Chereads / Under the Broken Wings / Chapter 2 - Episode 1B – Akhir Masa Lalu

Chapter 2 - Episode 1B – Akhir Masa Lalu

Hari ini seharusnya menjadi waktu yang menyenangkan bagi seorang anak muda. Ia telah sampai waktunya untuk bebas dari status anak SMA dan perlahan berubah ke status anak SMA yang dianggap lebih keren. Dalam acara perpisahan yang biasanya dibuat sederhana ini juga akan menunjukkan beberapa fakta baru yang baru akan disadari saat acara itu telah selesai.

Acara perpisahan sekolah biasanya memberi kesan-kesan yang cukup dalam dan mengejutkan bagi setiap orang. Pada acara ini seseorang akan menemukan hal yang mungkin baru setelah sekian lama. Seperti contohnya betapa menyedihnya kehilangan teman dan berbagai kenangan bersama mereka. Perpisahan ini menyadarkan orang-orang bahwa waktu-waktu ke depan mereka tak akan merasakan pengalaman yang sama lagi. Ada pula rasa kecintaan pada tempat, tentunya pada sekolah sebagai tempat belajar selama bertahun-tahun. Sesaat setelah seorang malangkah pergi dari sekolah, terkadang akan ada rasa berat pada hati. Sebuah perasaan yang sebelumnya tak pernah ada dan baru disadari setelah akan berpisah untuk selamanya.

Gedung sekolah yang terkadang membuat seorang bosan karena pemandangan yang monoton setiap harinya telah tanpa sadar memberi kesan variatif secara perlahan. Hingga akhirnya semua pengalaman dan perasaan kecil itu bertumpuk menjadi suatu kerinduan di masa mendatang.

Mizuki Tamako, seorang siswa SMP tahun akhir. Pagi ini seharusnya ia bangun dengan semangat menyambut hari terbaik dalam hidupnya. Mempersiapkan diri untuk hantaman perasaan yang begitu dramatis. Namun kenyataannya ia masih terlelap.

Kepalanya masih tertahan di atas bantal dan tubuhnya terbungkus selimut hangat. Ia tak memiliki niatan apa pun sebelum jam berdering membangunkannya.

Jam telah berdering tanda ia harus bangun dan bersiap, namun ia belum mampu.

Sesaat dalam ujung mimpinya ia mengingat masa lalu. Kisah saat ia masih bersama kelima sahabat baiknya. Cerita saat ia harus memendam perasaan cintanya pada salah seorang sahabatnya, demi terjaganya ikatan kuat persahabatan ini.

'setidaknya, biarkan aku mengucapkan selamat tinggal....'

Sebuah kalimat penuh penyesalan terbentuk dari igauannya. Ia mengucapkan kata-kata itu di penghujung tidurnya dengan setetes air mata yang masih tertahan di sudut mata. Hingga akhirnya ia membuka matanya.

Ia terbangun dengan tanpa ekspresi bagus di wajahnya. Matanya seakan berkata bahwa hari ini hannyalah hari yang sama seperti sebelumnya, membosankan. Satu-satunya yang keluar dari mulutnya sekarang hannyalah napas berat bersama sepatah keluhan.

Tidur semalaman seharusnya membuat tubuhnya segar. Tapi ia masih terasa mengantuk dan sedikit lemas. Bangun untuk duduk pun terasa sedikit sulit sekarang.

Mimpi yang didapatnya dalam tidur sepertinya telah menguras tenaganya begitu banyak. Mengingat sebuah kejadian lama yang ingin ia lupakan, namun sangat sulit. Mimpi yang seharusnya indah tapi ternyata menjadi sebuah mimpi buruk bagi Tamako.

Gadis itu memimpikan saat ketika ia bahagia bersama teman-temannya di desa sebelumnya. Mereka berenam membentuk sebuah kelompok sahabat yang memiliki ikatan erat layaknya keluarga. Banyak hal yang mereka lakukan bersama. Banyak hal baik yang telah terjadi saat mereka sebelumnya.

Tamako teringat dengan saat ketika ia membuat sebuah novel visual bersama kelompok sahabatnya. Proyek itu digagas oleh teman masa kecil sekaligus orang yang disukainya, Sakurada Haru. Haru mengusulkan proyek itu karena menyadari berbagai bakat yang dimiliki kelompok sahabat itu.

Haru memiliki bakat dalam menulis cerita, maka dialah yang menulis naskah dalam proyek ini. Tamako memiliki gambar yang bagus, sehingga ia menjadi ilustrator utama. Sora memiliki kecintaan pada musik dan kemampuannya pun juga cukup baik, maka dia diberi tugas untuk bertanggungjawab pada musiknya. Gekkou dikenal sebagai anak yang cerdas dan pandai dalam berbagai hal yang berhubungan dengan komputer, sehingga dia menjadi orang yang bertanggungjawab dengan program visual novelnya. Lalu ada Shirayuki yang memiliki suara yang indah, sehingga ia ditunjuk sebagai pengisi suara heroine utama dan penyanyi dalam salah satu lagu yang diciptakan Sora. Terakhir ada Hikari, ia sebenarnya tak memiliki bakat khusus, tapi dia bisa memberi semangat pada yang lain dan membantu jika yang lain sedang membutuhkan.

Awalnya proyek mereka terasa sangat menyenangkan. Mereka melakukannya dengan sangat kompak sehingga perkembangannya menjadi cukup cepat.

Hanya sebatas itu Tamako mengingat masa lalunya. Ia tertahan pada ingatan saat ia berada di sebuah ruangan klub tempat mereka menciptakan novel visual itu. Saat itu kelima anggota lain sangat serius dan fokus pada diskusi, hingga Hikari terabaikan. Tanpa diduga Hikari berteriak untuk menarik perhatian yang lain. Entah kenapa hal yang dilakukan Hikari itu membuat suasana menjadi lebih cair dan hangat. Diskusi yang awalnya terasa begitu keras tiba-tiba menjadi lunak.

"Kenapa kalian malah jadi tegang seperti ini, bukankah kita melakukan ini untuk bersenang-senang." Lanjut Hikari.

Ucapan Hikari saat itu langsung menyadarkan anggota yang lain, mereka tersenyum kecil. Lalu Haru menyahut dan memperkuat pernyataan Hikari. Aura di ruangan itu pun berubah semakin hangat. Pada keadaan itu Haru tertawa kecil dan matanya sedikit melirik ke arah Tamako.

Semua ingatan yang muncul dalam kepala Tamako seharusnya membuat dia bahagia. Setidaknya ia tersenyum sedikit untuk mengenang kejadian yang terlintas. Tapi tidak sama sekali, bibirnya masih turun dan matanya tampak kosong.

Tak bisa dipungkiri jika kenangan itu memanglah sebuah ingatan yang indah. Memang karena alasan itulah mengapa ingatan itu tak membuat Tamako bahagia.

Pada akhirnya, kenangan terindah adalah ingatan yang paling menyakitkan.

Saat seseorang mengenang ingatan terbaiknya di masa lalu. Membandingkannya dengan kenyataan yang dihadapinya sekarang. Menyadari bahwa ia tak akan bisa merasakan kenangan indah itu kembali di waktu yang mendatang. Karena itulah, kenangan itu malah membuatnya sakit.

<<>>

Tamako memiliki kamar yang cukup sederhana, tak banyak barang lucu layaknya anak perempuan seusianya. Dalam kamarnya hanya ada ranjang dan lemari, serta sebuah meja dengan buku dan komputer yang menunjang kebutuhannya sehari-hari. Dia mungkin tak terlalu tertarik untuk mengurusi sesuatu yang merepotkan seperti keluar membeli boneka ataupun dekorasi ruangan yang imut. Atau mungkin ia juga tak terlalu memahami apa yang sebenarnya disukai oleh kebanyakan gadis seusianya sekarang.

Ia mengenakan seragam SMP untuk terakhir kalinya. Perpaduan Blazer merah dan rok pendek berwarna hitam tampak cocok dengan dirinya. Wajahnya memang tak terlalu istimewa, namun pasti akan terlihat lebih baik jika ia mau lebih banyak tersenyum. Sedikit menyibakkan rambut hitam pendeknya dan menatap pantulan dirinya pada cermin dengan sepasang mata hitam gelapnya.

Tidak banyak hal yang dapat ia tunjukkan sekarang. Sekilas ia memang tampak seperti orang yang sangat membosankan.

Setelah cukup yakin dengan kelengkapan seragam yang dikenakannya. Ia mulai berbalik dan mengambil perlengkapan lain. Menggapai tas yang tergantung di sisi tembok dan langsung melangkah keluar kamar.

Sedetik sebelum membuka pintu. Ia terhenti sejenak untuk mengambil napas panjang, dan berusaha untuk tersenyum setelahnya.

Sekarang gadis itu hanya tinggal bersama ayahnya. Seorang pria yang baru berusia empat puluhan namun telah memiliki banyak uban yang hampir merata. Ayah Tamako bukanlah orang yang buruk dan ia telah terbiasa tampil sebagai orang tua tunggal. Saat ini pun ia telah bersiap di dapur dan menyiapkan sarapan sederhana untuk Tamako. Ia telah melakukan ini hampir dua tahun.

Tamako pun paham dengan keadaan yang dialami ayahnya. Semenjak kematian ibunya, gadis itu sadar bahwa ayahnya telah terluka cukup dalam. Sehingga Tamako selalu berusaha untuk menyembunyikan berbagai masalah dan kelemahan dirinya di depan ayahnya, semata-mata hanya agar tak memberi tambahan beban pada satu-satunya keluarganya yang tersisa. Tamako tersenyum saat menyapa ayahnya.

"Selamat pagi, ayah."

"Selamat pagi Tamako, selamat atas kelulusanmu."

Menahan senyuman, "terima kasih." Tamako membalas.

Sejujurnya ayah Tamako tak terlalu mengerti kehidupan anaknya selama di sekolah. Sehingga topeng yang dikenakan gadis itu selama di rumah tak pernah disadari oleh ayahnya. Tamako tak keberatan tentang itu, menahan berbagai masalah dan bebannya sendiri dengan tubuh kecilnya sebagai seorang gadis. Jalan ini memanglah keputusan yang diambilnya sendiri sehingga ia harus siap menanggung konsekuensinya.

Pria itu mungkin terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Ia memang mengurangi beban kerjanya semenjak kematian istrinya. Dalam pikirnya ia juga ingin memberi sedikit waktu lebih pada Tamako. Namun memang kebutuhan akan uang demi kehidupan sehari-hari agak sulit di tawar. Ia sering pulang malam dan tak ada waktu lagi untuk melihat Tamako di sekolah. Bahkan saat ada pertemuan orang tua, ia tak pernah datang.

Sekali lagi Tamako menerima kenyataan itu dengan lapang.

Menuju ke meja makan.

"Aku pikir kau harus mulai memutuskan ke mana kau ingin melanjutkan sekolah."

"Sepertinya kita tak perlu memikirkannya ayah. Aku akan memilih sekolah di SMA selatan saja, sekolahnya cukup dekat dengan tempat tinggal kita sekarang."

"Jika memang itu yang kau inginkan, aku tak masalah juga."

Percakapan yang mereka lakukan memang tak panjang. Seterusnya mereka hanya fokus pada makanan yang harus segera dihabiskan. Waktu tak bisa terus menunggu, mereka pun juga harus bersiap untuk kegiatan selanjutnya.

Selesai makan.

Mereka membagi tugas untuk membersihkan meja dan alat makan. Tamako kebagian tugas untuk membersihkan alat makannya. Tak keberatan, ia melakukannya dengan segera.

Setelah semua selesai dan tak ada hal lain lagi yang harus dilakukan di sini. Meja bersih dan semua alat makannya juga sudah bersih. Sepertinya sudah waktunya untuk berangkat.

Tamako segera ke depan untuk mengenakan sepatunya. Ayah Tamako juga sedang mengambil tas jinjingnya.

Mereka berdua sekarang telah siap di depan pintu rumah. Sebelum menutup pintu dan menguncinya. Mereka mulai bersiap untuk melakukan kebiasaan baru yang tak pernah terputus.

Dari luar pintu mereka dapat melihat foto ibu Tamako yang berdiri di sebuah meja yang memang ditujukan khusus untuk meletakkan foto itu. Sebuah foto perempuan yang tampak cukup ramah dengan senyuman. Sedetik Tamako dan ayahnya saling menatap untuk memberikan sinyal. Setelah cukup yakin, mereka semua berpamitan bersama.

"Kami berangkat." Tamako dan ayahnya berpamitan pada (foto) ibunya.

Matahari pagi bersinar tak terlalu panas. Angin lembut melintas dengan sensasi dingin. Perpaduan tersebut sejatinya membuat udara pagi di sini terasa sedikit dingin. Namun aura yang ada di sekitar Tamako dan ayahnya terasa begitu hangat.

Untuk sampai ke sekolah Tamako perlu menaiki kereta, begitu pula ayah Tamako jika ingin pergi ke tempat kerjanya. Mereka pergi ke stasiun yang sama, namun dengan kereta yang berbeda. Sehingga setelah memasuki stasiun kereta, Tamako mulai berpamitan dan berpisah dengan ayahnya. Setelah cukup jauh dengan ayahnya, wajah Tamako perlahan berubah.

<<>>

Keramaian memenuhi isi kereta, walau tak terlalu menyesakkan. Masih ada sisa kursi untuk Tamako duduki. Tak banyak orang bicara dalam perjalanan. Hanya ada beberapa anak SMA yang kebetulan dilihatnya, saling bercakap pelan dan tampak bercanda.

Sesaat Tamako hanya memandang kumpulan kecil anak SMA itu. Tersenyum sejenak dan hilang seterusnya. Pemandangan ini hanya memperkuat kesan Tamako yang sendirian tanpa ada kawan.

Sebagai manusia yang masih berada di usia muda. Mencari kebahagiaan bagikan sebuah kewajiban. Mencari teman dan melakukan berbagai hal yang menyenangkan. Namun itu semua hanya menjadi masa lalu saja bagi Tamako. Gadis itu benar-benar payah dalam menjalani kehidupannya. Setelah ia meninggalkan jauh kawan-kawan lamanya, ia tak mampu lagi untuk menciptakan dunia yang sama. Waktu terus berjalan dan dirinya masih terperangkap dalam kenangan.

Tamako menarik napas sejenak.

Kini Tamako telah terlepas dengan kenangan lamanya. Setidaknya ia kini dapat melihat ke depan lebih jelas. Pemandangan yang dilihat matanya kini sedikit berubah. Sebelumnya ia melihat kumpulan anak SMA itu dengan berbagai warna yang indah, hingga membuatnya iri dan kehilangan senyuman. Setelahnya kini ia sedikit menerima segala hal yang terjadi. Ia tak bisa menyalahkan siapa pun, karena ia sadar nasibnya sekarang hasil karena ia tak pernah berusaha.

Sekarang Tamako mengambil headset dari tasnya. Ia berencana untuk mendengarkan beberapa musik untuk mengalihkan pikirannya. Atau sedikit berharap suasana hatinya akan menjadi lebih baik.

Daftar putar pada ponselnya menunjukkan sebuah lagu yang merdu dengan musiknya yang lembut. Perlahan membuat Tamako kehilangan sadar karena nyaman. Sejenak, gadis itu mulai terlelap. Pada tidurnya yang singkat ia tertarik lagi pada kenangan lama.

—Bermain bersama dengan tiga anak laki-laki dan dua anak perempuan yang merupakan anggota dari kelompok yang pernah dia bentuk.

—Melihat penampilan salah satu dari temannya yang menarikan tarian persembahan kepada dewa dengan pakaian dan tarian yang begitu indah.

'—Aku mencintaimu, Tama—!'

Seketika Tamako langsung membuka matanya bersama detak jantung yang tiba-tiba menjadi cepat. Sedikit keringat mulai menetes dari pelipisnya. Napasnya terengah, seakan tenaganya terkuras oleh semua yang dilaluinya.

"Haru...." Tamako menggumamkan sebuah nama.

Ia mengucapkan nama itu dengan nada yang berat. Nama itu seakan menjadi sesuatu yang sulit untuk diucapkan oleh mulut dan hati gadis itu.

Tangannya mengelap wajah sejenak.

Durasi musik sebelumnya telah usia. Musik berganti menjadi sedikit pilu dengan nada yang lambat. Tamako masih bertahan mendengarkannya. Seakan musik itu mengikat tubuhnya hingga tak bergerak, dan merusak batasan waktu antara masa lalu dan sekarang. Ia tak punya pilihan lain selain mengenang kembali.

Musik di telinganya akhirnya usai. Begitu pula dengan tujuannya yang telah sampai tak lama lagi. Ia harus segera bersiap untuk turun di pemberhentian berikutnya.

Lagu yang terputar pada ponselnya sanggatlah tenang. Namun tanpa sadar telah menghanyutkan Tamako pada sebuah aliran yang begitu jauh. Ia tak merasakan apa pun, hal yang dirasakannya hannyalah dunia yang sunyi. Seakan orang-orang di sekitarnya diam tak bergerak tanpa suara.

Dia menampar pipinya sendiri dengan lembut untuk memberi sedikit semangat.

"Aku harus bisa melewati hari ini dengan baik. Lagi pula ini adalah hari terakhirku di sekolah."

Musik berganti kembali dengan nada yang terasa lebih cepat sehingga memacu semangat.

Tamako melangkahkan kakinya dengan tambahan sedikit semangat. Keluar dari stasiun dan bergegas pergi ke sekolah melalui sebuah trotoar yang masih cukup sepi dengan sedikit orang.

Jarak antara stasiun dan sekolah tidaklah jauh sehingga dia dapat menjangkaunya dengan cepat. Saat ini dia hanya perlu menyeberang dan dapat memasuki gerbang sekolah untuk dapat mengikuti pesta perpisahan.

'—Aku mencintaimu, Tama--!'

Bayangan itu kembali lagi dan mengaburkan kesadarannya untuk sesaat. Konsentrasi dan fokusnya masih dalam kendali walaupun terganggu akibat kenangan yang terlintas.

Tapi, matanya perlahan berubah menjadi semakin kosong. Senyum semangat yang sempat terlintas menjadi beku kembali. Belaian angin dan kelopak bunga sakura tak dapat menarik kesadarannya dengan segera.

Lalu lalang kendaraan tidaklah ramai. Rendahnya jumlah penduduk dan banyaknya masyarakat yang memilih kendaraan umum membuat jalanan menjadi sangat sepi. Tapi, itu bukanlah alasan untuk dapat menerobos lampu lalu lintas yang belum berubah.

Lampu penyebrangan masih berwarna merah. Dengan kesadaran yang semakin pudar dan musik melow yang begitu menghanyutkan. Dia melangkahkan kakinya tanpa pikiran segar. Tak ada yang menghentikannya karena memang tak ada satu orang pun yang ada di dekatnya saat itu.

Seorang laki-laki dengan seragam yang sama berlari kencang dari kejauhan.

Terlambat.

Jauhnya jarak yang ia tempuh membuat usahanya sia-sia. Tamako terlanjur sampai di tengah jalan sekalipun lampu penyebrangan masih merah.

Sebuah truk besar dengan pengemudi yang terlihat mengantuk datang dengan kecepatan sedang.

Pengemudi itu menyipitkan matanya untuk memperjelas pandangan dari matanya yang sedang mengantuk.

"Itu kan!!!"

Ia bergegas untuk menginjak pedal rem dengan segenap kekuatannya. Tapi, gaya dari dorongan beban yang ditambah oleh pengereman yang terjadi secara mendadak tak sempat menghentikan kendaraan itu dengan segera. Sekalipun kecepatannya yang tak terlalu tinggi, besar gaya yang dihasilkan oleh truk itu tetaplah berbahaya.

Suara klakson yang luar biasa kencang memecah telinga Tamako sehingga dia kembali ke dalam alam sadarnya.

Matanya kembali menjadi seperti semula dan pandangannya menjadi semakin jelas.

Satu jengkal atau kurang dari lima belas sentimeter; moncong truk itu sudah menyambutnya tepat di depan matanya.

Pengereman tak sepenuhnya berjalan sempurna dan gaya dorong dari beban truk menambah buruk keadaan. Dalam hitungan detik, tubuh kecil Tamako tertabrak hidung besar truk.

Truk itu dapat berhenti sempurna beberapa meter kemudian.

Tapi, tubuh kecil Tamako masih berputar kencang di udara dengan kilatan cahaya merah yang datang dari cahaya matahari yang dibiaskan oleh darahnya. Rambut panjangnya terurai tak teratur di udara dan membentuk sebuah pusaran. Tas jinjing yang dia bawa telah pergi entah ke mana.

Tamako masih terbang dan terlempar di udara. Putaran yang dibuat tubuhnya terlihat seperti sebuah tarian kejam penuntun kematian jika diperlambat.

Beberapa waktu kemudian, tubuh Tamako jatuh tanpa kendali ke atas aspal. Kepala bagian kiri menjadi yang pertama dalam pendaratannya; diikuti oleh bagian tubuhnya yang lain.

Tubuhnya berputar dan terseret sejauh beberapa meter dan menyisakan sebuah garis merah di jalur yang baru dia lewati.

Siku dan lutut terasa sedikit dingin tapi perlahan menjadi perih saat bersentuhan dengan aspal. Bau anyir dan amis perlahan tercium dari hidung yang semakin lama kesulitan untuk menghirup udara karena suatu hambatan.

Birunya langit, hitam aspal, merah muda dari bunga sakura, dan segala keindahan warna dunia perlahan berubah menjadi merah.

Sebuah suara samar seakan memanggil namanya. Tapi, dengungan kuat membuyarkan suara itu.

"Apakah... aku akan mati...?"

Pemandangan merah itu perlahan berganti. Rasa lelah dan berat menggantung di kelopak matanya. dengan rasa pasrah, dia menutup kedua matanya hingga membawanya ke sebuah kegelapan.

'Maaf semuanya... aku bahkan...tak sempat mengucapkan se—'