Mereka masih saja terdiam sampai-sampai mereka kembali dikagetkan oleh hantaman kapak penjaga gila ke pintu dan tentu saja hal itu kembali membuat mereka terkejut.
Dan hal itu membuat Beno mengalihkan pandangan ke arah pintu itu. Dan tanpa sengaja ia melihat sebuah denah di samping pintu yang sedang berusaha diterobos penjaga gila. Ia pun mengamati sebuah denah yang terpampang di salah satu bagian dinding tersebut.
Lantas Beno pun mendekat ke arahnya. "Kita sedang ada di ruang ini", ujar Beno sambil menunjuk salah satu ruang di denah yang ia amati.
Ujaran Beno tadi tentu saja membuat Dr. Ben dan Arash mendekat ke arahnya.
"Hanya ada satu pintu masuk disini", ujarnya lagi. "Ada satu ruangan tapi bisa mengarah ke jalan keluar dari ruangan ini", ucap Beno lagi sembari menunjuk sebuah ruangan di samping ruangan yang sedang mereka pijaki.
Dr. Ben dan Arash ikut mengamati denah itu dengan seksama.
"Ayo ikuti aku!", ucap Dr. Ben secara tiba-tiba seraya menekan kembali tombol yang tadi ia tekan saat memutar lemari kaca.
Dan yang terjadi adalah lemari berisi senjata tadi kembali berputar menjadi lemari kaca.
"Aku melihatnya!", seru Beno.
"Kau melihat ruangan itu?",tanya Dr. Ben.
"Ya, aku melihatnya", jawab Beno.
Beno mendekat ke lemari kaca itu dan membawa kapak di dekatnya. Beno berjongkok di samping lemari itu. Ia mengamati dan mendapati kalau posisi lemari itu 5 cm di atas lantai yang sedak mereka pijak. Kemudian Beno berkata pada Dr. Ben, "Coba tekan lagi tombol itu".
Dr. Ben pun kembali menekan tombol yang ada dalam brankas. Dan otomatis lemari kaca tadi kembali berputar, tapi saat lemari kaca itu baru setengahnya berputar, Beno segera menancapkan kapak di bagian bawah lemari itu yang berjarak 5 cm dari tempat Beno berjongkok.
Trap..
Beno berhasil menancapkan kapak itu untuk menahan lemari itu agar tidak berputar.
"Lewat sini!", ujar Beno pada kedua rekannya.
Arash pun segera masuk melalui celah dari tempat lemari yang tertahan kapak. Ia mengamati keadaan sekitar ruang yang hanya selebar 1 meter itu. Pengap dan debu beterbangan tersorot cahaya yang masuk melalui atap kaca di atas ruangan itu.
"Aman! Ayo masuk!", seru Arash.
Dr. Ben diurutan kedua untuk memasuki celah itu. Ia pun segera melewatinya.
"Aaa!! Tasku tersangkut sepertinya", ucap Dr. Ben yang tak bisa melanjutkan langkahnya karena merasa ada sesuatu yang menahan tasnya.
Beno yang berada di belakangnya mencoba membantu Dr. Ben dengan tas besarnya itu.
"Coba lepaskan tasmu", ujar Beno.
Dr. Ben pun menuruti saran Beno. Ia melepaskan tali gendongan tas dari kedua bahunya. Beno memegangi tas itu dari belakang. Dr. Ben bisa melawati celah itu tanpa menggendong tas punggungya. Tas itu tersangkut, benar-benar tersangkut di celah masuk ke ruangan baru mereka.
Brak..
Penjaga aneh masih saja berusaha masuk ke ruangan tempat mereka berada. Dan sepertinya celah yang diukir asal dengan kapaknya makin melebar.
"Beno! Kamu masuk dulu lewat celah sebelahnya. Biar aku yang mencoba membawa tas ini",ucap Dr. Ben setelah melihat aksi penjaga gila yang hampir mendekat ke arah mereka.
"Baiklah", jawab Beno. Ia pun berjalan ke celah satu lagi.
Beno melepas tas punggungnya terlebih dahulu untuk menghindari hal yang sama seperti Dr. Ben. Kemudian ia pun masuk melalui celah itu. Beno dan tubuhnya berhasil masuk melalui celah sebelah lagi. Lantas ia pun segera mengambil tas yang berisi perbekalan dan senjata itu lewat celah yang sama.
Tapi berbeda dengan Dr. Ben yang masih belum bisa juga mengeluarkan tasnya yang tersangkut di celah itu.
Bruk....
Penjaga gila itu berhasil membuat pintu masuk ke ruangan itu terlepas dari tempatnya.
Tentu saja hal itu membuat mereka terkejut setengah takut. Dr. Ben terus berusaha membebaskan tasnya. Penjaga gila itu terus mendekat meski berjalan lambat. Dan hal yang terparahnya adalah...
Penjaga itu bukan hanya satu, banyak penjaga gila lain yang berdatangan dan melewati pintu yang sama untuk masuk ke ruangan itu.
Beno, Dr. Ben dan Arash benar-benar terkejut dengan kedatangan mereka.
Dor..
Dorr...
Beno menembaki penjaga-penjaga gila itu. Tapi hal itu justru membuat mereka semakin membludak.
"Sudahlah tinggalkan saja tas itu!", ucap Arash yang ingin segera pergi dari ruangan itu.
Tanpa pikir panjang, Beno melepas kapak penahan lemari itu. Dan tentu saja lemari itu kembali berputar 90° lagi ke tempat asalnya. Disaat yang bersamaan juga, tas Dr. Ben ikut terdorong ke arah Dr. Ben saat pintu itu kembali tertutup . Dr. Ben segera meraih tasnya dan kembali meletakkannya di punggung miliknya.
Bruk..
Penjaga itu hampir saja menghantamkan kapak tajamnya ke arah mereka, tapi untung saja lemari itu segera tertutup sehingga kapak itu hanya menghantam lemari.
~~~
Andre dan Max masih aman-aman saja di dalam kamar Max yang berpintu baja. Namun, mereka juga bingung harus bagaimana. Satu sisi mereka tak punya senjata untuk melawan penjaga-penjaga brutal di luar sana, di sisi lain, jika mereka tetap di kamar ini pun mereka bisa mati kelaparan dan kehausan. Karena disana tam ada cadangan makanan.
Lantas ide untuk menghubungi Beno kembali terlintas di benak Andre. Tapi ia berterus terang saja pada Max untuk menghubunginya.
"Max, bolehkan aku pinjam ponselmu?"
"Silahkan. Mau hubungi siapa kamu?"
"Beno. Aku pikir dia bisa membantu kita"
"Apa dia masih hidup? Mungkin dia sudah mati diterkam penjaga-penjaga itu. Tapi jika kau masih ingin mencoba menghubunginya silahkan"
Andre tak peduli pada ucapan Max barusan, ia tetap mencoba menghubungi Beno, tapi tak juga diangkat telpon darinya. Hingga ia pun memutuskan untuk mengirim pesan saja pada Beno.
~~~
"Ayo cepat!!", ucap Arash yang kemudian berjalan setengah lari namun tetap siaga.
"Sekarang tujuan kita kemana?", tanya Beno yang sat itu masih bingung tentang tujuan mereka setelah mendapat senjata.
"Andre, kita harus selamatkan Andre dulu, baru kita pergi tinggalkan bunker ini", jelas Dr. Ben. "Coba kamu hubungi Andre", pintanya kepada Beno.
Beno merogoh ponsel di sakunya, dan menekan tombol power selama 5 detik untuk membuatnya booting. Karena sedari tadi ia mematikan ponselnya untuk mengirit daya. Seusai booting, ternyata ada sebuah panggilan masuk sebanyak 4 kali dari Max dan ada juga sebuah pesan masuk yang terpampang di layar itu.
"Dari Max?", tanya dalam hatinya.
Ia pun membuka pesan itu. Rentetan kalimat dibaca oleh Beno disana.
'Beno, bantu aku keluar dari sini!
Andre'
"Andre memberi pesan padaku, untuk membantunya keluar dari bunker. Tapi aku tak tahu dia ada dimana", ucap Beno.
Brugh..
Brugh..
Hantaman kapak terdengar menggema dari tempat lemari penghalang ruang kepala dengan lorong tempat mereka berada. Pastinya ulah penjaga gila itu.
"Ayo! Kita masuk bunker saja dulu!", ajak Dr. Ben yang ingin segera keluar dari lorong selebar 1 meter itu.
Mereka pun kembali berjalan ke sebelah kanan dari tempat lemari kaca tadi berada. Beberapa meter kemudian, mereka berbelok ke arah kanan. Karena tak ada jalan lain selain jalan itu. Berjalan beberapa langkah hingga akhinya kembali terhenti.
Mereka tak mendapati jalan lagi disana. Buntu. Jalan ini buntu.
"Kemana lagi kita?", tanya Arash.
"Beno, tadi katamu ada jalan keluar", ucapnya lagi.
"Aku memang melihat sebuah pintu keluar tadi di denahnya", jawab Beno yang juga heran kenapa tidak ada jalan menuju keluar disana.
"Jika di denah ada pintu keluar, bisa saja bukan hanya berupa pintu besar yang terpampang, bisa jadi juga pintu kecil macam kita masuk dulu ke bunker ini", ucap Dr. Ben.
Tapi setelah diamati, Dr. Ben pun tak mendapati pintu besar ataupun pintu kecil disana. Semua yang nampak hanya tembok saja.
Beno mendekat ke dinding itu. Ia yakin ada sebuah pintu keluar disana. Karena jika tidak, masa iya dia harus kembali ke ruangan tadi. Beno mencoba mengetuk-ngetuk dinding itu.
Dibagian atas, suara ketukan itu sama saja, hanya ketukan sebuah dinding bata. Tapi saat tangan yang mengetuk itu sampai di bagian bawah, bunyi yang dihasilkan cukup berbeda. Itu seperti bunyi sebuah spanduk yang hanya menutupi sebuah lubang.
Beno mengusap bagian dinding yang terdengar berbeda bunyinya itu. Debu tebal menutupinya. Ada sebuah perbedaan tekstur antara dinding bata dan dinding dengan beda bunyi tadi.
Dan benar saja, saat usapan tangan Beno dilepas, ada sebuah spanduk yang ditempel dengan paku ke dinding disana. Beno pun mencoba melepas paku yang sudah berkarat itu dengan tangan kosong. Tapi cara itu tak berhasil.
Dr. Ben beraksi membantu Beno. Ia merobek kain spanduk yang tampaknya sudah lusuh dan rapuh itu.
Brek..
Kain itu sobek dibuatnya. Terbelah menjadi dua di bagian tengahnya.
Beno mengintip lewat celah berukuran 1 meter x 1 meter itu. Itu adalah tempat dimana mereka memanjat ke atap untuk memasuki markas penjaga ini.
Sekiranya keadaan sudah aman, mereka pun bergerak cepat, karena kalau tidak bisa-bisa penjaga-penjaga gila tadi menyusul mereka. Beno segera melewati celah itu dengan posisi tiarap.
Saat ia sudah melewati celah itu, ia mendapati jasad Leah disana. Dengan bagian kepala yang sudah tak utuh. Air mata mengalir melewati pipi Beno. Ia kehilangan wanita spesial yang baru saja dikenalnya.
"Ayo!", ucap Dr. Ben yang ada di posisi terakhir saat keluar lewat celah dinding itu. Ia mendapati Beno tengah menangis menatap sebuah jasad di depannya. Ia pun merangkulnya dan berkata, "Sudahlah. Ayo kita lanjut!".
Beno pun menghapus air matanya dan berkata, "Tenang saja Leah, aku akan menghabisi mereka semua".
Beno merobek sebagian kain spanduk yang menutup celah tadi. Lalu menutupkan kain itu ke atas wajah Leah.
"Ayo", ucapnya.
Dr. Ben dan Arash pun kembali berjalan melanjutkan langkah mereka. Tapi Beno masih berdiri di hadapan jasad Leah yang sudah ditutup kain spanduk meski hanya di bagian kepalanya saja.
Ia melihat sebuah dompet di samping jasad Leah. Lantas ia pun mengambilnya dan membukanya. Ia melihat sebuah tanda pengenal disana bernamakan 'Ji Leah Hendrawan'.
"Ini milik Leah", ucap Beno yang kemudian pergi dengan mengantongi dompet berisi tanda pengenal itu.
Beno pun segera menyusul Dr. Ben dan Arash yang sudah menuju Bunker milik Max.