Helikopter itu kini hampir tiba, tinggal melewati sebuah tebing tinggi, dan.. Disitulah Desa Siaga.
"Hei!! Pak apa anda melihatnya juga?", tanya Pak Hendra saat ia melihat sebuah pemandangan yang tak biasa di balik tebing tinggi.
"Kemana labirin itu?", heran Kepala desa.
"Apa benar ini desa kita?",tambahnya lagi yang semakin heran saat ia melihat dari udara sudah tiada lagi labirin yang mengurung desa mereka.
"Benar! Ini desa kita!", ucap Kepala desa kegirangan.
"Bunker itu terbakar, semua sistem di dalamnya dan yang terpaut dengannya akan hilang bersamaan dengan lenyapnya bunker", ucap Beno.
"Terima kasih, Max", lanjut Beno.
Tiba-tiba...
Helikopter yang mereka tumpangi berguncang. Awan hitam pekat yang tak pernah mereka lihat tiba-tiba muncul di depan mata. Sambaran kilat menggelegar menyambar helikopter mereka.
"Tidak!!! Sepertinya kita akan jatuh!!", teriak Pak Hendra sebagai Pilot heli itu saat heli yang mereka tumpangi benar-benar kehilangan keseimbangan.
Mereka tak bisa melakukan apa-apa. Helikopter mereka mati total. Pintu helikopter terkunci otomatis. Mereka mencoba memaksa membukanya.
"Aaaa!!"
Mereka bersama-sama mendorong pintu heli agar terbuka. Berbagai benda mereka coba untuk membuka pintu itu. Agar mereka tak mati tenggelam dengan helikopter yang sudah tak berfungsi itu.
"Satu!!"
"Dua!!"
"Tiga!!"
"Tarik!!"
"Tarik!!!"
Angin berkekuatan cukup besar berhembus saat pintu itu terbuka pertama kali. Helikopter mereka makin terombang-ambing hembusan angin kencang. Beno yang ada di bagian terdekat dari pintu. Ia terlempar keluar dari helikopter itu, jatuh ke laut yang telah terbentuk pusaran air menyeramkan disana. Beno tak bisa berbuat apa-apa selain pasrah. Begitu juga teman-temannya yang masih berada dalam heli bersama ombang-ambingan angin.
"Ya Alloh.. Aku tau Engkau yang merencanakan semuanya.. Aku pasrah padaMu Ya Alloh.. Hidup dan matiku untukmu Yaa Rabb", lirih Beno hingga akhirnya tercebur masuk ke dalam pusaran air yang tampaknya pernah ia lihat sebelumnya.
Byurr..
Tubuhnya melesat masuk ke dalam pusaran menyeramkan. Memori-memori dari awal ia memancing bersama Indra hingga akhirnya terdampar tiba-tiba muncul di benaknya, melewati banyak rintangan, masuk ke dalam penjara, berselisih dengan Max ,semua memori itu terus berkutat dalam benak Beno semacam pemutaran film di bioskop. Tubuhnya pasrah tersedot pusaran. Hingga ia tak sadarkan diri.
Kepanikan masih tercipta di dalam helikopter. Hingga satu persatu dari mereka menceburkan ke dalam lautan. Tapi anehnya, saat mereka menceburkan diri dari helikopter yang telah rusak itu, tak satupun dari mereka melihat pusaran air dimana Beno tersedot kedalamnya.
Byurrr...
Saat mereka sudah tiba di air, mereka melirik kesana kemari mencari keberadaan Beno. Tapi tak satupun melihat ujung rambutnya sekalipun.
"Dimana Beno?!", tanya cemas Dr. Ben.
Tapi ia benar-benar tak bisa melihatnya. Kemana Beno?
Untungnya jarak mereka saat jatuh sudah dekat dengan bibir pantai. Hingga mereka tak perlu berlama-lama berenang mencapai daratan.
Mereka semua berhasil tiba di bibir pantai. "Apa kalian melihat Beno?", tanya Dr. Ben saat pertama kali tiba di daratan.
"Sudah.. Ikhlaskan.. Dia mungkin sudah tenang di alam sana", terang Arash seraya merangkul pinggangnya. Kemudian Andre dan Max ikut merangkulnya juga. Mereka turut berduka atas kejadian yang tak terduga itu.
"Tidak!! Dia masih hidup!!", gertak Dr. Ben yang berlari menuju bibir pantai hendak menuju ke air hingga sebatas pinggangnya masuk ke dalamnya.
Ia berusaha melawan terpaan ombak yang menabraknya dari satu arah. Ia meneriakkan nama Beno berulang kali. Tapi apalah daya, usahanya sia-sia saja. Batang hidung Beno tak pernah muncul lagi di hadapan mereka.
"Kalian tidak apa-apa?", tanya Pak Hendra sambil membopong tubuh Kepala desa bersama Elia. Kepala desa sepertinya terlalu banyak menelan air saat berenang tadi hingga ia tak sadarkan diri.
Arash menyusul Dr. Ben yang masih mematung di dalam air. "Sudahlah, Ben", bisiknya dalam riakan ombak.
Dr. Ben dan Arash pun kembali ke daratan.
"Uhuk!! Uhuk!!"
Kepala desa terbangun setelah Pak Hendra melakukan resusitasi jantung paru padanya.
"Syukurlah", ucap Elia.
Kepala desa terbangun. Dan mereka pun menuju Desa siaga bersama.
"Pak Hendra?", sapa Andre.
"Ya?", jawab Pak Hendra.
"Apa kau mengenal Leah?"
"Leah? Ji Leah Hendrawan maksudmu?", tanya balik Pak Hendra untuk memastikan orang yang dimaksud Andre benar dengan dugaannya.
"Sepertinya, iya", timpal Andre yang kemudian mengeluarkan sebuah dompet dari balik saku celananya. Lalu ia mengeluarkan sebuah foto dari dalam dompet itu dan menunjukkannya pada Pak Hendra, " Ini, ini dirimu kan?".
"Ya, dan Leah adalah putriku. Dimana dia sekarang?"
Andre menunduk sebelum menjawab pertanyaan Andre, " Dia menjadi bagian dari manusia gila itu di bunker, setidaknya itu yang Beno ceritakan padaku. Dan dompet ini, dari Beno".
Dr. Ben yang sedikit mendengar percakapan antara Andre dan Pak Hendra membenarkan apa yang baru saja diucapkan Andre.
"Ya, dia ikut terbunuh di bunker. Beno sangat terpukul akan kepergiannya".
Genangan air mata tak terbendung jatuh mengalir melewati pipi Pak Hendra setelah tahu putri semata wayangnya telah tiada.
Andre merangkulnya dari samping. Dia juga ikut bersedih akan kejadian yang menimpa Leah.
Tak terasa, mereka pun tiba di gerbang Desa Siaga. "Mereka masih seperti dulu", ketus Kepala desa saat melihat manusia abnormal yang merupakan warganya masih saja dalam keadaan sama.
Langkah mereka terhenti di depan gerbang Desa Siaga. Meratapi manusia-manusia yang berlalu lalang masih saja manusia abnormal.
Mereka melanjutkan langkah mereka kembali setelah beberapa menit mematung bersama di depan gerbang. Mereka berjalan menuju rumah Kepala desa yang berada tepat diantara rumah warga.
Lantas mereka pun terduduk mengistirahatkan badan mereka yang telah tercebur ke lautan di teras rumah Kepala desa. Baju mereka masih basah kuyup meski telah sekitar setengah jam berada di bawah sinar matahari.
Dr. Ben terduduk dengan bertopang pada kedua lengannya yang diletakkan lebih mundur dari badannya. Dalam benaknya, kembali muncul banyak memori tentang Desa ini. Dari mulai ia masuk kemari bersama Pak Hendra, diberi tempat tinggal oleh Kepala desa tepat di samping rumahnya, lalu ia diberi izin membuka praktik, tapi tunggu.. Ia ingat sesuatu.
"Jaketku!", lirihnya yang hanya mengagetkan Arash.
"Jaket apa?", tanya Arash.
"Aku ingat aku memakai jaket saat tiba kemari, dan sepertinya aku masih menyimpannya", jelasnya.
Tanpa berpikir dan banyak bicara lagi, Dr. Ben bergegas menuju rumah yang pernah ia tinggali dahulu.
"Mau kemana dia?", batin Arash yang kemudian ia segera membuntuti Dr. Ben.
Andre, Max, Kepala desa, Elia, dan Pak Hendra tak menyadari kepergian Dr. Ben dan Arash karena mereka telah masuk ke dalam rumah sebelum Dr. Ben beranjak.
Dr. Ben membuka pintu tua rumah itu yang memang tak ada yang menguncinya.
Cklek...
Decitan pintu bergema ke dalam ruangan lengang tak berpenghuni.
Dr. Ben lagi-lagi bergegas menuju kamar yang pernah ia tinggali. Ia mencoba mengayunkan pegangan pintu ditambah sedikit dorongan.
"Sial!! Pintunya terkunci!", gerutunya.
"Hei! Kamu mau ngapain sih?", tanya Arash saat tiba di pintu masuk rumah dan matanya langsung mendapati Dr. Ben saat itu juga.
Dr. Ben berusaha membuka pintu itu dengan mendobraknya. Namun tak kunjung terbuka pula pintu itu.
Arash mendekat. Dari jarak 2 meter ke pintu kamar Dr. Ben, Arash mengambil ancang-ancang. Ia berlari menuju pintu di depannya sembari berteriak, " Menepi!!".
Dr. Ben terkejut dengan teriakan Arash sampai langsung berbalik menghadap Arash. Melihat Arash tengah berlari ke arahnya, Dr. Ben pun segera menepi.
Brukk...
Tubuh Arash menerpa pintu di hadapannya. Hingga membuatnya terbuka lebar.
Dr. Ben terkagum-kagum pada Arash. Mulutnya menganga tanpa ia sadari.
" Arash?"
Dr. Ben berjalan menuju kamar itu masih dengan perasaan takjub pada tingkah Arash barusan. Sedangkan Arash telah masuk terlebih dulu saat pintu itu dibukanya.
Dr. Ben masih menatap Arash saat ia sudah berada di kamar itu bersama Arash. Ia tak menyangka istrinya sekuat itu dibanding dirinya.
"Kau?"
Arash hanya mengangkat alisnya saat Dr. Ben memanggilnya seraya menunjuk ke arahnya.
"Kau Arash kan?"
Arash hanya tersenyum lebar sebelum akhirnya berkata, " Tentu, aku Arash, istrimu".
"Kenapa? Kau tak menyangka aku bisa lakukan hal itu?"
"Bagaimana?", penasaran Dr. Ben.
"Kau mendobraknya di bagian tengah pintu itu. Sedangkan aku, aku mendobraknya di bagian dimana kunci tanam pintu itu berada, hingga aku bisa merusak kunci tanamnya dan membukanya"
"Itu logikanya, Ben", lanjut Arash.
Dr. Ben hanya tersenyum. Dalam benaknya ia bergumam, " Benar juga, ya".
" Apa yang kau cari disini?", tanya Arash.
" Kan sudah kukatakan tadi, aku masih menyimpan jaketku disini"
"Jaket? Untuk apa?"
"Aku kedinginan sayangku, siapa tau jaket itu masih bisa menghangatkanku", timpal Dr. Ben yang mulai mencari benda yang ia sebut jaket itu dari mulai lemari nakas di samping tempat tidur disana.
Tiba-tiba Arash memeluknya dari belakang, perasaan Dr. Ben terkejut bercampur senang.
"Aku bisa menghangatkanmu, Ben", goda Arash saat memeluknya.
"Ish.. Arash", jawab Dr. Ben yang masih terdiam saat Arash masih belum melepas pelukan padanya.
"Aku rindu memelukmu", tambah Arash yang semakin mempererat pelukannya.
Dr. Ben melepas secara paksa jemari Arash yang menempel di dada kekarnya.
Lantas Arash pun terdiam saat Dr. Ben melepas pelukan darinya.
Namun, Dr. Ben berbalik ke arah Arash. Dan humptt..
Dr. Ben memeluk Arash kembali. Dengan erat. Sangat erat.
"Pelukanmu masih sama", gombal Dr. Ben lalu mencium mesra pipi Arash.
Tiba-tiba Arash melepas eratnya lengan yang menempel di pinggang Dr. Ben.
"Eh.. Andre?", sapanya saat melihat Andre masuk secara tiba-tiba ke kamar itu.
Mendengar ada orang lain masuk. Dr. Ben pun melepas pelukannya dari Arash.
Ia pun berbalik ke arah pintu masuk kamar.
"Maaf.. Aku mengganggu kalian ya?", kata Andre yang sedikit merasa bersalah saat ia masuk tak mengetuk pintu dulu.
"T.. Tidak", timpal Dr. Ben.
"Aku sedang mencari jaketku yang tertinggal dulu disini", singkat Dr. Ben.
"Oke. Biar aku bantu", pukas Andre yang kemudian membantu mencari keberadaan jaket itu di ruangan lain.
"Sebenarnya untuk apa jaket itu?", tanya Andre penasaran.
"Dia kedinginan, Dre", jawab Arash yang masih bisa mendengar pertanyaan Andre meski berbeda ruangan.
"Ketemu!!", riang Dr. Ben.
Andre mendekat ke arah Dr. Ben yang menemukan jaketnya di dalam lemari pendingin tempatnya dulu menyimpan obat-obatan.
"Ahh.. Sayang sekali, jaketnya dingin", gerutu Dr. Ben setelah meraih jaket itu. Dan entah kenapa bisa ada di lemari pendingin.
Dr. Ben pun menaruh jaketnya di atas kasur. Lalu ia terduduk di sampingnya. Ia meraba-raba setiap bagian kain jaket itu.
"Apa ini?", gumamnya saat tangan miliknya meraba sebuah benda di saku jaket itu. Ia pun merogoh saku jaket dan mengambil sebuah benda di dalamnya.
Ia menarik benda yang sudah ada dalam genggamannya keluar.
Sebuah benda yang tak asing baginya ada di balik saku jaket itu.
"Apa itu?", tanya Arash dan Andre serentak.
" Ini adalah...