersinggung dengan reaksi David. Ia memicingkan mata padanya, waspada.
"Okay. Akan kuambil sekarang juga. Tapi, habiskan dulu bubur ini." perintahnya dengan nada kalem.
"Itu tidak adil!" protesnya galak.
"Kau mau atau tidak?"
Milena mendengus marah, hidungnya mengkerut mencium aroma bubur itu. Satu suapan berhasil masuk ke tenggorokannya.
David tersenyum puas melihatnya.