Menanti akhir dari masa sekolah SMP
Kelima anak yang saling berjauhan itu memandang langit yang sama. Mereka yang dahulunya dekat dan terikat dalam hubungan yang erat. Kini terpisah jauh oleh jarak dan dalam perasaan mereka. Bahkan jika mereka saling bertemu, wajah mereka akan terbuang layaknya bertemu orang asing di pinggir jalan. Bahkan jika mereka menggunakan sisa ingatan yang tertinggal di kepala, interaksi yang terbangun akan terasa sangat cangung.
Kelima anak itu dulunya terikat dalam satu kelompok persahabatan yang dekat. Bersama mengisi kekurangan dan memberi kebahagiaan. Dahulu, kelompok itu bukan sekedar kumpulan kawan untuk tertawa bersama. Namun, kelompok kecil itu sudah berkembang dan terasa tak jauh beda dengan hubungan keluarga.
Kelompok itu dulunya memiliki proyek bersama, membuat Visual Novel. Proyek itu bernama "Fairy Wings". Sebagai tanda persahabatan dan untuk menunjukkan proyek yang sedang mereka kerjakan, mereka membuat sebuah gantungan tas yang berbentuk sepatah sayap.
Mereka semua saling berbagi peran dalam menciptakan visual novel ini.
Tamako memiliki gambar yang bagus, sehingga ia menjadi ilustrator utama. Sora memiliki kecintaan pada musik dan kemampuannya pun juga cukup baik, maka dia diberi tugas untuk bertanggungjawab pada musiknya. Gekkou dikenal sebagai anak yang cerdas dan pandai dalam berbagai hal yang berhubungan dengan komputer, sehingga dia menjadi orang yang bertanggungjawab dengan program visual novelnya. Lalu ada Shirayuki yang memiliki suara yang indah, sehingga ia ditunjuk sebagai pengisi suara heroine utama dan penyanyi dalam salah satu lagu yang diciptakan Sora. Terakhir ada Hikari, ia sebenarnya tak memiliki bakat khusus, tapi dia bisa memberi semangat pada yang lain dan membantu jika yang lain sedang membutuhkan.
Semua peran yang terbagi sudah terlihat cukup untuk menciptakan sebuah karya. Namun sebenarnya masih ada satu yang kurang. Sebuah peran paling penting yang belum disebutkan, penulis naskah.
Kelima anak itu memandang langit yang sama dari tempat yang berbeda. Melihat gerakan awan dan birunya langit dari tempat yang berjauhan . Tapi pada dasarnya mereka punya gambaran yang sama dengan langit di atas mereka.
Mereka membayangkan satu wajah yang sama. Si penulis naskah sekaligus orang yang memimpin proyek ini, Haru.
"Andaikan kau masih di sini, Haru." Mereka berlima punya harapan yang sama.
Mereka mengetahui fakta yang sama. Tentang ketiadaan Haru di dunia. Laki-laki adalah alasan kelompok kecil ini terbentuk. Haru adalah alasan kelompok ini terus bertahan. Jadi saat ia tiada, kelompok kecil ini pun bernasib sama.
<<>>
Anak laki-laki itu bernama Gekkou. Seorang anak muda yang memiliki banyak bakat. Gekkou dapat melakukan apapun jika ia mau. Dia bisa menjadi apapun jika ia menginginkannya. Namun, satu hal yang diharapkannya sekarang hanyalah, kesenderian.
Laki-laki yang memiliki rambut keunguan ini memiliki semacam kondisi istimewa. Seluruh indera yang dimilikinya bekerja maksimal tanpa hambatan. Otak di dalam kepalanya juga diberkahi oleh kekuatan yang luar biasa. Segala informasi yang didapat oleh mata dan telinganya dapat tersampaikan langsung ke dalam otak, diproses dengan cepat hingga ia dapat memahami berbagai hal seketika dan mengingatnya dalam waktu yang sangat lama.
Sekali saja mata ungunya memandang, semuanya dapat tersimpan layaknya sebuah kamera yang menangkap gambar. Tak sedikit pun detil yang terlewatkan.
Tubuhnya juga bagus, cukup tinggi untuk anak seumurannya. Ia mungkin tak memiliki koleksi otot layaknya binaragawan. Namun dengan tubuhnya itu ia sudah mampu bergerak dengan cekatan, mengatasi berbagai pelajaran olahraga yang harus ia lakukan.
Gekkou adalah anak yang sangat menonjol dengan segala prestasi yang dimiliki. Namun ia bukanlah orang yang suka dengan sorot cahaya dan tatapan mata. Karena itulah ia lebih sering menahan berbagai bakat yang dimilikinya. Ia tak ingin kemampuan besar yang dimiliki menjadi pusat dari kerepotannya tiap hari. Kemampuan yang dimilikinya, wajah dan tubuhnya, seharusnya sudah cukup membuat dirinya menjadi salah satu idola. Tapi kenyataannya, tak banyak anak yang mengenalnya selama SMP. Justru semakin akhir, ia seakan mengilangkan keberadaan dirinya dari siapa pun.
Beberapa hari lagi pesta perpisahan akan segera dilakukan. Dikala anak-anak lain mencoba menikmati sisa waktu untuk mengumpulkan kenangan dan tawa. Ia hanya berdiam diri di kamar dan bermain dengan komputernya.
Saat ini ia bermain sebuah gim MMORPG dan mengenakan sebuah tokoh yang memiliki kekuatan utama yang berupa es. Jemarinya bergerak dengan lincah dengan mengeluarkan berbagai jurus yang dingin. Namun tetap saja, semua jurus yang dikeluarkan avatar itu tak seberapa dingin dengan pandangan Gekkou.
Laki-laki itu sekarang mengenakan sebuah headphone besar dengan suara yang kencang. Sehingga ia tak mendengar adiknya yang berlari kecil ke arah pintu rumah, menyambut tamu yang datang.
"Tunggu sejenak." Suara adik Gekkou di luar kamar.
Di depan pintu, adik Gekkou menyambut seorang gadis yang nampak sangat ceria. Tamu itu memiliki senyuman yang hangat dan bersinar layaknya mentari yang terik.
"Umi-chan, apa kakakmu ada?"
"Kak Hikari kah. Seperti biasa, dia hanya bermain gim di kamarnya. Kau bisa langsung menghampirinya jika kau mau."
"Makasih."
Adik Gekkou bernama Akatsuki Umi. Ia adalah gadis kecil yang manis, dua tahun dibawah Gekkou. Dibandingkan dengan kakanya, ia adalah segala kebalikannya. Adik kecilnya memiliki banyak keimutan, sedangkan Gekkou adalah pemiliki wajah serius yang kaku. Umi juga lebih ramah pada semua orang, cara bicaranya lebih menyenangkan untuk didengar.
Gadis berambut kekuningan yang ada di depan Umi ini ialah Hikari, Hoshikari Hikari. Gadis ini tinggal tepat di samping rumah Akatsuki. Bisa dibilang Hikari dan Gekkou adalah teman semenjak kecil, begitu pula dengan Umi. Sehingga Umi sangat terbiasa untuk memanggil Hikari dengan sebutan kakak, memang dalam pandangannya Hikari nampak seperti seorang yang setara dengan kakak aslinya. Walau sebenarnya sikap dan tingkah Hikari terkadang tak bisa mencerminkan ciri seorang kakak yang bagus.
Umi mempersilakan Hikari masuk, dengan sangat ringan. Rasanya memang hal itu sebagai sebuah kebiasaan. Hikari pun melangkah tanpa ragu seakan ia masuk ke rumah sendiri.
"Apa aku perlu membawakanmu minum atau sesuatu kak?" Umi menawarkan.
"Tak perlu, sepertinya aku nanti tak akan lama." Hikari membalas.
"Hmm… baiklah."
Hikari melanjutkan langkahnya, meninggalkan Umi yang masih terhenti di dekat pintu masuk. Gadis berambut kuning itu langsung ke kamar Gekkou dan membuka pintunya tanpa mengetuk.
Cara gadis itu masuk ke ruangan sebenarnya cukup gaduh. Namun Gekkou sama sekali tak menyadari kedatangan Hikari karena suara keras dari headphone-nya mencegah segala kejadian yang masuk ke telinganya. Hikari menyaksikan kesibukan Gekkou bersama komputernya sejenak, ia hanya menghela napas melihat laki-laki itu seakan mengakar pada kursinya.
Gadis itu tahu kalau permainan elektronik merupakan hobi yang paling disukai Gekkou sejak ia kecil. Namun Hikari juga merasa bahwa kebiasaan Gekkou dalam bermain gim mulai berubah, terlihat lebih parah. Sejak tahun lalu, Gekkou semakin banyak menghabiskan waktunya untuk bermain gim. Hikari ingat dahulu laki-laki itu selalu memainkan segala permainan dengan antusias, atau setidaknya ia akan menggerakkan jemarinya bersama senyum yang kuat. Tapi sekarang ia nampak sangat berbeda, wajahnya terlihat datar walau jari-jemarinya bergerak dengan lincah. Seakan ia sekarang tak menikmati lagi kegiatan ini, namun Hikari masih tak tahu kenapa Gekkou masih terus bermain;bahkan dengan durasi waktu yang lebih lama.
Hikari menutup pintu perlahan, ia menarik napasnya pada ruangan yang agak buram.
Hikari mempersiapkan dirinya lagi untuk menyela waktu Gekkou dalam bermain gim. Seharusnya ini adalah hal biasanya baginya, sesuatu yang sebenarnya selalu dilakukannya sejak dahulu, mengganggu Gekkou saat bermain permainan elektronik. Namun sekarang rasanya berbeda, anak yang diganggunya dahulu bukanlah anak yang ada dihadapannya. Gekkou yang ada di ruangan itu terasa sangat asing bahkan bagi teman semenjak masa kecil.
Menarik napas sekali lagi.
Meletakkan tangan di Headphone yang dipakai Gekkou, menariknya hingga lepas, "Mau sampai kapan kau bermain, di luar sudah gelap loh!" Hikari berceramah singkat.
"… Hikari?" Keterkejutan Gekkou datar.
"Mau sampai kapan kau bermain gim di sini?"
Gekkou menjeda permaiannannya sejenak, "Entahlah…" ia memutar kursinya, "ada apa kau kemari?"
"Salahkah jika aku ke sini?" Hikari menyentuh dadanya, "bukankah dari dulu aku sudah biasa ke sini?"
"Tapi ya…. Beberapa waktu terakhir kau ke sini hanya untuk memintaku mengajarimu…." Mata Gekkou yang datar melirik ke samping sejenak, mengingat sesuatu, "bagaimana hasi ujianmu? Apa nilaimu sudah cukup bagus?"
Hikari diam sejenak, ia seharusnya sudah bisa menjawab. Lagipula jawaban yang ingin ia berikan bukanlah suatu kabar buruk.
Gadis itu sebenarnya adalah anak yang biasa saja dalam pelajaran, ia pun juga sering mendapat nilai yang buruk. Pada pelajaran olahraga, ia juga tak memiliki ke istimewaan. Namun dengan segala kekurangan itu, ia berniat untuk masuk ke sekolah terbaik yang ada di kota. Hikari sadar bahwa dirinya yang sebelumnya tidaklah cukup, maka ia datang meminta bantuan Gekkou.
Gekkou ini adalah anak yang sangat ajaib. Walau sekilas kelihatan malas dan tak meyakinkan. Tapi ia hebat dalam berbagai hal, termasuk dalam semua mata pelajaran.
Hikari tersenyum singkat saat menjawab pertanyaan Gekkou, "sangat baik, semua berkat kau." Menarik napas pendek.
"Begitukah? Selamat ya…." Gekkou mengucapkannya datar.
"Setelah pesta perpisahan nanti, aku mungkin akan langsung berangkat pergi bersama Sora."
"Pergilah jika memang itu yang kau mau."
"Aku tak berharap untuk berpamitan denganmu sekarang. Aku lebih berharap kau juga melepas kepergian kami di stasiun nanti…." Suara Hikari semakin pelan.
Gadis itu sebenarnta tak mengatakan sesuatu yang jahat ataupun buruk. Namun permintaan Hikari itu ditanggapi kurang baik oleh tubuh Gekkou. Laki-laki itu tiba-tiba beku, matanya terbelalak, tubuhnya sedikit bergetar. Hingga akhirnya Gekkou menarik napas dan menundukkan kepalanya.
Laki-laki itu terus diam menunduk, tak tahu apakah ia benar-benar mendengarkan keinginan Hikari atau tidak. Selama beberapa detik tubuh dan bibirnya tak bergerak. Keheningan yang dingin membuat tubuh Hikari merinding.
"Kau tak seharusnya meminta hal seperti itu padaku…." Gekkou menganggkat kepalanya, pandangannya tajam menusuk pandangan Hikari. Laki-laki itu nampak begitu dingin dan sangat serius, tak ada keraguan lagi untuk melanjutkan kata, "Jika kau ingin pergi, pergilah saja."
Kalimat yang diucapkannya tak jauh berbeda dengan apa yang dikatakan sebelumnya. Namun nada bicara ini lebih menyakitkan. Saat kata-kata itu sampai pada telinga Hikari, gadis itu sesak. Gadis itu tak tahu harus menjawab dengan apa. Paru-parunya seakan kosong untuk mendorong keluar suara, kerongkongannya kering.
"Ta-tapi, setidaknya kau juga harus mengucapkan perpisahan dengan Sora juga. Dia jugakan—"
"Hikari, cukup!" Gekkou sedikit membentak, ia langsung memutar kursinya kembali dan menghadap layar monitornya. "pergilah…" dan laki-laki itu mulai bermain dengan komputernya lagi.
Sangat jelas bahwa Gekkou sednag mengusir Hikari.
Nada bicaranya cukup menyakitkan, Hikari telah kehabisan kata-kata. Ia pun berbalik dan mulai melangkah pergi dari ruangan itu. Ia menahan amarah dan kesedihan di setiap langkah yang diambilnya.
Tak jauh dari pintu kamar Gekkou, Hikari berpapasan dengan Umi. Adik Gekkou itu sebenarnya membawa sebuah nampan dengan minuman dingin dan beberapa cemilan. Ia jadi terkejut karena melihat Hikari yang tiba-tiba pergi dengan wajah yang mengkhawatirkan. Ia juga sedikit bingung karena mungkin cemilan yang dia bawa ini akan sia-sia jika gadis itu pergi.
"Kak Hikari, kau mau kemana? Padahal aku lagi membawakanmu cemilan."
"A-aku… aku ingat kalau ada beberapa urusan yang harus kulakukan, persiapan pergi nanti." Hikari berbicara dengan sulit, napasnya tak teratur.
"Kau tak apa-apa?" Umi penasaran.
"Aku baik kok, tak usah khawatir." Hikari memaksa senyuman.
Setelah memberi jawaban singkat pada Umi, Hikari melangkah pergi. Ia mempercepat gerak kakinya untuk segera keluar dari rumah itu.
Beberapa langkah setelah keluar dari rumah Gekkou. Ia berhenti sejenak dan menetapa tanah.
Ia teringat sesuatu, "aku bahkan sampai lupa untuk mengucapkan terimakasih padanya."
Kembali ke kamar Gekkou, anak itu telah mengenakan headphone-nya lagi dengan suara yang lebih keras. Tiba-tiba pintu terbuka dan terhentak dengan lebih kejam. Suara pintu yang beradu dengan tembok itu merangkak masuk hingga telinga Gekkou.
"KAKAK!" Umi juga datang dengan mengomel. "apa yang kau lakukan pada Kak Hikari?"
Gekkou hanya melirik Umi sejenak dan menarik napas panjang. Adik kecilnya itu mulai mengomel dan mencerca banyak pertanyaan pada Gekkou. Laki-laki itu mungkin mendengar semua yang diucapkan adiknya, namun pikirannya melayang dan memikirkan hal lain.
'Hikari sekarang pasti membenciku… tapi, memang begitulah seharusnya.'
<<>>
Hari selanjutnya,
Hikari menemui Sora di lorong setelah pulang sekolah. Mereka membicarakan upacara perpisahan yang akan digelar beberapa hari lagi. Mereka juga sedang membicarakan tentang rencana mereka untuk sekolah di kota.
Mereka berbicang sambil berjalan pelan.
"Jadi, apa kau sudah melakukan persiapan khusus Sora?"
"Belum sama sekali, aku ingin fokus menyambut pesta perpisahan nanti. Aku dengar Shirayuki nanti akan mengisi acara dengan bernyanyi, aku tak sabar menantikannya." Melangkah sedikit, "bagaimana dengan Gekkou?"
"Maaf, aku tak bisa berbicara dengan baik padanya kemarin. Dia mungkin tak akan mau mengantar kepergian kita nanti."
Napas Sora nampak begitu berat, namun ia tak terlalu terkejut dengan apa yang dikatakan Hikari.
"Ahh… sayang sekali, kau yang tumbuh bersama layaknya saudara saja tak bisa mendekatinya sekarang. Apalagi aku… atau Shirayuki." Sora menghentikan langkahnya sejenak, "entah kenapa ia mulai berubah banyak setelah Haru pergi, menjadi sosok yang sangat berbeda."
Hikari juga menunduk dan mengenang masa lalu, "ia mungkin anak yang pendiam sejak kecil dulu, tapi dulu dia selalu peduli dengan berbagai hal yang ada di sekitarnya. Namun sekarang dia telah berubah menjadi orang yang berbeda, dia seakan tak tinggal di dunia ini lagi."
Sora menyadari kesepian yang dirasakan Hikari. Laki-laki itu meletakkan tangannya di pundak Hikari. Merasakan beban yang dibawa gadis itu, dan membantunya agar bisa membawa beban agar lebih ringan.
"Rasanya pasti sulit menerima perubahan yang terlalu besar itu. Tapi tenanglah, kau saat ini masih punya aku dan Shirayuki."
Sesaat, Hikari menunjukkan senyuman kecil, 'Shirayuki kah?' ia bergumam dalam hati. Senyumnya itu bukanlah senyuman yang baik, lebih nampak seperti wajah yang meragukan. Ekspresi itu hanya melintas dalam waktu yang singkat sehingga Sora tak menyadarinya.
"…dan juga, sebentar lagi, kita akan bertemu dengan Tama kembali."
Mengendalikan diri kembali, Hikari menciptakan senyuman di bibirnya. Ia mendongak ke wajah Sora yang lebih tinggi, "kau benar, sebentar lagi kita akan bertemu dengannya lagi."
Inti utama pembicaraan telah usai, Sora memiliki rencana lain sebelum kembali ke rumah.
"Apa kau akan langsung pulang?"
"Tentu saja, tak ada hal yang harus kulakukan disini."
"Begitukah." Sora menyampingkan pandangannya, sedikit kecewa. "Aku sebenarnya ingin melihat Shirayuki latihan."
"Tidak, tidak perlu."
"Sayang sekali, kalau begitu aku pergi ya." Sora melangkah ke arah berbeda. Ia pergi ke gedung olahraga yang menjadi tempat latihan Shirayuki.
"Sampai jumpa besok." Mereka saling melempar salam.
Hikari kala itu haya diam menatap kepergian Sora. Ia hanya melihat punggung laki-laki itu hingga hilang dari pandangannya. Setelah tak lagi menangkap bayangan tubuhnya, Hikari berbalik dan melangkah pergi, sedikit menundukkan kepala.
<<>>
Sora melangkah santai ke gedung olahraga. Esok mereka tampil, sehingga mereka melakukan gladi di tempat acara. Dari luar gedung, Sora sudah bisa mendengar musik yang dimainkan dalam gedung.
Anak laki-laki itu tak langsung masuk ke dalam gedung, ia hanya mngintip dari pintu luar. Ia menyaksikan banyak kursi yang telah ditata dan sebuag pangung yang sudah dihias sebagian. Shirayuki berada di atas panggung, ia siap untuk menyanyi. Perlahan Sora masuk dan berdiri di sisi pojok yang gelap, masih cukup jauh dari panggung.
Sora hanya diam di pojokan tersebut, ia cukup menikmati dirinya di sana.
Shirayuki sangat mendalami lagu yang dibawakannya, sebuah lagu tentang perpisahan. Gadis itu terlihat sangat menghayati latihannya, seakan ia telah tampil di panggung yang sesungguhnya. Sora hanya tersenyum dari kejauhan melihat penampilan gadis itu.
Shirayuki mulai memainkan matanya, ia melirik ke seluruh arah. Hingga ia akhirnya mulai menyadari keberadaan Sora yang melihat latihannya. Suara Shirayuki begitu indah, namun tiba-tiba ia kehilangan suaranya di tengah lagu, seakan ada sesuatu yang menahan udara di dadanya.
Sora menarik napas dan bergumam, "lagi kah."
Nyanyian Shirayuki menjadi kacau, latihan dihentikan sejenak.
"Maaf maaf telah mengganggu latihan kalian, aku hanya ingin menonton sebentar kok." Sora berteriak. Lalu ia melangkah ke luar gedung.
Laki-laki itu melangkah pergi dengan pasrah. Ia sepertinya sadar bahwa keberadaannyalah yang menjadi nyanyian Shirayuki kacau. Sehingga ia memutuskan untuk keluar agar latihan terus berjalan.
Shirayuki hanya melihat langkah Sora yang pergi meninggalkan gedung itu. Ia tak punya kata untuk beberapa waktu. Sedetik kemudian, anak lain menanyakan keadaannya.
"Kau tak apa-apa?"
Diam sejenak, "a-aku tak apa-apa." Shirayuki menjawab.
"Mungkin memang saatnya untuk istirahat sejenak, Shirayuki pasti lelah juga." Anak lain berkomentar.
"Baiklah, kita istirahat lima menit." Anak di samping Shirayuki memutuskan, "mungkin kau juga ingin melakukan hal lain kan, Shirayuki?"
"A-aku…" Shirayuki berpikir sejenak, "kalau begitu aku keluar mencari udara dahulu." Gadis itu turun dari panggung.
Shirayuki melangkahkan kakinya di gedung olahraga yang besar ini, jaraknya cukup jauh. Ia melintasi banyak kursi hingga sampai ke pintu keluar. Kepalanya memutar ke seluruh arah, dan ia menemukan Sora yang duduk di tangga luar.
"A… Sora…"
Sora membalikkan badannya, "Shirayuki?" sedikit terkejut, "pantas saja musiknya tak segera dimulai lagi. Kenapa kau disini, kenapa tak melanjutkan latihannya, apakah karena aku?"
"Tidak, ini hanya karena aku gugup… dan sedikit lelah saja."
Sora tersenyum kecil mendengar jawaban Shirayuki, "begitukah?" nada meragukan, "apakah kau bisa tampil besok?"
"Aku akan melakukan yang terbaik."
Laki-laki itu sebenarnya mengatahui hal yang Shirayuki sendiri tak sadari. Gadis itu mungkin tak mau mengankuinya, tapi Sora sadar bahwa ia hanyalah gangguan untuk saat ini. Keberadaannya hanya akan menrusak konsentrasi Shirayuki di atas panggung, yang tentunya akan buruk untuk penampilan gadis itu di atas panggung.
Sora sadar bahwa Shirayuki lebih ingin melihat dirinya pergi, hilang dari pandangan. Sehingga Shirayuki dapat lebih fokus dengan perasaan dan lagunya. Ia juga dapat lebih jelas membayangakan lagunya untuk siapa.
"Sebenarnya itu jawaban yang masih meragukan bagiku." Sora memalingkan tubuhnya, berbicara sembari menatap langit. "Selama kau melihat keberadaanku, kau tak bisa menyanyi. Kau tak bisa menunjukkan yang terbaik darimu untukku. Aku menerimanya, aku mengetahuinya, karena pada dasarnya itu adalah kesalahanku."
Alam bawah sadar Shirayuki sebenarnya ingin laki-laki ini pergi. Namun pikirannya sadar, bahwa hanya Soralah yang saat ini benar-benar ada di sampingnya. Ia tak akan membiarkan anak ini pergi, karena ia akan dihantui rasa sepi lagi.
"Ka-kau tak perlu menyalahkan dirimu seperti itu!" Sedikit keras, "pada dasarnya hanya aku yang lemah… dari dulu aku hanya terlalu lemah. Ini bukan salahmu…" nada suaranya semakin rendah.
Sora hanya melirik sekilas saat Shirayuki berbicara. Laki-laki itu hanya membei balasan singkat, "terserah apa katamu, tapi sepertinya memang lebih baik aku pergi sekarang." Sora mulai melangkahkan kakinya, ia pergi menjauh. "Aku harap kau berlatih lebih keras dan bisa menampilkan yang terbaik besok Shirayuki, sampai jumpa besok." Melambaikan tangan tanpa melihat ke arah Shirayuki.
Gadis itu diam, melihat langkah Sora yang perlahan membawanya pergi jauh. Laki-laki itu hilang dari pandangan, Shirayuki hanya bisa bergumam pelan.
"Maaf…"
<<>>
Hari terakhir itu akhirnya tiba,
Shirayuki telah berangkat sejak pagi, ia memang harus cepat bersiap agar bisa tampil maksimal di atas panggung nanti. Ia dan teman bandnya yang lain juga punya rencana latihan singkat sebelum acara di mulai.
Sora sebenarnya juga mengetahui rencana itu. Ia juga berangkat cukup pagi dari anak-anak lain, namun ia tak langsung masuk untuk melihat Shirayuki. Laki-laki itu tahu tempatnya, ia memang sebaiknya menunggu diluar saja. Pagi itu di luar gedung, ia masih bisa mendengar suara indah Shirayuki saat melakukan gladi.
Lalu Hikari masih bersiap di rumahnya. Ia tak punya rencana khusus pada acara perpisahan ini. Setelah melakukan cukup persiapan, ia pergi menemui Gekkou.
Gekkou bukanlah orang yang menemui Hikari pertama kali, pagi itu ia langsung bertemu dengan Umi. Adik perempuan Gekkou itu nampak cukup antusias saat Hikari datang. Umi mengucapkan selamat berkali-kali pada Hikari tentang kelulusannya.
"Terimakasih atas ucapan selamatmu Umi. Tapi aku ke sini untuk mengajak kakakmu berangkat."
"Hmm…." Umi memanggku dagu, "mungkin kau harus menunggunya agak lama, karena sedari tadi dia tak bersiap sama sekali. Bahkan aku tadi cukup kesulitan untuk membangunkannya. Kau tahu, tadi malam dia malah begadang semalaman bermain gim, padahal dia punya acara penting sekarang." Gadis kecil itu sedikit mengomel.
"Eh—begitukah?" sedikit kaget. "Kalau begitu biar kucoba untuk membujuknya."
"Silahkan saja, aku justru sangat senang jika kau bisa mengajaknya pergi. Ya... acara perpisahan seperti inikan cukup penting untuk disimpan sebagai kenangan indah."
Hikari tersenyum pahit sebelum melangkah ke kamar Gekkou, "aku akan segera membangunkannya."
Kamar Gekkou masih cukup gelap, Hikari menyalakan lampunya.
"Mau sampai kapan kau tidur, kita punya acara penting kan?" Hikari mendekat ke kasur, menarik selimutnya.
Gekkou dengan suara yang masih mengantuk, "pergilah, tak usah mengangguku."
"Jadi begini, setidaknya kau juga harus datang pada acara ini untuk menunjukkan bahwa kau tak apa-apa."
Gekkou bangkit sedikit dan duduk di atas kasur, "tak ada alasa bagiku untuk pergi ke acara itu, tidur di sini rasanya lebih nyaman."
"Sudahlah cepat bersiap sana, padahal dulu saat kelulusan SD kau sangat bersemangat dengan acara seperti ini." Hikari mendorong Gekkou ke kamar mandi. "Aku akan menunggumu."
"Itukan dulu…" menjawab lemas.
"Aku tak mau mendangar apapun lagi, pokoknya aku akan menunggumu di luar." Hikari keras kepala.
Hikari meninggalkan Gekkou tanpa memberi kesempatan menyanggah. Laki-laki itu tak punya pilihan lain selain menuruti perkataan Hikari. Gekkou melihat Hikari hingga hilang dari pandangannya.
Gekkou bergumam, "kau seharusnya juga sadar, jika dulu dan sekarang adalah sesuatu hal yang sangat berbeda."
Umi menanti di ruang tamu, Hikari datang padanya.
"Bagaimana dengan kakak?"
"Aku hanya perlu menunggunya sejenak."
"Apakah dia benar-benar mau berangkat?"
"Jangan khawatir, dia pasti mau pergi."
Gekkou mungkin telah berubah, dan menjadi sosok yang berbeda dibanding dirinya dulu. Namun Hikari tetaplah menjadi gadis yang paling paham tentang Gekkou. Termasuk cara memakasanya untuk melakukan sesuatu.
Hikari dan Umi ngobrol sejenak, mereka berbicara tentang Gekkou. Adik kecilnya sepertinya sudah terlalu lelah untuk menahan curiga. Ia ingin tahu hal yang telah mengubah kakaknya.
"Mungkin aku terlambat untuk menanyakannya, tapi sepertinya kalian sudah jarang berkumpul lagi. Kalau tidak salah, semenjak Kak Haru meninggal, kakakku mulai jarang menemui yang lain, benar bukan?"
"Ya… begitulah." Hikari menjawab pelan.
"Apakah kalian tak masalah seperti ini? padahal sebelumnya kalian sangat dekat." Umi menajamkan pandangannya pada Hikari. "Bukankah akan lebih baik jika kalian segera menyelesaikan masalahnya—apapun itu, sebelum kalian masuk SMA?" Umi mencoba memberi masukan walau sebenarnya dia tak tahu persis tentang masalah yang mereka hadapi. "Aku dengar kau dan kak Sora akan sekolah di tempat yang cukup jauh. Ini bererti, jika hubungan kalian tak segera diperbaiki… aku khawatir, jika hubungan kalian akan benar-benar rusak nanti."
Hikari hanya menjadi pendengar yang tenang. Ia duduk dan menatap lantai kayu yang bewarna coklat. Menanti detik bergerak dan dia tak kunjung memberi jawaban.
Umi sedikit berkeringat, ia takut jika ia tak sengaja mengatakan sesuatu yang buruk tentangnya. Ia khawatir jika Hikari terluka dengan omongan panjangnya.
Umi mengankat tangannya dan meraih paha Hikari, sedikit mengusapnya. "Kau tak apa-apa?"
"Te-tenang saja, aku pun tahu itu, aku memang harus segera memperbaiki hubungan kami semua, dan sekarang aku masih mencoba." Hikari terbata.
"Maaf jika aku terlalu menekanmu." Umi menarik napas panjang, "aku hanya terlalu khawatir dengan kalian semua. Semenjak kalian berubah, kalian berubah menjadi terlihat sangat menyedihkan."
Hikari sejatinya sadar kalau Gekkou sudah selesai melakukan persiapan. Sebelumnya, ia menepuk kedua pipinya dahulu. Umi sedikit terkejut dengan kelakuan gadis itu, namun tindakan itu ternyata cukup berdampak dengan perubahan wajahnya.
Hikari tersnyum.
"Tenang saja, akan kulakukan yang terbaik untuk memperbaikinya." Ia memberi sinyal positif pada Umi.
Adik Gekkou hanya sempat membalas senyum singkat. Ia tak punya kesempatan menjawab saat kakaknya telah keluar kamar dan siap untuk berangkat. Walau hari ini ada hari penting, Gekkou tak banyak bersiap, tak banyak perubahan darinya, hanya seperti siswa malas biasa.
"Baguslah jika kau sudah siap, ayo berangkat." Hikari bersemangat.
Dengan nada berat, "baiklah…." Gekkou menjawab.
Hikari menangkap lengan Gekkou, menariknya dengan paksa keluar rumah. Satu tangan Hikari yang masih bebas melambai pada Umi.
"Kami berangkat ya."
"Hati-hati di jalan, semoga hari kalian menyenagkan." Dan Umi melepas keberangkatan mereka dengan senyuman lebar.
<<>>
Tak banyak anak yang telah berangkat di jam pagi seperti ini. Kebanyakan dari mereka pasti sibuk untuk mempersiapkan diri sebaik mungkin sebelum mendatangi acara perpisahan yang diadakan. Mereka pasti berpikir untuk tampil sebaik mungkin di kesmpatan terakhir.
Berbeda dengan anak-anak lain, Shirayuki dan klub musik justru berangkat secepat yang mereka bisa. Melihat kesiapan dan bentuk panggung tempat mereka tampil. Menilik kesiapan tempat sebelum mereka tampil. Tak lupa juga mereka mengambil sedikit waktu untuk melakukan gladi bersih.
Alat-alat band sudah dipersiapkan, para pemainnya mencoba sejenak. Ketua klub juga memeriksa semua peralatan. Semuanya baik dan mereka siap untuk latihan sejenak.
Shirayuki memegang mikrofonnya dan menatap gedung yang masih kosong. Tak banyak orang di sana, hanya mereka dan panitia yang mempersiapkan tempat untuk pesta perpisahan. Gadis itu menarik napas panjang untuk meringankan ketegangan. Ia melakukan berbagai hal untuk membuat dirinya tenang.
Musik dimainkan, Shirayuki bernyanyi.
Orang-orang yang tadinya sibuk mempersiapkan tempat terhenti sejenak. Mereka takjub dengan suara indah Shirayuki. Orang-orang di sana seakan dihipnotis oleh keindahan suara. Gadis itu cukup menghayati nyanyian tentang perpisahan. Berbagai mata tiba-tiba tertarik untuk melihat latihan Shirayuki, belum penampilan yang sebenarnya. Waktu berlalu sejenak diiringi oleh nyanyian Shirayuki, tak terasa pekerjaan orang-orang telah terhenti.
Diwaktu yang sama, Sora sebenarnya telah datang dan menanti di luar, tepat di samping pintu masuk. Ia tak ada niatan untuk menunjukkan dirinya di dalam gedung. Sora menyandarkan punggungnya di tembok. Ia hanya mendengar nyanyian Shirayuki sedari awal, tersenyum kecil dan bergumam.
"Seperti biasa kau punya suara yang mengagumkan." Sora berbicara sendiri.
Keributan orang yang sibuk menata ruang tiba-tiba hilang. Laki-laki itu sadar bahwa semua orang di tempat itu telah terhipnotis oleh suara Shirayuki dan mereka terhenti. Mereka lupa dengan pekerjaan yang harus segera diselesaikan.
"Tapi jika terus seperti ini, sepertinya tak akan bagus. Aku harus melakukan sesuatu."
Sora menganggkat punggungnya, melangkahkan kaki kanannya. Ia pergi untuk menghentikan kejadian ini. Tentu saja, ia tak akan pergi ke dalam. Sora lebih memilih untuk mencari orang yang tepat, memberitahu orang yang bertanggungjawab.
Tak lama setelahnya.
Ketua panitia perpisahan datang dari luar gedung, dan tiba-tiba berteriak "Apa yang kalian lakukan, cepat kerja!" Ketua itu adalah seorang gadis yang memiliki suara cukup tajam. Terlebih saat ia berteriak, mulutnya terasa mampu mengiris telinga.
Suara gadis yang berteriak dari pintu masuk itu cukup untuk sampai ke seluruh sudut ruangan tersebut. Orang-orang kembali pada kesadaran, mengingat kembali pekerjaannya. Suara ketua juga sampai pada Shirayuki, ia sedikit terkejut dan berhenti bernyanyi. Band pengiring juga ikut berhenti.
"Jangan buang-buang waktu kalian, kita harus segera siap sebentar lagi." Ketua melanjutkan.
"Maaf~" semua orang kompak mengatakan hal yang sama. Atau beberapa orang menambahkan kata-kata pemanis agar wajah keras ketua sedikit melunak.
Ketua melirik ke samping, ke arah Sora yang masih bersembunyi di balik tembok. "Terimakasih telah melaporkan hal ini padaku. Lebih baik kau masuk ke dalam, walaupun belum siap sepenuhnya, tapi aku rasa ada kursi yang cukup untuk satu orang." Ia menawari Sora.
"Tak perlu, aku lebih suka di sini."
"Baiklah jika itu yang kau suka…." Ketua memandang ke depan, "sepertinya aku juga harus meminta maaf pada Shirayuki karena telah membuatnya terkejut." Melirik ke arah Sore kembali, "kalau begitu aku duluan…."
"Selamat bekerja, ketua." Sora membalas.
"Kalian! Silahkan kalian melanjutkan latihan menyanyi kalian. Tak usah khawatir…"
<<>>
Waktu yang dinanti hampir tiba,
Sora masih bersiaga di samping pintu. Banyak anak yang telah datang dan masuk ke dalam gedung. Tapi ia masih berada di tempat itu dan sesekali menyapa orang yang dekat dengannya. Hingga akhirnya Hikari dan Gekkou muncul.
"Hai Sora, kau sudah lama?" Hikari menyapa.
"Tidak kok, tidak lama." Membalas singkat. Mengangkat wajah dan melihat sosok Gekkou, "jadi kau datang bersama Gekkou, kerja bagus."
"Bukan sesuatu yang istimewa, walaupun kelihatannya kurang bersemangat, Gekkou itu cukup tertarik dengan acara seperti ini."
Wajah Gekkou memang nampak seperti orang yang dipaksa.
"Baguslah, lebih baik kita memang segera masuk."
Tempat duduk di ruangan itu sebenarnya sudah dibagi per kelas. Sora dan Hikari yang berada di kelas yang sama bisa duduk berdekatan. Namun Gekkou yang berada di kelas berbeda harus rela berpisah duluan.
"Sayang sekali kita harus terpisah karena kelas. Tapi pasti setelah acara ini selesai kita semua bisa berkumpul." Hikari percaya diri.
"…." Gekkou hanya mengangguk dan melangkah tempat yang ditentukan padanya.
Acara dimulai, Hikari dan Sora duduk bersebelahan. Beberapa sambutan dan pidato disampaikan oleh perwakilan sekolah ataupun perwakilan para siswa, sedikit membosankan. Karena itulah Hikari dan Sora sedikit berbincang agar tak terlalu bosan.
Giliran Shirayuki dan klub musik hampir tiba.
"Lihatlah, Shirayuki akan tampil." Hikari juga menunjuk ke arah panggung.
"Aku tahu…." Memandang kosong sejenak, "tapi sepertinya aku harus ke toilet dulu." Bersiap berdiri.
"Eh—kenapa tiba-tiba pergi, padahal Shirayuki hampir tampil."
"Aku tak bisa menahannya lagi…. Maaf!"
"Baiklah, tapi cepatlah atau kau tak akan sempat melihat penampulannya."
"Aku tahu itu kok." Sora akhirnya pergi.
Sekali lagi Shirayuki menyanyi. Namun untuk saat ini ia harus tapil sungguh-sungguh di hadapan banyak orang. Ia melihat banyak mata yang memperhatikan di depannya. Sekali lagi ia menarik napas.
Ia mulai bergumam dalam hati untuk memberi keyakinan lebih pada dirinya sendiri.
'Aku harus fokus….'
'Aku harus mampu menyanyi sebaik mungkin…'
'Lagu ini tentang perpisahan, berbagai hal yang pernah terjadi di sekolah ini, hal yang baik ataupun buruk, aku akan berpisah dengan semuanya…'
'Termasuk kenangan indah itu dan kau… Haru'
Setelah meresapi berbagai ingatan yang terlintas di kepalanya. Shirayuki mulai membuka suara, menunjukkan keindahan nada yang mampu ia hasilkan. Ia bernyanyi dengan penuh penghayatan. Caranya bernyanyi mampu menyampaikan emosi dan perasaan yang begitu kuat.
Ruangan itu terdiam.
Bahkan beberapa orang menjatuhkan air mata.
Namun efek penampilan Shirayuki itu sedikit berbeda untuk Hikari. Ia yang awalnya terlihat antusias di hadapan Sora, perlahan berubah menjadi suram, semangatnya tadi palsu. Selanjutnya ia melihat penampilan Shirayuki yang luar biasa, hatinya berubah iri.
Nyanyian indah Shirayuki juga tak mampu untuk menghancurkan dinginnya es yang membekukan hati Gekkou. Laki-laki itu hanya memandang penampilan Shirayuki dengan mata datar. Ia seperti tak memiliki jiwa untuk mencerna lagu yang dibawakan Shirayuki.
Agak jauh dari gedung itu, Sora berada di lorong dan membeli sebuah minuman dingin dari vending machine. Minuman itu mengandung kola, jadi akan sangat menyegarkan saat di minum. Ia meminumnya dengan perlahan sembari mendengar suara samar yang pasti dari penampilan Shirayuki. Nanyian itu tak terlalu jelas terdengar dari tempat Sora berdiri.
Sekali lagi meneguk minuman, "mendengar penampilannya yang tadi pagi sepertinya cukup memuaskan bagiku." Ia bergumam dalam hati.
Tak terasa acara telah berakhir…
Beberapa anak membentuk kelompok kecil dan mengutarakan berbagai suka duka di akhir masa SMP ini. Beberapa anak juga memilih untuk mengambil foto bersama, terlihat membahagiakan. Lagipula suasana di luar gedung nampak sangat indah. Langit bersinar sangat cerah dan pohon sakura lebat sedikit mengugurkan kelopaknya.
Sora dan Hikari sudah bersama untuk menunggu yang lain. Mereka berdua menanti dalam diam. Mereka di sana sebenarnya menunggu Shirayuki dan Gekkou.
Shirayuki masih harus mendengar sedikit evaluasi pasca penampilannya. Makannya ia harus dinanti.
Tapi Gekkou berbeda, ia telah pulang duluan. Ia tak tertarik untuk melakukan hal lain lagi. Kedatangannya tadi hanya dianggap sebagai formalitas semata. Gekkou tak berminat untuk memperpanjang waktunya di sekolah ini.
Setelah agak lama, Shirayuki datang, "maaf, tadi ada sedikit tambahan setelah acara selesai."
"Kami tahu kok." Sora menjawab.
"Jadi… Gekkou tak kemari?"
Hikari dan Sora perlahan mulai sadar bahwa Gekkou tak lagi di sini lagi. Mereka memandang sekolah yang kian sepi. Mereka akhirnya menyimpulakan, Gekkou benar-benar pulang duluan.
"Sepertinya ia sudah duluan." Hikari menjawab.
"Dia… kenapa selalu saja menghindar…" Shirayuki mengatakan sesuatu yang kurang tepat.
Cara Shirayuki bersuara memang terasa tidak pas untuk sekarang. Ia berucap dengan berat, penuh dengan keluhan. Ungkapan Shirayuki itu tanpa disadari membuat susana sedikit canggung, mereka jadi kesulitan bicara.
"Ya… begitulah." Sora.
Rencana pertemuan itu sekarang gagal total. Komunikasi mereka bertiga tidak berjalan. Shirayuki juga nampak kurang nyaman berlama-lama di sana.
Hingga akhirnya, pertemuan mereka hanya ditutup oleh kata perpisahan sederhana. Tak ada jejak kebahagiaan apa pun yang tertingga. Tak ada foto bersama, tak ada pelukan, tak ada jabatan tangan. Hanya ucapan perpisahan yang bahkan tak saling memandang mata.