"Bagaimana perasaanmu? Apa ada yang sakit?" tanyanya pelan.
Milena mengerjapkan mata, berusaha agar matanya fokus. Tubuhnya memunggungi jendela kaca yang tertimpa sinar mata membuatnya kesulitan melihat sosok itu. Siluet tubuh David akhirnya perlahan terlihat jelas detik demi detik.
"Siapa kau?" tanya Milena dengan suara serak.
"Aku David. Orang yang menemukanmu. Apa ada yang sakit?"
"Kepalaku agak pusing... ugh... di mana aku?" Milena memijat-mijat kedua pelipisnya.
"Kau di rumah sakit. Apa aku perlu panggilkan dokter?"
Milena membeku.
"Apa? Rumah sakit? Dokter?" Ia berusaha mencerna semuanya saat itu.
"Ya. Kau tergeletak pingsan di kamarku. Aku membawamu ke sini." David memperbaiki selimut Milena, tapi ia mendapat respon kurang bersahabat. "Hanya ingin sekedar membantu." terangnya canggung.
"Aku di mana?" Milena bangkit duduk perlahan, memandang ke sekelilingnya.
"Di rumah sakit! Dimana lagi?" ia tersenyum nyengir.
"Hmm..." Milena menelan ludah pahit, ia berusaha mencerna semuanya. "Jadi, kau manusia? Kau tak memiliki sayap satu pun..." matanya memeriksa bagian belakang David. Matanya memicing dengan kepala miring.
"Uhm... Yah! Manusia! sama sepertimu." David duduk bersandar di sofa, telunjuknya mengarah santai pada Milena.
Milena menggeleng sambil terkekeh. "Tidak. Tidak. Aku bukan manusia! Aku peri! Lihat sayapku!" Ia berusaha mengepakkan kedua sayapnya tapi tak ada reaksi.
"Apa?" David terpana, bingung.
"Tunggu! Sayapku memang patah dan agak mati rasa sejak melewati portal di hutan terlarang. Aku akan gerakkan dengan tanganku saja. Ini sayap—" Milena hendak menggapai sayapnya melalui bagian bawah lengan kanannya, tapi hanya udara kosong dalam genggamannya. Ia membeku.
"Kau-kau pasti bingung. Semalam pesta Halloween. Kau berpakaian peri di pesta itu. Yeah, agak sulit memang mencerna semuanya ketika baru siuman. Semua orang begitu. Tenang saja!" David berusaha menenangkan Milena yang kini mulai tampak kalut, bergegas menepuk-nepuk pundaknya.
"Tidak! Tidak begitu! Aku benar-benar peri!" Panik mengantam kesadarannya, Milena terdengar histeris. Ia mencengkeram kerah baju David, dengan tangan gemetar ia berkata, "apa yang terjadi dengan sayapku? Ada apa denganku? Kenapa ukuran tubuhku sama seperti kalian?" Air mata Milena menetes membasahi pipinya.
David salah tingkah dibuatnya.
"Ok! Tenang! Tenang dulu!" Ia memeluk Milena yang kini menangis tersedu-sedu dan kebingungan.
***
"Mungkin saja ia mengalami geger otak. Amnesia. Aku tak bisa menjelaskannya sebelum pemeriksaan lebih lanjut."
Sang paman dan ponakan berdiskusi secara bisik-bisik di dekat pintu, sejauh mungkin dari jangkauan telinga perempuan itu.
"Dia mengira dirinya adalah peri sungguhan! Apa itu masuk akal?" Kata David tertahan, berusaha agar Milena tak mendengar percakapan mereka berdua.
"Aku tak yakin dengan hal itu." ucap Paman David ragu-ragu. "Akan kutanyakan pada bagian bedah otak. Atau... bagian psikologi..." ia melempar tatapan aneh pada Milena yang saat itu tengah memeriksa baju pasien yang dikenakannya—seperti anak kecil yang penasaran dengan mainan baru untuk dibongkar.
"Yeah. Ide bagus."
"Ok! Kalau begitu lanjutkan interogasimu tentangnya. Aku akan urus semua itu sekarang." ia menepuk pundak David.
"Semoga saja dia tidak gila." harapnya cemas.
***
Selama hampir sisa hari itu Milena berusaha meyakinkan David bahwa ia adalah peri, dan peri itu nyata.
"Aku serius!" kata Milena dengan suara tajam.
Suaranya terdengar lebih seperti sebuah lolongan pedih nan pilu. Ia tak tahu harus menjelaskannya bagaimana lagi. Lelaki itu tampaknya hanya mengabaikan semua perkataannya seperti hembusan angin lalu. Hatinya mencelos. Kebingungan yang hebat, tak berdaya, dan putus asa membuatnya tampak linglung. Ia merosotkan bahu, akhirnya menyerah.