"Beno! Ayo!!", ujar Dr. Ben yang sudah berjalan kira-kira 100 meter dari tempat Beno berdiri.
"Euh.. Iya", jawab Beno yang kemudian berlari mendekati Dr. Ben dan Arash.
Suasana saat mereka berjalan masih aman. Penjaga gila itu tak ada yang mendekat ke arah mereka berjalan.
Hanya beberapa saja mungkin yang menghadang mereka. Dan hal itu membuat mereka tetap siaga.
Mereka pun tiba di bagian samping bunker. Mereka tak tahu apakah kondisi di dalam bunker aman ataukah tidak. Jadi, Dr. Ben membawa istri dan seorang rekannya ke jalan masuk lain yang ada di bagian atap bunker. Tempat itu juga yang Candra gunakan untuk membebaskan diri dulu.
Ada sebuah tangga besi vertikal di bagian samping Bunker untuk mereka naik ke atap dak bunker. Mereka pun menapaki besi-besi anak tangga satu persatu. Atau bahkan dua perdua.
Beno tak banyak bertanya kali ini tentang kemana Dr. Ben membawa mereka. Tapi yang pasti dia akui, Dr. Ben sangat hafal tempat ini dibanding Max. Mungkin.
Setibanya di atap, Dr. Ben berjalan membawa mereka ke bagian tengah atap datar itu. Beno lagi-lagi tak melihat apa-apa disana. Hanya atap beton yang rata di semua sisinya. Tapi saat mereka mendekat lebih dekat lagi ke bagian tengahnya, ia baru bisa melihat sebuah celah kecil berbentuk lingkaran disana.
Dan Dr. Ben memperjelas jawaban dari rasa penasaran Beno tadi. Ia mengeluarkan pisau yang ia bawa dari markas para penjaga tadi. Ia gunakan pisau itu untuk mencungkil celah berbentuk lingkaran itu.
Prang...
Lempeng Besi tipis penutup terlempar dari tempatnya. Di balik tempat lempeng besi tadi terdiam, ada sebuah besi kemudi seperti pembuka pintu ruangan kaca di Lab Dr. Ben. Dan sepertinya benda yang ia lihat sekarang juga berfungsi sama dengan pintu itu.
Dan benar saja, Dr. Ben pun memutar kemudia itu sekuat tenaga, karena sepertinya itu sudah benar-benar berkarat.
Tiba-tiba...
Kring...
Kring...
Dering ponsel berasal dari saku Beno. Membuatnya segera merogoh ponsel pintar itu di saku samping celananya.
Ada nama Max terpampang di layar itu.
"Untuk apa Max menelponku? Dia mau bantuan kah?", ejek Beno. Dan tanpa pikir panjang ia pun mengangkat telepon dari Max.
"Halo?"
"Beno! Kamu dimana?"
Beno sedikit terkejut karena dibalik panggilan dari Max itu, bukanlah suara Max yang ia dengar, melainkan suara Andre
"Aku.. Mau masuk bunker", "Ini Andre kan? Kamu dimana?"
"Aku masih di kamar Max"
"Disana amankah?"
"Aku tidak tahu, tapi teriakan demi teriakan masih aku dengar. Aku tidak punya senjata apapun disini. Bisa tolong bantu kami?"
" Kami?"
"Iya, aku dengan Max"
"Apa Max juga harus kami selamatkan?"
"Dia adikku, Beno!!"
Saat Beno sedang asyik mengobrol dengan Andre, ia diajak Dr. Ben untuk segera mengikuti langkahnya yang sudah masuk ke dalam lubang yang ia buka tadi.
"Beno!! Cepatlah", ajak Dr. Ben.
"Iya, iya", singkatnya. Ia segera menutup teleponnya dan menaruh kembali ponsel pintarnya ke dalam saku celananya.
Dr. Ben kemudian Arash dan diikuti Beno di bagian paling atas. Mereka menapaki anak tangga yang tersusun vertikal itu dengan hati-hati karena kini mereka bukan menaiki tapi menuruni, hal itu cukup susah, selain karena tinggi, mereka juga harus tahu dimana letak benda yang dipijaknya.
Dr. Ben sesekali berhenti untuk menatap dan menyorotkan senter di tangannya ke arah bawah. Hanya deretan anak tangga sangat banyak yang ia lihat. Sehingga Ia pun kembali melanjutkan menuruni anak tangga itu.
Lagi-lagi Dr. Ben berhenti dan menyorotkan senternya saat anak tangga yang mereka pijak tinggal 30 buah lagi, ia berhenti beberapa menit disana. Hingga membuat Arash yang berada di atasnya bertanya dengan kesal, "Ada apa, Ben? Cepatlah! Aku sudah mulai lelah!".
"Aku melihat sesuatu"
"Apa?"
"Aku tak tahu, dia bergerak"
"Apa?"
"Aku tak bisa melihatnya dengan jelas"
"Lihatlah betul-betul!", kesal Arash.
Dr. Ben kembali menuruni anak tangga besi itu sebanyak 10 buah. Kemudian berhenti lagi, dan kembali mengamati benda bergerak di lantai paling dasar ruangan sempit itu.
" Penjaga gila! ", bisik Dr. Ben seraya melongo kepada Arash di atasnya.
"Apa? Bicara yang keras sedikitlah!", ucap Arash yang tak bisa mendengar bisikan Dr. Ben.
"Penjaga gila!!", ucap lagi Dr. Ben dengan nada berbisik namun lebih keras.
"Bicara lebih keras, Ben!", timpal Arash dengan nada sedikit tinggi.
"Penjaga gila!!!", teriak Dr. Ben sekeras-kerasnya yang sudah kesal pada Arash.
Teriakan Dr. Ben membuat penjaga gila di lantai paling dasar melihat ke sumber suara itu. Ia melongo ke arah Dr. Ben yang hanya berjarak 20 buah anak tangga darinya.
"Penjaga gila? Mana?", tanya Arash.
Dr. Ben hanya menjawab dengan ayunan jari telunjuk yang ia ayunkan ke bawah, ke arah penjaga gila itu ada.
"Bagaimana ini Beno?", tanya Dr. Ben yang mulai khawatir. Karena jalan satu-satunya mereka untuk menuju kamar Max hanya jalan itu.
Dr. Ben kembali melirik ke tempat penjaga yang berubah menjadi pembunuh itu. Dan saat melihatnya, tak sengaja senternya itu menyoroti tepat di kedua mata penjaga yang kebetulan masih menatap ke atas.
Kali ini, penjaga itu benar-benar melihat keberadaan Dr. Ben. Dan tanpa menunggu lagi, penjaga itu segera menyentuh tiang tangga vertikal untuk bersiap naik menyusul mangsanya yang tidak lain Dr. Ben.
"Naik! Naik! Naik!!", suruh Dr. Ben pada Beno dan Arash yang ada di atasnya.
Mereka pun melangkah naik, menjauh dari makhluk itu. Dr. Ben hendak mengambil senjatanya di saku celananya, karena tangan kirinya ia gunakan untuk berpegangan pada anak tangga, maka ia akan gunakan tangan kanannya untuk mengambil senjata di sakunya itu. Tapi karena tangan kanannya itu masih memegang senter, ia berniat akan menyimpannya terlebih dahulu di saku samping tasnya. Namun..
Plak..
Senternya terjatuh ke bawah karena terburu-buru saat mengambilnya.
"Ahh sial!!"
Ia pun mengabaikan perihal senter itu. Dan kemudian tangannya pun segera meraih shotgun di saku celananya.
Dan...
Duoorrrr...
Tembakan pertama, meleset. Dan penjaga itu masih terus berusaha menerkam Dr. Ben. Penjaga gila itu memang lambat jika berjalan, tapi jika memanjat, mereka jagonya. Kini jaraknya dengan Dr. Ben hanya 30 anak tangga saja.
Dr. Ben kembali menembakkan senjata ke arah penjaga itu.
Douurr...
Tembakan kedua. Yap.. Dr. Ben berhasil mengenai bahu kanannya. Tapi makhluk itu tak menyerah. Kakinya masih saja menaiki anak tangga.
Doourrr...
Tembakan ketiga. Dr. Ben berhasil menembak di wajahnya dan membuatnya terjatuh terpelanting kembali ke lantai paling bawah.
Beno yang berada di barisan paling atas berhenti karena melihat sebuah pintu kecil sedikit terbuka di sampingnya. Ia pun membukanya semakin lebar. Dan.. Disanalah lift antar lantai berada. Lantas ia pun masuk ke dalam sana, diikuti Arash, kemudian Dr. Ben yang sudah ketakutan setengah mati hampir diterkam manusia buas itu.
Setelah semuanya masuk, Beno kembali menutup pintu kecil itu meski tak bisa ditutup secara sempurna.
Mereka berada di lift yang tengah berdiam di lantai -5. Dr. Ben hendak menekan tombol -12 untuk menuju lantai terakhir dimana kamar Max berada. Tapi Beno terlebih dahulu menekan tombol -8.
"Kenapa ke ruang makan?", tanya Dr. Ben.
"Kita butuh tenaga, ya kan?", timpal Beno.
Lift itu pun segera meluncur kesana yang hanya hitungan detik.
Tring..
Pintu Lift itu terbuka. Beno, Dr. Ben dan Arash telah siaga dengan senjata mereka. Beno menghadap ke depan, Dr. Ben ke samping kiri dan Arash ke samping kanan.
Seorang penjaga buas mendekat dari arah depan, dan..
Duarrr..
Tepat di bagian kepala Beno menembaknya hingga membuatnya tumbang seketika.
Tapi tiba-tiba, setelah tembakan pertama yang Beno luncurkan, mereka berdatangan dari setiap penjuru di ruang itu. Beno, Dr. Ben dan Arash beraksi dengan senjata masing-masing.
Beno dengan senapan SSX-nya memborbardir puluhan manusia gila yang mulai menyerang. Arash dengan shotgun di samping kanan Beno menembaki satu persatu penjaga pembunuh yang berjalan lambat itu. Dr. Ben pun dengan senjata yang sama mencoba melumpuhkan satu persatu makhluk ganas itu.
Hingga mereka pun benar-benar menghabisi penjaga-penjaga pembunuh itu tanpa sisa. Dan hal itu membuat mereka bisa leluasa mengambil makanan di dapur bunker.
Mereka sudah masuk dapur. Sangat luas dan bersih. Banyak barang yang terbuat dari alumunium. Kabinet-kabinet dapur tertata rapi. Ada lebih dari satu lemari es disana. Beno segera menyerbu benda elektronik itu. Membukanya dan mengambil beberapa minuman kaleng segar untuk diminumnya, dan sebagian diberikan pada Arash dan Dr. Ben.
Mereka menghabiskannnya dengan sekali tegukan. Kehausan tertera jelas di wajah mereka kala itu. Beno tak mau berlama-lama disana meski bisa dikatakan lantai itu telah aman dari penjaga gila yang mau menerkam mereka. Ia pun mencari makanan kaleng dan makanan lain sebagai bekal perjalanan mereka selanjutnya.
"Ayo! Andre pasti sudah menunggu kita!", ucap Beno yang sangat antusias untuk menemui Andre.
Dr. Ben dan Arash yang masih memakan snack ringan segera menghabiskannya dan meminum seteguk air.
Mereka berjalan kembali menuju lift. Masuk ke dalamnya. Dan menekan angka -12 di dinding lift.
"Aku merasa kembali bertenaga setelah makan", kata Dr. Ben yang berusaha memulai percakapan dalam keheningan disana.
"Baguslah, untung tadi aku membawamu kesana kan?", timpal Beno.
Dr. Ben mengangguk dengan bibir dibentuk seperti huruf n.
Tak jarang juga mereka melihat dari balik lift berpintu kaca itu para pekerja yang berlarian dikejar penjaga gila.
Tring..
Pintu lift kembali terbuka. Beno pun kembali berlaga seperti saat pertama kali keluar dari lift di lantai -8 tadi.
"Sepertinya disini aman", ucap Beno yang berjalan di barisan paling depan.
"Sia-sia saja kita berlaga seperti tadi", lanjutnya.
"Kita? Kau seorang yang berlaga, Beno", timpal Arash seraya menggeleng-gelengkan kepalanya pelan mengingat tingkah Beno tadi.
"Ugh.. Kalian tidak berlaga seperti tadi lagi?"
"Tidaklah. Ada-ada saja kau ini. Orang dari lift juga keliatan disini aman-aman aja", jawab Arash lagi.
Mereka berhenti di depan pintu mewah kamar Max. Beno mengetuk pintu itu sambil memanggil nama Andre dan Max.
"Dre? Dree? Max? Buka pintunya, ini aku Beno"
Selang beberapa detik, pintu itu pun terbuka.
"Beno?", sapa Andre setelah pintu itu terbuka. Dan langsung pelukannya mendarat di tubuh Beno.
Sambaran tubuh Andre yang cukup kekar membuat Beno terkejut seketika. Dr. Ben dan Arash yang ada di belakang Beno pun cukup terkejut melihat sambaran pelukan Andre yang sepertinya rindu berat pada Beno.
"Cepat masuk!", ucap Max yang entah sejak kapan berdiri di belakang Andre. Dan sontak hal itu membuat pelukan Andre dilepas dari tubuh Beno.
"Ayo masuk dulu!", ucap Andre yang kemudian masuk sembari merangkul pundak Beno. Diikuti Arash dan Dr. Ben dibelakang mereka. Max kembali menutup pintunya rapat-rapat dari dalam.