"Aku tak bisa hadir hari ini. Tolong sampaikan pada Prof. Mathew. Ya. Trims, Ben!" katanya pelan.
Pria itu menelepon dengan pandangan menghadap ke jendela kamar pasien, lalu memandangi Milena yang kini terbaring di ranjang rumah sakit. Ia menutup ponsel dan duduk di kursi sofa samping Milena.
Diamatinya wajah Milena lekat-lekat lalu tersenyum kecil dan bergumam. "Untung saja wajah cantikmu tak apa-apa. Tidak luka parah, maksudku."
"Mr. David!" Seru seorang dokter laki-laki memasuki ruangan. Tubuhnya tinggi, berambut pendek pirang emas kecoklatan, mata abu-abu beningnya mengedip ke arah David, di tangan kanannya tergenggam papan catatan medis.
"Dokter!" Pria bernama David itu tersenyum lebar. Ia berdiri dan menyalami dokter itu.
"Dia kelelahan hebat. Demamnya juga sudah mulai turun. Jangan khawatir! Dia akan sehat seperti kuda jika istirahat total." Katanya dengan nada bercanda. Ia melihat sekilas pada Milena, lalu berkata setengah curiga, "pacarmu, eh" ia tertawa.
"Bukan! Bukan!" David mengibas-ngibaskan kedua tanggannya di udara seraya terkekeh, "aku menemukannya tergeletak di kamarku sehabis pesta Halloween. Kupikir ia tamu yang mabuk, tapi begitu aku memeriksanya, keadaannya sungguh mengkhawatirkan." Nada suaranya perlahan menurun, matanya menatap nanar pada Milena yang masih terlelap, selang infus terpasang di lengannya.
"Oh... Pesta yang liar?" sebelah kening dokter itu terangkat, nada suaranya terdengar jahil.
"Aku tak tahu. Aku tak ikut-ikutan malam itu. Begitu aku bangun, dia sudah ada di lantai." David kembali duduk di kursinya.
"Begitu? Kalau aku jadi kau, tak akan kulewatkan kesempatan berkenalan dengan banyak gadis-gadis seksi." Ucap dokter itu penuh harap, ia memeriksa tanda-tanda vital Milena di mesin. "Semuanya normal. Luka bakarnya memang agak banyak. Tidak membahayakan, cukup diolesi salep dengan rutin maka ia tak perlu khawatir. Dia anak yang kuat. Luar biasa." pujinya.
"Apa tak sebaiknya kau saja yang memberitahu semua itu padanya?" nada suara David terdengar tak nyaman.
"David. Dengar. Ini kesempatanmu mendekati seseorang. Move on-lah! Lupakan masa lalu. Ia hadir di kamarmu bukan tanpa alasan. Berusahalah mengenalnya. Bisa saja dia itu jodohmu. Siapa yang tahu? Kita belum tahu siapa dia. Jadi, aku mohon padamu agar mencari tahu siapa dia dan melaporkannya padaku. Mengerti?" Dokter itu memukulya dengan ujung papan catatan medis dan melempar tatapan tajam menggoda.
"Ayolah! Paman! Aku—" David terdiam sesaat lalu mengangguk mengiyakan.
"Bagus! Dan jangan panggil aku paman saat aku sedang bertugas. Orang bilang apa nanti? Biaya pengobatan perempuan ini biar aku yang tanggung sebagai ganti interogasinya. Ok?"
Dokter itu mengedipkan sebelah mata lalu keluar ruangan dengan kode isyarat tangan. David hanya mengangguk pelan.
"Well... perempuan misterius. Kira-kira cerita apa yang kau simpan?" ia menaikkan sebelah alisnya dan sebelah ujung bibirnya tertarik.
***
Tubuhnya terasa sakit kembali. Kali ini, rasa sakit itu tidak seperti sebelumnya: hanya berupa pegal dan berat di sekujur tubuh. Ia menggerakkan jari-jarinya secara perlahan. Kelopak matanya terbuka perlahan, lagi-lagi pemandangan kabur menyapanya. Silau dan coklat gelap dominan di mana-mana.
"Hei... Bagaimana keadaanmu?" Tanya David, suaranya terdengar lembut.
Suara David terdengar bagai gema di kepalanya, telinganya masih sedikit terganggu. Mungkin karena efek suara letupan keras yang ia dengar—ia tak bisa mengigat apa-apa sebelum atau sesudah letupan itu, hanya sebuah letupan keras yang terus berkelebat dalam ingatannya. Telinganya berdenging sejenak, lalu suara seseorang mulai terdengar jelas.